Baixar aplicativo
8% Soca (Mata yang Tidak Bisa Melihat) / Chapter 2: Patidie X-ros

Capítulo 2: Patidie X-ros

Soca

Delapan tahun berlalu bagai embusan angin. Rigel menjelma menjadi seorang remaja. Ia mewarisi semua kemampuan, pengetahuan, juga wibawa dari Deildra. Hanya tinggal satu yang kurang, yaitu pengalaman.

Oleh karena itu, Deildra meminta Rigel melakukan sebuah perjalanan selama dua tahun. Dalam perjalanan, ia harus bisa menunjukkan siapa dirinya. Membuat namanya sendiri. Harus mampu mengambil perhatian para Saman dan bertahan.

Bila ia mampu bertahan hidup, Deildra berjanji akan membantu membalaskan dendam pada saman. Akan tetapi, bila ia tidak mampu bertahan atau mati. Sang guru tidak akan menganggapnya sebagai murid.

Rigel menyanggupi.

Sebagai langkah awal perjalanan, maka hal pertama yang harus dilakukan adalah menguji kemampuan bela dirinya. Jadi, ia memutuskan untuk memulai dari kota Soesa—kota paling kacau di Anca.

Di Soesa terdapat arena hiburan paling besar bernama Patidie X-ros. Ada beragam hiburan di sana, salah satunya adalah pertarungan terbuka. Tidak hanya menyajikan pertarungan manusia lawan manusia; ada juga manusia melawan hewan buas; hewan buas melawan hewan buas.

Tidak ada hukum negara yang belaku di seluruh wilayah Soesa. Itulah mengapa kota ini menjadi kota paling kacau di Anca. Mereka yang kuat menjadi penguasa, mereka yang lemah diperbudak atau mati membusuk.

Rigel melangkahkan memasuki pintu utama Patidie X-ros. Baru melawati garis pintu, seorang pelayan wanita langsung menyambut.

"Tuan! Sebelum memasuki arena hiburan Patidie X-ros lebih jauh, kau harus membeli karcis lebih dulu."

"Di mana aku bisa membelinya?"

"Mari, saya antarkan." Si pelayan berjalan membimbing.

Rigel mengikuti tanpa banyak bicara. Penampilannya dengan rambut pirang serta bola mata berwarna amber—kuning keemasan—mencuri banyak perhatian. Mencolok. Beberapa orang menatap takjub, lainnya lagi heran terbengong-bengong. Namun, banyak pula yang cuek.

Si pelayan berhenti di sebuah ruangan yang terdapat lima jendela. Masing-masing dijaga oleh seorang gadis muda berseragam. Di sisi kiri serta kanan jendela, berbaris masing-masing sepuluh orang pria bertubuh kekar. Mereka juga memakai pakaian hitam-hitam, seragam.

"Silakan!" si pelayan menyoja, kemudian pergi.

"Tuan, Anda ingin ke tempat hiburan yang mana?" Penjaga loket yang berada di tengah menyerahkan buku bersampul hitam. "Silakan, memilih. Semua menu arena hiburan Patidie X-ros, tertera di sana."

Rigel mengamati isi buku sebentar kemudian diserahkan kembali. "Aku ingin menonton duel juara bertahan Arena Maxu. Nereid melawan Abeed."

"Baik." Si penjaga loket mengangguk, paham. "Karcis duel Tuan Nereid dan Tuan Abeed di jual seharga seratus lira atau setara sepuluh keping emas."

Rigel mengeluarkan selembar uang kertas bersimbol burung merak dengan hologram bulat bertuliskan angka seratus. Ia menyerahkannya.

Si penjaga loket lekas memberikan sebuah kertas persegi panjang berstempel──memiliki panjang setengah jengkal dan lebar satu jempol tangan──kemudian membunyikan lonceng. Seorang pelayan pun muncul.

"Pelayan, antarkan Tuan ini ke Arena Maxu," kata si penjaga loket.

"Baik!" si pelayan mengangguk. Ia berjalan dan memberi isyarat supaya tamunya mengikuti.

"Mmm, tunggu." Rigel yang sudah akan berbalik justru kembali memandang si penjaga loket. "Berapa uang yang harus kukeluarkan bila ingin berduel melawan juara bertahan itu?"

"Kau harus membayar seribu lira atau setara seribu keping emas."

"Lalu, berapa uang yang harus kukeluarkan bila ingin melawannya hari ini juga?"

"Eh, apa? Mmm, itu?" si penjaga loket kebingungan harus menjawab apa. Mungkin, ini kasus pertama dirinya mendapat pertanyaan semacam itu. "Tuan, tunggulah pekan depan. Anda bisa memesan untuk menghadapi Tuan Nereid."

"Eh? Tidak perlu menunggu sampai pekan depan! Kau bisa melawannya hari ini juga dengan tiga ribu lira, bagaimana?" Seorang pria muda berpakaian perlente datang menghampiri. Semua pelayan, penjaga, serta penjaga loket langsung membungkuk──memberi hormat.

"Kau siapa?" Rigel memandang malas pria yang berusia dua tiga tahun lebih tua darinya.

"Aku Pillax Kliros, Putra Paliv Kliros pemilik arena ini."

Rigel merogoh saku mantel lalu menyerahkan lembaran uang yang terikat pada Pillax. "Jumlahnya kurang lebih empat ribu sembilan ratus lira. Lekas atur duelku dengan juara bertahan itu!"

"Cih!" Pillax mendengus dingin. Ia tidak menyangka bahwa pria berambut pirang itu benar-benar kaya raya. "Baik! Silakan tunggu sebentar, akan kusiapkan segera."

Rigel tidak menjawab, berdehem pelan lalu duduk di kursi untuk menunggu. Awas mengawasi Pillax yang berlalu memasuki pintu. Ia tersenyum kecil.

Gunung Karai, wilayah yang hampir tidak pernah terjamah oleh manusia. Namun, bagi Rigel itu rumahnya. Banyak emas serta perhiasan──yang entah bagaimana──berserakan begitu saja di lorong-lorong  gua.

Walau sudah lama tidak keluar hutan, Rigel tetap ingat akan kejamnya dunia luar. Di mana uang menjadi segalanya, sangat berkuasa. Terlebih di kota amat kacau seperti Soesa. Jadi, ia membawa banyak perhiasan serta emas-emas, kemudian dijual.  

Tidak berapa lama, seorang wanita kurus datang untuk membimbing jalan. Rigel mengikuti instruksi si pelayan.

Pelayan itu membawa Rigel ke ruang terbuka yang megah. Lapangan pasir berbentuk bundar dikelilingi pembatas beton. Dinding pembatas tingginya kira-kira dua puluh kaki dan memiliki empat pintu. Ia masuk melalui pintu di sudut sebelah kanan.

Di atas dinding pembatas, terdapat tiga undakan tangga untuk menonton. Sebelum acara dimulai, orang-orang akan duduk menunggu di sana.  Saat acara dimulai, barulah mereka akan berdiri. Kedua mata Rigel memendar mengamati. Wajah-wajah bajingan terpampang di mana-mana. Menimbulkan gejolak halus dan rasa muak.

Ia mengerling ketika Pillax menghampiri.

"Di mana lawanku?" Rigel menatap lapangan. Kosong, tidak ada siapa pun di sana.

"Cih! Sungguh tidak sabar. Tunggulah sebentar, Tuan ...." Pillax menjeda, menggantung ucapan beberapa saat. "Ah! Aku sampai lupa tidak menanyakan namamu."

"Rigel."

"Oh."

Pillax melempar tatap setengah bosan. Ia merasa tidak suka dengan sifat Rigel yang bicara pendek-pendek, langsung pada intinya. Seolah tidak memandangnya sama sekali, apalagi menghormati. Padahal, biasanya semua orang yang datang ke sana akan bersikap penuh hormat pada dirinya.

Dari arah pintu yang berseberangan, dua orang penjaga menyeret seorang remaja berambut panjang. Para penonton di atas balkon langsung bereaksi bising. Seakan mereka baru saja menemukan harta karun berlimpah atau menang lotre.

"Lawanmu sudah datang! Silakan!" Pillax membuat gestur dengan wajah. Memandang ke arah lapangan.

Rigel mengikuti arah wajah Pillax. Namun, segera roman wajahnya berubah kesal. Bagaimanapun, lawan yang akan dihadapinya benar-benar jauh dari bayangan. Masih sangat belia. Terlebih, keadaan remaja itu terlihat sangat kacau. Ada banyak lebam dan bekas luka di wajahnya. Pakaian semrawut, tidak karuan.

"Tuan Pillax! Apa kau sedang mencoba untuk menipuku, huh?" Rigel mendesis.

"Eh? Apa maksudmu?"

"Petarung bertahan selama dua tahun? Omong kosong!" Rigel tertawa sumbang, suaranya terdengar seperi cemoohan. "Dia hanyalah bocah ingusan!"

"Oh." Pillax berdekap tangan. Parasnya tetap tenang. Senyumannya kecil terlukis. "Kau orang ke sekian yang meragukan kemampuan bocah itu! Mmm, kalau dilihat-lihat kau juga masih bocah. Kau dan Nereid paling terpaut dua atau tiga tahun saja."

Kedua mata Rigel menajam. Namun, ia memang tidak dapat melihat kebohongan di wajah Pillax. Jadi, tanpa mengatakan apa-apa lagi, melangkah begitu saja menuju ke tengah lapangan.  

"Sesuai aturan, bila kau berhasil mengalahkannya, maka kami akan mengembalikan uangmu tiga kali lipat." Pillax berucap nyaring. Entah kenapa, ia merasa bahwa pertandingan hari ini akan berlangsung menarik. Jadi, ia memutuskan untuk menonton.

Pillax meminta beberapa penjaga untuk membawakan kursi serta meja. Dalam waktu singkat, apa yang diinginkannya pun tersedia. Ia lekas merelakskan punggung pada kursi dan menumpangkan kedua kaki pada meja.

Bersantai untuk menonton.

_________________

Kalem, Rigel memasuki arena. Melepaskan mantel lantaran dapat mengganggu pergerakan saat bertarung nanti. Ada sedikit rasa gugup menyusup, mengganggu pikiran. Bagaimanapun, ini pertama kali ia mengetes kemampuannya pada orang lain.

Gugup?

Mungkin sebenarnya bukan perasaan gugup, melainkan ragu. Walau bagaimana ia mengamati, lawannya hanyalah seorang remaja yang tampak memprihatinkan. Deildra memang memintanya membunuh hati nurani serta belas kasihan. Namun, itu hanya berlaku untuk Saman, bukan pada sesama manusia.

Mengesah. Rigel menatap remaja di depannya serius. "Apa kau benar-benar siap untuk pertarungan ini?"

"Ya."

"Baiklah! Kalau begitu kita mulai!"

"Silakan."

Nereid mengangkat wajah sedikit. Sebagian rambut panjangnya lepas dari ikatan, bergerak-gerak tertiup angin. Romannya datar tanpa ekspresi. Tidak menampakkan ketakutan, tetapi tidak pula mencerminkan keangkuhan atau ketenangan. Benar-benar datar seperti permukaan air.

Rigel menerjang.

Sebagai permulaan, ia menyerang melalui pukulan biasa. Namun, Nereid mampu menerima pukulan-pukulan itu dengan mudah. Rigel merasa lebih lega. Meski masih belia, kemampuan si remaja berambut panjang cukup menjanjikan. Tidak bisa dianggap remeh. Jadi, ia mulai serius.

Baik kecepatan, tenaga, maupun teknik penyerangan, Rigel terus meningkatnya secara bertahap. Semakin lama gerakannya bertambah cepat, pukulannya bertambah kuat, dan trik menyerangnya pun semakin rumit. Kedua tangan serta kaki begitu lincah dalam mencari celah.

Walaupun begitu, Nereid tetap mampu mengimbangi dengan cukup baik.

Para penonton di atas balkon mulai tidak bisa diam. Teriakan-teriakan bising mengangkasa. Terlebih bila salah satu dari dua petarung di lapangan berhasil memasukan pukulan. Sebagian penonton mendukung si petarung bertahan, sebagian lagi mendukung si penantang.

Hanya Pillax yang masih bertengger tenang. Menikmati pertunjukan sembari menyesap alkohol di gelas.

Di arena, semakin lama Rigel tambah menyadari bahwa Nereid memang lebih berkemampuan daripada kelihatannya. Ia pun tidak mau tanggung-tanggung lagi. Satu persatu kemampuan yang dipelajari dari Deildra mulai digunakan.

Perlahan-lahan, Rigel menyudutkan Nereid.

Nereid semakin terpojok. Pukulan telak Rigel acap kali tidak mampu dihindarkan. Membuatnya limbung dan kewalahan.

Orang-orang mulai berpikir bahwa Nereid akan segera mengalami kekalahan. Namun, hal mengejutkan justru terjadi.

Di tengah-tengah keterdesakan, Nereid meloloskan satu pukulan telak yang mampu menghempaskan Rigel sampai menabrak tembok pembatas. Kejadian tak terduga itu membuat semua orang terdiam sejenak. Gemap.  Namun, sorak-sorai menyusul selewat kemudian.

"Dia?" Rigel menatap tak mengedip. "Memiliki aura kegelapan? Saman!"

Bersambung ....


next chapter
Load failed, please RETRY

Status de energia semanal

Rank -- Ranking de Poder
Stone -- Pedra de Poder

Capítulos de desbloqueio em lote

Índice

Opções de exibição

Fundo

Fonte

Tamanho

Comentários do capítulo

Escreva uma avaliação Status de leitura: C2
Falha ao postar. Tente novamente
  • Qualidade de Escrita
  • Estabilidade das atualizações
  • Desenvolvimento de Histórias
  • Design de Personagens
  • Antecedentes do mundo

O escore total 0.0

Resenha postada com sucesso! Leia mais resenhas
Vote com Power Stone
Rank NO.-- Ranking de Potência
Stone -- Pedra de Poder
Denunciar conteúdo impróprio
Dica de erro

Denunciar abuso

Comentários do parágrafo

Login