Ify terhenyak saat masuk ke kamarnya Rio sudah duduk manis di kasur. Hampir saja ia berteriak jika tidak menutup mulutnya sendiri.
"Ngapain kamu di sini?" tanya Ify tak ada manisnya sama sekali. Meski begitu, ada sedikit letupan bahagia karena akhirnya ia bisa melihat pemuda itu lagi setelah seharian tak menampakkan batang hidungnya.
Rio tak menjawab, hanya menatap Ify dengan pandangan kosong.
Ify mendekat dan duduk di sebelah Rio.
"Kenapa?" tanya Ify sambil membuka laptopnya, berniat untuk melihat video terbaru dari BTS yang konser di Thailand kemarin.
"Dia Dea," ucap Rio yang membuat Ify mengeryitkan keningnya.
Setelah berpikir beberapa saat akhirnya Ify paham dengan maksut Rio. "Kamu yakin? Bukannya Riko tadi memanggil Della, ya?"
Sejujurnya Ify juga bingung dengan kenyataan ini. Apa mungkin Dea memiliki kembaran?
"Mungkin kembarannya Dea." Ify nyeletuk membuat Rio mencoba menggali ingatannya tentang Dea.
"Seingatku, Dea ngga punya kembaran. Dia nggak pernah bercerita atau memperkenalkan kembarannya padaku."
"Mungkin dia lupa," celetuk Ify asal yang membuat Rio menatapnya tajam.
"Kenapa? Ada yang salah?" tanya Ify dengan ekspresi polosnya yang membuat Rio gemas dan kekesalannya hilang.
"Bukan waktunya bercanda lagi, secepatnya kita harus mengungkap kasus ini," ucap Rio menerawang.
Ify hanya mengangguk antara paham dan tidak karena saat ini fokusnya sudah ke konser BTS yang menurutnya sangat menakjubkan. Dunianya seolah hanya berpusat di laptop saja sehingga Rio yang berkali-kali memanggil tidak juga dipedulikan, membuat pemuda itu geram dan menutup laptop Ify.
"Yaaaakkkk! Apa yang kau lakukan?" jerit Ify tak terima.
"Kau tidak mendengarku," sungut Rio.
"Sudahlah! Jangan ganggu aku dulu, kenapa kau tidak memberiku waktu untuk senang-senang, heh?" Ify berang. Ia akan sangat marah jika apa yang menjadi kesukaannya diusik. Apalagi saat ia tengah fangirling seperti ini.
Rio terdiam dan menatap Ify dengan pandangan yang tak dapat gadis itu artikan. Seperti penyesalan, amarah, kebingungan dan entahlah. Yang pasti saat balik menatap Rio, Ify seolah ikut hanyut dan merasakan apa yang kini dirasakan oleh pemuda itu. Akhirnya dengan menghela napas panjang, Ify meletakkan laptop di pangkuannya ke meja belajar dan kembali duduk di sebelah Rio untuk mendengarkan rencana lanjutan dari pemuda itu.
"Jadi bagaimana?" tanya Ify pada Rio yang masih diam seribu bahasa.
"Kita harus memastikan dia Dea atau Della," ucap Rio.
"Caranya?"
"Datang lagi ke rumah Dea."
Mendengar ucapan terakhir Rio membuat Ify mendengus kasar. "Lalu kau pergi begitu saja? Ninggalin aku sendirian?"
"Memangnya kalau aku tetap sama kamu ada efeknya juga?" tanya Rio bingung.
"Setidaknya beri penjelasan, jangan kabur begitu saja. Ini masalahmu dan kau meminta bantuanku, setidaknya kau bersikap terbuka. Jangan membuatku bertindak seperti orang buta," sungut Ify.
"Oke, aku minta maaf soal itu. Hanya saja, aku terkejut mendengar kabar Dea meninggal. Rasanya itu tidak mungkin." Rio terpekur membuat Ify ikut terdiam. Ia benar-benar tidak tahu lagi harus apa setelah ini. Ia hanya tahu jika gelang itu milik Riko, lalu apa hubungannya Riko dengan Rio?
"Ah, kau kenal dengan Riko, 'kan?" tanya Ify saat ia baru menyadari satu hal itu.
Rio menggeleng lalu mengangguk. "Hanya sebatas tahu saja, tidak terlalu kenal. Dulu, kita pernah jadi lawan di turnamen balap."
"Lalu, kenapa gelang Riko bisa ada di kebun rumah kamu?"
Rio kembali menggeleng. "Itu yang masih menjadi pertanyaan. Apa mungkin Riko yang membunuhku? Lalu motifnya apa?"
Ify tak bisa menjawab karena ia memang tidak tahu apa-apa. Keduanya kembali terjebak dalam keheningan sebelum pintu kamar Ify terbuka tiba-tiba.
Gina dan Ray masuk dengan membawa seorang laki-laki tua dengan pakaian jaman dulu yang membuat Ify mengernyit bingung.
"Ada apa, Ma?"
"Mbah tadi sudah dengar sendiri 'kan? Anak saya ngomong sendiri, saya takut dia kesurupan. Jadi, Mbah bisa bantu anak saya?"
Ify melongo. Ia benar-benar tidak mengerti apa maksut Ibunya yang memanggil dukun kemari.
Dukun itu memandang Ify lekat sambil mengusap jenggotnya yang panjang.
"Sepertinya memang ada yang mengikuti anak Ibu," ucap dukun itu yang membuat Ify melirik Rio. Pemuda itu tetap duduk tenang dan sibuk dengan pikirannya, sama sekali tidak terusik dengan kehadiran dukun yang mungkin saja bisa mengusir kehadirannya di kamar Ify.
"Maksutnya apa sih, Ma? Aku nggak ngerti!" Ify menatap Gina dan Ray bergantian meminta penjelasan, tapi Guna tetap bungkam sementara Ray mengedikkan bahunya pertanda ia juga tidak tahu apa-apa.
Ify melirik Rio yang bangkit dan tanpa sengaja selimut ikut terseret. Hal itu membuat Gina, Ray dan dukun itu terlonjak kaget.
Ify menepuk keningnya pelan sementara Rio terkekeh. Kentara sekali jika ia sengaja melakukannya.
"Ma, tadi yang narik selimut siapa?" tanya Ray sambil mendekatkan diri ke arah Gina.
Gina menggeleng. "Mama juga nggak tahu."
"Aduh, Ma, Ray, kalian apaan, sih? Ini tadi Ify yang narik," seru Ify yang tak ingin semuanya menjadi runyam.
"Tapi Kakak 'kan diam saja dari tadi?" tanya Ray heran.
"Udah ya, Ma. Ify masih sehat dan waras, sekarang mau istirahat!"
"Tapi---"
"Udah ya, Ma. Ify ngantuk," ucap Ify sambil mendorong Gina, Ray dan dukun itu keluar. Tak sepatah katapun yang terucap dari sang dukun membuat Ify berpikir jika dukun itu hanya abal-abal.
Ify segera mengunci pintu dan membaringkan tubuhnya di kasur. Ia harus memutar otak untuk mencari jawaban yang masih menggantung.
"Sepertinya temanmu tadi mengenal Riko," ucap Rio tiba-tiba yang sudah berbaring di sebelah Ify.
"Hmm," jawab Ify singkat karena kantuk yang mulai membayang.
"Tanya saja padanya besok, mungkin dia tahu sesuatu."
Hening.
Rio yang heran pun menoleh dan mendapati Ify sudah lelap ke alam mimpi.
"Dasar tukang tidur," sungut Rio tapi ia tak berniat mengalihkan pandangannya. Wajah Ify yang tertidur tenang seperti ini membuat ia tampak seperti gadis polos. Tak terlihat sifat galak dan juteknya. Cantik.
Rio mengerjap, bagaimana bisa ia memandangi wajah gadis yang sedang tidur? Dengan telinga yang memerah, Rio memilih untuk pergi dari kamar Ify, membiarkan sang empunya beristirahat. Ia juga sangat tahu, memutuskan untuk membantunya bukan hal mudah, apalagi bagi Ify yang bisa dibilang buta dengan hal-hal seperti itu.
****
"Pastikan kamu berhasil melakukannya. Komisi akan aku transfer ke rekening kalian!" Telepon dimatikan. Senyum sinis tersungging di bibirnya.
"Kau siapa sebenarnya, hmm?" bisiknya lirih.
****
_Dee
Sidoarjo, 12 Maret 2020
Ify melangkahkan kakinya dengan ringan setelah selesai berbelanja di minimarket. Kantong penuh belanja ia tenteng di tangan kanannya sementara tangan kirinya sibuk memainkan ponsel. Mencari musik yang pas untuk menemaninya hingga ia sampai ke rumah. Memang tidak terlalu jauh, waktu sepuluh menit cukup untuk ia sampai ke rumah dengan berjalan kaki.
Susana sangat lenggang karena malam yang hampir tiba. Jika saja bukan karena kebutuhan pokok sebagai perempuan dan ini sangat genting, Ify pasti memilih untuk berbelanja besok saja. Melihat keadaan yang sepi dan lenggang cukup membuat buku kuduk Ify berdiri.
Tak ingin berlama-lama, Ify mempercepat langkahnya. Apalagi ia merasa seperti sedang diikuti. Mau menoleh pun tak berani, takutnya ada penampakan menyeramkan dan ia pingsan. Kan repot pingsan di pinggir jalan, apalagi udah mau malam seperti ini.
"Emmph ...." Kantung belanja Ify terjatuh saat tiba-tiba saja ada yang membekap mulutnya. Sekuat tenaga ia memberontak tapi kekuatannya jelas sangat jauh berbeda dengan preman berbadan kekar yang membekap mulutnya ini.
"Woy, lepas nggak?" Ify melihat Gabriel yang berdiri dan berkacak pinggang. Dari sorot mata, Ify meminta tolong kepada Gabriel karena ia sama sekali tidak bisa berteriak.
"Siapa kamu? Pergi atau mau kubuat babak belur?" bentak preman yang membekap Ify.
"Coba sini kalau bisa!" tantang Gabriel. Pemuda itu memasang sikap kuda-kuda.
Bekapan di mulut Ify terlepas dan preman itu berjalan menuju ke arah Gabriel. Ify yang merasa sudah bebas pun menghirup udara dengan rakus karena bekapan preman itu membuatnya tak bisa bernapas. Badannya lemas dan ia hanya mampu duduk, melihat Gabriel dan preman itu berkelahi. Gadis itu terus saja berdoa, semoga Gabriel bisa mengalahkan sang preman itu dan mereka bisa selamat. Ia belum siap mati, impiannya menonton konser BTS belum terlaksana, takutnya ia akan bergentayangan menjadi arwah penasaran.
****
"Aw, pelan-pelan!"
Ify menghembuskan napas kasar, ia sudah berusaha sepelan yang ia bisa.
"Berantem aja sok jago, masa diobatin kaya gini ngrengek terus," gerutu Ify.
"Memangnya kamu mau dibawa sama tuh preman?"
Ify menggeleng cepat.
"Nah, setidaknya kan aku dapat sesuatu setelah nyelamatin kamu, aduh---"
Ify menekan kuat luka di sudut bibir Gabriel.
"Jadi kamu nggak ikhlas bantu aku?"
"Ikhlas kok, tapi kalau dicium sebagai ucapan terimakasih aku juga nggak nolak," Gabriel mengerling ke arah Ify.
"Nih, cium sampai puas!" ucap Ify sambil melemparkan bantal sofa ke muka Gabriel membuat pemuda itu mengasuh karena lemparan itu cukup kuat membuat lukanya berdenyut nyeri.
"Fy, kemana?" teriak Gabriel saat melihat Ify beranjak pergi.
"Boker, mau ikut?" tanya Ify jutek.
Gabriel menggeleng dan Ify melenggang pergi. Suasana menjadi sunyi karena tak ada siapapun di rumah Ify. Gina sedang pergi ke rumah sepupunya di Bandung dan akan menginap, Hanafi belum pulang dari kerja sementara Ray bermain ke rumah Deva.
"Terimakasih!" Gabriel menoleh dan tersenyum tipis.
"No problem, kamu bisa mengandalkan aku untuk urusan itu."
"Memangnya kamu nggak masalah?"
Gabriel mengerutkan keningnya bingung sesaat tapi kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya tanda mengerti.
"Sama sekali nggak, meskipun dia sepupuku, aku tak pernah akur. Aku tahu, ada yang tak beres dan aku memang curiga kalau Riko pelakunya. Tenang saja, aku pasti akan membantu Ify mengungkap semuanya!"
Sosok yang berbicara dengan Gabriel itu tersenyum tipis sebelum ia menghilang.
****
Ify baru saja menyelesaikan sarapannya saat klakson mobil terdengar. Keningnya berkerut, ia menatap Ray, tapi pemuda itu hanya menyediakan bahunya tanda ia sendiri juga tidak tahu.
Ify melongo saat membuka pintu Gabriel sudah berdiri dengan cengiran lebarnya. Tanpa dipersilahkan, ia masuk dan ikut duduk di samping Ray.
"Hai boy, berangkat sekolah?" Gabriel menyapa sok akrab.
Ray mengangkat alisnya tinggi, matanya menyapu Gabriel dari ujung rambut sampai ujung kaki seolah sedang mengamati alien. Sesaat kemudian ia menatap Ify.
"Orang gila!" sahut Ify seolah tahu maksut tatapan Ray.
"Oh, mumpung ada orang gila suruh bersihin kolam buaya di belakang, Kak! Siapa tahu si Cakka dapat temen baru!" perintah Ray seenaknya.
Gabriel melongo, baru kali ini mendapat sambutan yang sangat istimewa. Tunggu, Cakka? Jangan bilang itu nama buaya.
"Cakka?" ulang Gabriel untuk memastikan.
"Buaya milikku, kenapa? Mau kenalan?" tanya Ray.
Gabriel menggeleng cepat. Ia tahu sekarang kenapa Ify juga jutek kepadanya, ternyata jutek juga bisa menurun lewat gen.
"Beneran punya buaya?" tanya Gabriel tak habis pikir. Bagaimana mungkin mereka memelihara binatang yang bahkan berpotensi menghilangkan nyawa pemiliknya sendiri?
" Tentu saja enggak!" sahut Ray enteng tanpa dosa. Ingin rasanya Gabriel menelan hidup-hidup pemuda yang masih berseragam biru putih itu. Apalagi ia bersikap seolah-olah tak melakukan kesalahan apapun, asik dengan makanan, sementara Ify tengah sibuk memakai sepatu.
Tak ingin meninggalkan kesan buruk kepada anggota keluarga Ify, akhirnya Gabriel memilih untuk mengalah. Masih pagi juga dan ia belum sarapan. Bisa-bisa mati berdiri jika menanggapi keusilan bocah SMP.
"Sudah?" tanya Gabriel saat melihat Ify selesai mengenakan sepatunya.
"Sudah, ngapain kesini?" tanya Ify pada akhirnya.
"Jemput kamu?" sahut Gabriel sambil memberikan tas Ify yang kebetulan berada di sampingnya.
"Alih profesi jadi sopir?"
"Dikatain jadi sopir enggak apa-apa, asal sopir pribadi kamu, aku siap mengantarkan kemanapun," ucap Gabriel disertai kekehan ringan.
Ify memutar bola matanya dan melirik Ray memberi sebuah kode. Ray yang paham kode itu pun langsung bergegas.
Setelah mengunci pintu, Ify berjalan diiringi Gabriel menuju mobil yang terparkir di pinggir jalan. Dengan gentle, Gabriel membukakan pintu untuk Ify. Gadis itu berdecak, tapi tidak protes. Setelah Ify masuk, Gabriel berputar dan masuk ke bagian kemudi.
"Anterin ke sekolah, Bang!"
Gabriel mendelik, hampir saja ia menekan pedal gas dengan kencang saat sebuah suara terdengar dari kursi di belakangnya. Pemuda yang ia tahu berstatus sebagai adik dari Ify itu kini tengah duduk dengan nyamannya sambil memeluk bantal leher bergambar Doraemon miliknya.
Gabriel menoleh ke arah Ify tapi gadis itu malah melengos tak peduli, ia menghela napas. Tak punya pilihan lain selain mengantarkan Ray ke sekolah terlebih dahulu. Sebenarnya, membuang Ray di tengah jalan sangat menggoda iman.
****
"Bagaimana mungkin kalian gagal?" pekik seorang pemuda yang kini tengah berjalan kesana kemari dengan gundah. Ia terus menggigit jarinya mencari cara agar rencananya berjalan lancar.
"Maaf, Boss! Ada seorang pemuda yang menolongnya," sahut laki-laki yang yang tadi diteriaki oleh pemuda itu.
"Bukankah aku sudah bilang untuk melakukannya dengan cepat?" Mata pemuda itu memancarkan amarah yang tertahan, giginya bergemelatuk dan tangannya mengepal kuat.
"Pergi, sebelum kepalamu menjadi korban di sini!" bentak pemuda itu yang langsung membuat sang laki-laki berlari keluar.
Pemuda itu tampak menimang-nimang sesuatu, lalu kedua sudut bibirnya terangkat membentuk seringaian.
"Haruskah aku juga membunuhmu, gadis manis?"
****
See u next chap 👋👋
Thanks
_dee
Sidoarjo, 12 Maret 2020
Você também pode gostar
Comentário de parágrafo
O comentário de parágrafo agora está disponível na Web! Passe o mouse sobre qualquer parágrafo e clique no ícone para adicionar seu comentário.
Além disso, você sempre pode desativá-lo/ativá-lo em Configurações.
Entendi