"Aku melihat sepertinya ada sesuatu yang mengganggu atau merusak harimu. Sepertinya kamu tidak sedang dalam kondisi yang baik." Rembulan berkata dengan nada sedikit takut, dia tidak berani melihat Raditya, matanya terpaku pada meja makan sambil melap meja makan.
"Hmm..." hanya itu yang keluar dari mulut Raditya. Dia meletakkan beberapa piring di wastafel, mendekati Rembulan. Meraih lap yang dipegang Rembulan.
"Biar aku saja!" Rembulan mempertahankan lap yang dipegangnya. Raditya menarik sedikit keras sehingga membuat tubuh Rembulan yang tidak siap dengan reaksi Raditya ikut tertarik dan akhirnya kepalanya menempel di dada Raditya. Laki-laki itu refleks memeluk pinggang Rembulan dan tak ingin melepasnya lagi. Dia menahan tubuh Rembulan, saat perempuan itu ingin menariknya.
"Biarkan aku memelukmu walau hanya sebentar."
Raditya memeluk erat tubuh Rembulan, jantungnya berdetak cepat. Dia menginginkan Rembulan terus berada dalam dekapannya. Dia tidak sanggup membayangkan kalau ada laki-laki lain yang memeluknya. Perempuan ini hanya miliknya.
***
Rembulan merasakan kenyamanan berada dalam pelukan Raditya. Dia mendengar jantung Raditya yang berdetak cepat. Ya Tuhan, aku jatuh cinta. Aku suka berada di dalam pelukannya.
Selama beberapa saat yang ada hanya keheningan. Akhirnya didengarnya Raditya berkata, "Besok aku akan pergi, sekitar dua minggu atau lebih. Aku berharap saat kita bertemu, aku bisa memelukmu lagi seperti ini." Raditya membelai rambut Rembulan, "Aku jatuh cinta padamu. Kamu tidak perlu menjawabnya malam ini, nanti saja saat kita bertemu lagi."
Rembulan menengadah melihat lekat mata Raditya, mencari jawab disana. Raditya mengangkat tangannya dari pinggang Rembulan lalu menelusuri wajah Rembulan dengan jarinya. "Aku sungguh-sungguh mengatakannya, aku menyukaimu."
***
Sulit untuk Rembulan memejamkan mata, kejadian tadi seakan berada di depan mata. Bagaikan sebuah adegan film yang bisa diulang terus menerus. Dia belum yakin untuk menjawab Raditya tapi dia tahu dia jatuh cinta pada Raditya.
Laki-laki itu memberinya waktu. Namun, apabila saat itu datang dia takut belum bisa memberikan jawaban yang pasti untuk dirinya dan Raditya. Jatuh cinta dan mencintai seseorang terkadang membingungkan. Perasaan yang normal tapi menjadi tidak normal ketika semuanya tidak yakin.
Rembulan memutuskan lebih baik dia memainkan pianonya. Dia belum bisa tidur. Musik yang lembut akan membuat jiwanya menjadi tenang.
***
Sedari tadi Raditya hanya tersenyum, hatinya merasa bahagia. Mengungkapkan perasaan pada perempuan seperti Rembulan sangat lah tidak mudah bagi Raditya. Rembulan berbeda, bukan seperti perempuan-perempuan yang selama ini mendekatinya. Bukan seperti perempuan-perempuan yang bergaul dengannya.
Rembulan itu tenang, dia seperti senja yang berwarna kemerahan, tak akan pernah bosan melihatnya. Rembulan adalah cintanya.
Raditya mendengar suara denting piano. Suaranya sayup-sayup sampai ke telinga. Kenapa dia belum tidur? Adakah yang mengganggu?
Raditya hanya diam mendengarkan Rembulan memainkan musik yang sangat lembut. Setelah tak ada lagi suara, Raditya menelpon Rembulan.
"Kenapa belum tidur?"
"Aku belum bisa tidur."
"Ada yang mengganggumu?"
"..." tak ada jawaban, hening.
"Kamu tahu, belum pergi saja aku sudah merasa merindukanmu." Raditya tertawa kecil, menghilangkan rasa canggungnya.
"Aku berharap kamu cepat kembali, agar tidak terlalu lama merindukanku."
"Aku rindu kamu."
"Dan kopiku..." Raditya mendengar Rembulan tertawa pelan.
"Ya dan kopimu, tapi aku lebih merindukanmu."
"Tidurlah! Besok kamu akan berangkat pagi-pagi. Aku juga akan tidur setelah memainkan satu lagu."
"Aku menunggumu memainkannya, setelah itu aku akan tidur."
Rembulan menutup ponselnya dan Raditya merasa kehilangan. Dia ingin Rembulan berada disisinya, dia ingin memeluknya seperti tadi.
***
Raditya nyaris terlambat bangun, dia tidak mendengar alarm berbunyi. Untunglah manajernya menelpon berkali-kali. Sepertinya manajernya sudah punya firasat kalau Raditya akan susah bangun pagi ini. Apalagi kalau harus mengambil penerbangan pertama.
Raditya menyeret koper yang sudah disiapkannya tadi malam. Langkahnya tergesa, dia harus bergegas kalau tidak mau terlambat. Pagi masih diselimuti gelap saat dia keluar dari rumah. Udara masih terasa dingin, bahkan embun pagi masih serupa titik-titik air di daun. Raditya merapatkan jaketnya, dingin. Matanya melihat ke arah rumah Rembulan. Kemudian dia tersenyum, tunggu aku dua minggu lagi.
Taksi yang sudah dipesan menunggu di depan pagar. Raditya segera memakai masker, dia tidak ingin saat nanti di bandara masih harus disibukkan dengan serbuan para fans. Walaupun kecil kemungkinan terjadi ketika penerbangan pertama. Tapi dia harus berjaga-jaga disaat genting.
Di dalam taksi yang membawanya ke bandara, Raditya berusaha memejamkan mata. Matanya masih mengantuk. Ponselnya berbunyi, ada pesan masuk untuknya Ada jarak antara kau dan aku, namun aku ingin jarak itu tak lagi jauh. Aku menantimu untuk pulang, dan kita bicara sambil minum secangkir kopi hingga langit berubah warna.
Raditya tersenyum, lalu menelpon perempuan itu.
"Hai, sudah bangun?"
"Hmm.."
"Aku akan segera pulang, untuk minum kopi bersamamu. Tunggu aku!"
"Ya." Lalu Rembulan mematikan ponselnya. Raditya tersenyum simpul. Dia membayangkan raut muka Rembulan yang malu-malu.
Perempuan itu tidak bisa bicara langsung untuk mengungkapkan perasaannya sedangkan Raditya tidak bisa menulis seperti Rembulan untuk mengungkapkan perasaan. Raditya lebih suka bicara langsung, mendengar suara Rembulan walaupun jawaban yang kadang didengarnya pendek-pendek. Namun itu cukup baginya.
Rembulan bicara lewat tulisannya, lewat ekspresinya dan lewat helaan napasnya. Raditya mulai mengenal Rembulan. Mereka adalah dua orang yang sangat berbeda. Dan Raditya menyukai perbedaan itu. Baginya mereka berdua bisa saling melengkapi.
Dulu perempuan seperti Rembulan bukanlah perempuan yang akan dipilihnya sebagai kekasih. Menurut Raditya perempuan yang tenang dan kalem sangat membosankan. Sekarang semua berubah, dia menginginkan pulang ke tempat yang tenang, ke sisi Rembulan.
***
Dia mendengar suara pagar Raditya terbuka. Rembulan memang tak bisa tidur. Setelah memainkan satu lagu lagi, dia memilih menyeduh kopi dan berkutat dengan novelnya. Pikirannya sedang bekerja, sampai kemudian dia tertidur. Kepalanya rebah diatas meja dengan laptop yang masih menyala. Kalau bukan karena suara pintu pagar Raditya, mungkin dia masih tertidur dengan posisi duduk, kepala rebah diatas meja. Sudah seringkali dia seperti itu.
Ada saat inspirasi datang dimalam hari dan memaksa tubuh serta otaknya bekerja untuk menghasilkan beberapa ribu kata. Dia akan minum beberapa gelas kopi untuk menemaninya bekerja dimalam hari. Kopi menjadi seperti candu buat Rembulan. Sekarang laki-laki itu itupun menjadi candu baginya.
***
Rembulan mengutuki dirinya yang lancang mengirimkan pesan seperti itu pada Raditya. Pesan yang sangat jelas menunjukkan perasaannya. Kenapa jari ini seperti tersihir? Apakah udara pagi mempengaruhi diriku menjadi bersikap romantis?
Rembulan nyaris tidak mau menjawab telpon Raditya, dia malu. Namun tak benar rasanya kalau mengabaikan telpon Raditya setelah dia mengirimkan pesan seperti itu. Dia tidak ingin mendengar Raditya menertawakannya. Setelah mendengar suara Raditya dan bicara dengannya sebentar, cepat dia matikan ponselnya. Dan ingin membenamkan wajahnya dengan bantal. Rembulan merasa kehilangan akal sehatnya.