Kantin Rumah Sakit, Pukul 10.30 WIB.
"Maaf , papa hanya membelikan kamu segelas susu dan beberapa roti. Papa rasa tidak akan baik jika kamu mengkonsumsi makanan berat setelah berpuasa semenjak kemarin."
"Dari mana papa tahu saya..." ujarnya heran.
"Papa minta maaf atas semua yang kamu saksikan Azka. Lebih dari kamu saya telah menahannya selama bertahun- tahun. Saya telah memelihara ular dan membuatnya tumbuh dalam keluarga. "
"Maksud papa?"
"Saya sudah mengetahui perselingkuhan istri saya. Ia bahkan telah beberapa kali bergonta ganti pasangan. Semalam juga saya menyaksikannya dengan mata kepala saya sendiri. Tidak hanya itu, saya juga merekamnya sebagai bukti." ujarnya sembari memperlihatkan sebuah video ke Azka.
"Tapi kenapa papa tidak berbuat apa-apa? Jika benar papa menyaksikannya semalam, seharusnya..."
"Seharusnya saya menghentikannya? Atau menghukumnya? Istri saya bahkan tidak tahu bahwa saya telah mengetahui sisi gelapnya. Saya sengaja diam dan berpura-pura , dengan harapan suatu saat ketika Diza pulang saya bisa mempertahankannya di sisi saya. "
"Putri saya masih membutuhkan sosok seorang ibu. Ditambah lagi , jika saya berfikiran buruk dan mencari ibu baru untuk Diza, itu tak akan menjamin ia mendapatkan kebahagiaan yang sempurna . Karena kasih seorang ibu tak akan pernah tergantikan."
"Berarti lebih dari itu Papa masih berharap bahwa Diza masih hidup?"
"Orang tua mana yang tidak mengharapkan anaknya kembali. Bahkan tak bisa saya pungkiri bahwa meskipun saya membesarkan kamu setelah orang tuamu tiada, itupun takkan pernah cukup untuk menggantikan posisi Diza. Saya tak bisa berbohong bahwa saya membesarkan mu demi kakak saya ,yang tak lain adalah ayah kandungmu. "
"Saya belum bisa sepenuhnya menyayangimu seperti saya menyayangi Diza, maafkan saya Azka?"
"Tak bisa dipungkiri bahkan Azka pun masih menganggap kalian sebagai Paman dan Bibi Azka. Tak ada yang bisa tergantikan. Tapi bukankah kita sudah berjanji untuk memperbaiki semuanya Pa?"
"Apa yang berusaha kamu sampaikan Azka?"
"Kenapa Papa mengizinkan saya menjadikannya sebagai Diza?" ujar Azka dalam.
"Karena setiap orang punya harapan. Saya memiliki harapan besar Diza akan kembali. Tetapi sebelum itu, kita harus mengembalikan semuanya pada tempatnya . Kita harus membuat istri saya sadar akan tanggung jawabnya , dan untuk itu kita bisa mengujinya dengan kembalinya Diza. "
"Terlepas dari itu saya tidak mau kamu berada dalam kesulitan. Saya sudah berjanji pada orang tuamu untuk menjagamu melebihi diri saya sendiri."
"Dan gadis itu , namanya Kanaya . Ia hidup sebatang kara dan ia juga merupakan gadis yang baik. Kita bisa mengandalkannya. "
"Apa rencana papa?"
"Saya mendengar kemungkinan hilangnya ingatan bagi pasien. Jika benar, ini akan membantu rencana kita. Jika tidak, alasan bahwa kamu menyelamatkan hidupnya bisa kita jadikan alat untuk membuatnya berada di bawah kendali kita. Dan terlepas dari itu, kita akan benar-benar mengadopsinya dan menjadikannya bagian dari keluarga . Jika kamu menyukainya , kamu bisa meneruskan pertunangan kalian ke arah yang sebenarnya. Jadi tak akan ada pihak yang dirugikan.Jika tidak , tetaplah perlakukan dia selayaknya adikmu. "
Perundingan pun berakhir dengan kesepakatan antara Bapak Andri dan juga Azka. Azka kembali mengunjungi Kanaya yang telah ia rubah menjadi Diza. Sementara Bapak Andri kembali dengan merancang rencana selanjutnya. Rencana mengembalikan hak istrinya sebagai seorang ibu , dan rencana untuk mengubahnya kembali seperti dulu.
Ruang ICU Rumah Sakit Harapan
Satu jam sudah berlalu, suasana begitu hening tanpa ada suara apapun. Di ruangan itu, hanya ada Azka dan Diza yang terbaring lemah tak berdaya. Azka hanya diam memandangi wajah polos Diza yang dipenuhi oleh luka-luka akibat kecelakaan semalam.
Tangannya menggenggam lembut tangan Diza yang kini tengah terpasang selang infus dan juga kantung darah . Tubuhnya dipasangi kabel yang terhubung dengan mesin elektrokardiogram. Masker oksigen pun masih belum dilepas. Seakan-akan ia tak mampu bertahan tanpa bantuan dari semua alat-alat tersebut.
Kondisinya amat menyedihkan, seakan tidak lagi memiliki harapan untuk hidup. Tanpa ia sadari ada air mata yang mengalir di pipinya. Entah mengapa, tetapi ia seakan tak ingin kehilangan gadis ini. Gadis itu seakan begitu berharga bahkan melebihi nyawanya sendiri.
Sambil mengusap air mata yang jatuh, ia pun menyadari sesuatu. Ada sebuah kotak di dalam saku jaket yang ia kenakan. Ia pun meraba sakunya dan meraih kotak tersebut. Isi kotak itu adalah cincin pemberian ayahnya. Cincin pertanda Diza yang sedang terbaring ini adalah benar-benar tunangannya.
Sang Ayah memberinya hadiah cincin untuk mendukung segala macam sandiwaranya. Sesaat ia merasa sakit untuk gadis itu, ia sedang lemah tak berdaya namun dirinya justru malah berfikir untuk memanfaatkannya demi lari dari tanggung jawab. Dengan berat hati ia pun memasang kan cincin tersebut di jari manis sang gadis.
Tiiiit...tiiiitttt.....
Tanpa ia sangka, tubuh sang gadis seakan bereaksi sebaliknya. Begitu cincin itu terpasang, ia seakan merespon. Tangannya menggenggam erat tangan Azka. Tubuhnya mengejang sesaat , matanya terbuka. Tetapi sebaliknya, mesin elektrokardiogram yang terpasang di tubuhnya justru menunjukkan hasil negatif. Jantungnya berhenti berdetak. Hanya ada satu garis lurus.
"Dokter, suster tolong?" Azka pun berteriak sambil terus memencet bel tanda bantuan.
Dalam sekejap, sekelompok dokter dan juga suster memasuki ruangan tersebut. Salah seorang dari mereka mengecek tanda vital gadis iu dan yang lainnya meraih mesin defibrilator dan menyerahkannya kepada sang dokter. Mereka melakukan pijat jantung, dan sesekali memicunya dengan mesin defibrilator.
Salah seorang suster meminta Azka untuk keluar dan menunggu di depan ruangan. Butuh waktu sekitar hampir setengah jam hingga akhirnya Azka dipersilakan kembali masuk.
"Bagaimana dia suster?"
"Tuan muda dipersilakan masuk. Biar dokter nanti yang menjelaskan"