" Ayo, berangkat " Azka tiba -tiba tersentak dan langsung berdiri menarik tangan Diza kembali menuju lift. Berbeda dari dugaannya gadis itu bahkan tidak menanyakan apapun. Ia hanya menurut kemanapun Azka membawanya . Ia bahkan tidak cerewet seperti biasanya . Ia seakan memahami keadaan Azka , dan memilih diam seribu bahasa .
Ia hanya menahan Azka sebentar sebelum memasuki lift dan mengusap air matanya dengan tissue yang ia simpan di dalam tasnya . Ia menarik Azka ke satu sisi , mengeluarkan air minum dari dalam tasnya dan memberikannya pada pemuda itu .Ia meminta Azka meminumnya dan membasuh wajahnya dengan air itu .
" Kakak pasti tidak ingin mereka melihat kau serapuh ini kan? Basuhlah wajahmu terlebih dahulu. "
Ia meraih air itu dan membantu Azka membasuh wajahnya dan mengeringkannya . Setelah memastikan kondisinya baik-baik saja , baru akhirnya ia bergantian menggenggam tangan pemuda itu dan menariknya keluar menuju lift . Ia menggandengnya dan menyandarkan kepalanya di bahu pemuda itu . Ia berusaha untuk menghiburnya tanpa mengungkit apapun lukanya .
"Kenapa kau tidak menanyakan apapun ?" tanya Azka heran dengan sikap Diza , ia sungguh berfikir gadis itu akan menanyakannya dan akhirnya ia harus mengakui segalanya . Namun sebaliknya, gadis itu malah mendukungnya tanpa bertanya apapun .
" Terkadang saat seseorang terluka, ia tidak ingin orang lain menanyakan luka itu dimana atau karena apa? Karena itu hanya akan membuatnya semakin terluka , dengan kembali mengingatnya . "
"Lalu apa yang dibutuhkannya?"
" Obat atas lukanya . " ujar Diza yakin . Ia bahkan mengatakannya dengan tersenyum sambol menatap mata Azka.
"Bagaimana kau tahu dimana luka itu tanpa bertanya. "
"Seseorang yang menahan sakit, tanpa disadari akan memegang lukanya demi menahan rasa sakit . Cukup dengan memperhatikannya ,kau akan tahu rasa sakit itu dari mana. Sebagai orang yang ada di dekatnya , kau hanya perlu memperhatikannya ."
" Lalu dimana lukaku?"
" Disini." Diza menunjuk dada Azka , mengisyaratkan bahwa sakit itu berasal dari dalam hatinya . Ia pun meraih sebuah plester dari dalam tasnya dan menempelnya di sisi yang sebelumnya ia tunjuk.
" Tidak akan ada artinya jika aku menempelnya disini . Ini hanya akan menempel di bajumu . Tetapi ,ini akan mengingatkanmu bahwa aku telah mengobati hatimu yang terluka . " balasnya tersenyum indah , hingga membuat jantung Azka berdebar tak karuan .
" Dari... dari mana kau tahu , bahwa kau telah mengobatinya?" tanya Azka ragu.
" Kau menangis dipundakku, dan itu membuatmu tenang . Kau mencari ku dan bersandar padaku, yang menandakan kau membutuhkan ku . Luka di hati hanya bisa disembuhkan dengan cinta . Dan sikapmu menunjukkan bahwa kau memiliki cinta itu , untukku . Terimakasih telah memberikan ku hadiah terindah itu . Aku akan berusaha semaksimal mungkin menjaganya . "
Begitu pintu lift terbuka, Diza hendak menarik Azka keluar namun Azka mencegahnya dengan kembali menutup lift dan kembali naik ke lantai atas .
" Kenapa ?" Diza merasa aneh dengan sikap Azka .
" Bolehkah aku bertanya sesuatu?"
" Tentu , aku akan menjawabnya dengan jujur . " ujarnya memberikan simbol peace dengan dua jarinya .
" Apakah kau pernah sekali saja menyukaiku?"
" Kenapa kau bertanya seperti itu? Kau adalah tunangan ku, jika aku tidak menyukaimu mana mungkin kita akan bertunangan dan saling terikat . "
Jawaban Diza sontak membuat Azka gemetar, pertunangan ini adalah skenario yang ia tulis sendiri dan bukanlah atas keinginan mereka .Namun , entah apa yang terjadi hingga ia berubah menyukai gadis ini . Bahkan ini adalah cinta pertamanya .
" Aku menanyakan perasaan yang kau ingat jelas . Bukan kenangan yang kau lupakan . Tolong jawab aku jujur ?"
" Sebelumnya kau harus memberitahu ku alasan kau menanyakan hal ini ."
"Aku melihatmu menatap Satya dan tersenyum padanya . Itu adalah cara berbeda dari yang kau berikan padaku , bahkan Rayhan ."
"Rayhan? Owh pemuda itu. Aku bahkan tidak mengenal kakak itu . Dia hanya datang dan menceritakan sesuatu . Aku hanya menangis karena mendengar kisah sedihnya. Aku bahkan tak merasakan apapun saat dekat dengan nya. "
" Kalau Satya?"
" Entahlah, ia pria yang lucu. Kami hanya saling tertawa , karena saling membagi kisah lucu satu sama lain . "
Sesungguhnya aku tidak mengerti perasaanku seperti apa padanya . Tetapi berhubung kau adalah tunangan ku, aku akan melakukan yang terbaik dan melupakan Satya . Aku harap keputusanku memilihmu bukanlah kesalahan . Batinnya .
" Benarkah? "
" Iya, lagi pula tunangan ku adalah Kak Azka bukan Kak Satya. Jadi kenapa aku harus berfikiran macam -macam. " ujarnya meyakinkan Azka .
Fikirnya Azka sedang cukup rapuh saat ini , ia tidak akan bisa berfikiran jernih jika mendengar kejujurannya . Lagi pula ia belum begitu yakin dengan perasaannya . Jadi sampai ia bisa memutuskan perasaannya , ia akan tetap menjadi tunangan Azka. Lagi pula pria inilah yang sebelumnya menangis untuknya di rumah sakit . Pria ini yang menggenggam tangannya dan menunggunya sadar .
"Jika suatu saat kau mengetahui sisi tergelapku , akankah kau membenciku?"
"Sebelum itu, aku akan mencari tahu alasan kau melakukannya. Selagi itu bisa dimaafkan, dan masih masuk akal. Kenapa aku harus membencimu. Lagi pula tidak akan ada manusia yang sempurna kak. Setiap dari mereka memiliki sisi gelap masing-masing. "
"Dan aku tengah kehilangan ingatanku saat ini . Siapa yang tahu jika ternyata sisi gelapku bahkan lebih buruk dari yang kau punya . Kita hanya perlu memperbaiki masa depan, karena takkan pernah ada jalan mengubah masa lalu . "
" Maukah kau mengubah masa depanmu bersamaku. " ujar azka ragu.
" Tentu , kita akan melangkah bersama dan mengubahnya. " Diza menautkan jari kelingkingnya dengan kelingking Azka .