Baru bangun pikirannya sudah berkelana tentang kejadian semalam. Rasa sayangnya begitu kuat untuk pria itu. Sampai sesak rasanya ketika melihat wajah sendunya.
Mata Jessi tertuju pada bingkai foto yang ada di atas lemari laci, fotonya berdua dengan Fauzan. Bayangan saat pertama kali Fauzan menyatakan rasa dihadapan seluruh siswa di depan ruang kelasnya itu menerobos masuk.
"Kamu mau gak jadi pacarku?" tanya Fauzan sudah tanpa ada rasa malu lagi. Berbanding terbalik dengan Jessi yang malu luar biasa karena menjadi pusat perhatian satu sekolah, ia tidak suka hal itu.
"Udah ih jangan gini, malu tahu. Bangun!" Jessi menarik tangan Fauzan agar kembali berdiri jangan berjongkok di depannya seperti sekarang.
"Jawab dulu baru aku bangun," kata Fauzan sedikit berbisik agar tidak terdengar oleh anak-anak yang lain.
"Terima! Terima!" Daneo mengompori para murid yang lain untuk ikut meneriakan kata yang sama dengannya.
Jessi merapatkan kedua matanya terganggu dengan banyaknya sorakan dari seluruh murid. Ia juga takut jika sampai harus ketahuan guru. Mana boleh pacaran disekolah, nanti ayahnya tahu bagaimana?
"Makanya ayo jawab!" tuntut Fauzan mendesak dan malah tersenyum melihat Jessi yang malu.
"Gak bisa jawab kalo banyak sorakan kayak gini," jawab Jessi sedikit membuka matanya.
Tangan Fauzan yang bebas memberikan kode untuk yang lainnya berhenti bersorak. Seketika suasana langsung kembali sepi.
"Jadi gimana, cantik?"
Jessi memejamkan matanya mencoba kembali menyakinkan dirinya dalam mengambil keputusan.
"Iya aku mau!"
"Yeay!!!" Fauzan bersorak gembira mendapat jawaban menyenangkan dari wanita yang dirinya cintai itu. Semua murid pun langsung kembali bersorak ikut senang.
"Yeay temen gue gak jomblo lagi!" sorak Lyn merasa sangat bahagia. Ia memeluk Cleo yang berada dekat dengannya. Sedangkan Rere berdecih geli melihat adegan layaknya sinetron menjijikan itu. Bukan karena cemburu, tapi Rere memang tidak suka hal seperti itu. Terlebih lagi mereka masih dibawah umur.
"Makasih yah!" Fauzan kemudian menarik tubuh Jessi masuk ke dalam pelukannya. Memeluk wanitanya dengan sangat erat bagaikan takut kehilangan.
Jessi kembali ke masa kini. Itu hanyalah bayangan masa lalu yang menyenangkan. Dan seharusnya itulah yang selalu Jessi ingat ketika dirinya memilih untuk tetap bertahan.
"Oke, yuk Jess! Balik kayak Jessi yang dulu lagi. Gak boleh banyak sedih kalo mau cepet sembuh. Ayo Jessi banyak yang sayang!" Ia berusaha untuk menguatkan dirinya sendiri. Tidak perlu mengharapkan kata semangat dari orang lain jika diri kita sendiri saja bisa melakukannya. Cintai diri kita sendiri dulu, sayangi diri kita sendiri dulu. Itu kunci utama yang harus selalu Jessi ingat.
Ia kemudian beranjak dari kasurnya dan menuju ke kamar mandi. Bersiap kembali menjadi Jessi yang penuh semangat seperti dulu. Dirinya tidak boleh banyak melamun dan merasa sendiri jika dirinya saja memiliki banyak teman.
***
"Masih sepi aja nih rumah," gumam Jessi sambil menuruni setiap anak tangga menuju ke dapur untuk sarapannya.
"Bunda sama ayah belum pulang yah, Bi?" tanya Jessi sambil menunggu rotinya dioleskan selai strawberry oleh Bi Eem.
"Iya, Non. Den Jeno juga pulangnya malem banget semalam terus udah berangkat aja pagi-pagi," jawab wanita paruh baya yang bekerja di rumah ini.
"Oke Bi makasih," ucapnya setelah rotinya selesai dan siap untuk disantap.
"Bibi ke dapur lagi yah, Non. Silahkan dihabiskan sarapannya," kata bi Eem kemudian berlalu meninggalkan Jessi sendirian menghabiskan makanannya.
Niatnya jika kedua orang tuanya ada, Jessi mau meminta izin untuk bekerja. Mengisi waktunya agar tidak terus larut ke dalam kesedihan.
Ayahnya sudah tidak bekerja, semua usahanya sudah ia berikan seluruhnya pada Jeno karena malas bekerja katanya. Itu yang membuat Alin emosi tingkat dewa. Untung saja Jeno tidak melawan yang akan membuat masalah semakin runyam. Namun, konsekuensinya harus ia terima, tidak ada waktu untuk main-main.
Selesai sarapan, Jessi kembali ke kamarnya dan menghubungi Cleo menanyakan keberadaannya.
"Dimana, Cle?" tanyanya sambil mulut mengunyah coklat.
"Lagi di kampus, Jess. Kenapa?"
"Enggak pemotretan?"
"Kenapa emangnya? Baru nanti malem sih aku ada jadwal," jawab Cleo.
"Kirimin alamat sama jamnya yah. Nanti aku dateng," kata Jessi kemudian panggilan ia putuskan. Tak peduli jika Cleo akan bingung.
***
"Tumben ngajak aku ketemu jam segini." Fauzan terus memperhatikan kekasihnya ini yang terus menebar senyum.
"Pengen ketemu aja. Kangen," katanya dengan manja.
Fauzan mengernyitkan dahinya melihat bagaimana Jessi bersikap. Ini persis seperti pertama kali mereka resmi berpacaran. Sikap Jessi seakan kembali seperti itu. Membuat rasa senang dan khawatir muncul pada Fauzan secara bersamaan.
"Lagi bahagia, kah?" tanya Fauzan karena melihat binar bahagia di setiap kilatan mata Jessi.
"Kan harus bahagia setiap hari," jawabnya dengan riang.
Baru semalam mereka membahas perpisahan yang tak pernah Fauzan inginkan. Paginya Jessi bersikap seolah-olah mereka tidak pernah ada masalah.
"Aku seneng liat kamu senyum terus kayak gini. Bahagia terus yah cantiknya aku!" Fauzan mengelus pipi Jessi dengan gemas apalagi tingkah Jessi ketika Fauzan melakukan hal itu sudah seperti kucing saja ketika diberi elusan. Menggemaskan.
Tangan Fauzan naik ke atas dan mengusap puncak kepala wanitanya dengan lembut sedikit mengacaknya.
"Mau apa lagi? Khusus hari ini semua waktu aku buat kamu. Gak boleh ada yang ganggu!"
Jessi terkekeh melihat Fauzan yang antusias dengan hari ini. Benar, hidup dengan senyuman memberikan dampak yang positif untuk tubuhnya juga. Merasa lebih baik dan lebih ringan dari sebelumnya.
"Gak apa-apa ganggu waktu kerja kamu? Nanti kamu dipecat lagi," kata Jessi merasa tidak enak karena sudah mengganggu waktu kerja Fauzan.
"Biarin dipecat. Asal aku gak pernah ngelewatin senyuman bahagia kamu. Pekerjaan gak penting," jawab Fauzan dengan santainya. Orang kaya mah bebas.
Jessi terkekeh mendengarnya. Ia jadi teringat dengan idenya untuk menghabiskan waktu dan menyibukkan dirinya.
"Oh iya aku mau bilang sesuatu sama kamu."
"Apa?" tanya Fauzan sambil menyeruput jus mangga miliknya.
"Aku pengen kerja deh," kata Jessi membuat Fauzan hampir saja tersedak.
"Aku gak salah denger? Kamu mau kerja? Kerja apa? Kerja di kantor yang sama kayak aku aja yuk!" ajak Fauzan tiba-tiba antusias.
Jessi menggelengkan kepalanya. "Kamu kan tahu aku gak suka pengadilan. Gak suka kantor firma."
"Terus kamu mau kerja apa?" tanya Fauzan bingung. Jelas mereka belajar tentang hukum tapi mengapa malah tidak mau ketika diajak bekerja di tempat yang sama?
"Aku mau kayak Cleo aja, jadi model."
Mata Fauzan membulat mendengar jawaban Jessica. Yang benar saja, Jessia itu tidak suka sorot kamera. Tidak suka jadi pusat perhatian. Dan sekarang dia malah mau jadi model? Apa tidak salah dengar telinga Fauzan?
"Becanda kamu. Udah, aku kasih resume kamu ke HRD di kantorku aja yah!"
"Aku gak becanda, By. Aku mau minta kerjaan aja sama Cleo. Siapa tahu dia ada," kata Jessi dengan santainya.
"By, kamu kan gak suka sorot lampu kamera. Gak suka jadi pusat perhatian. Masa tiba-tiba kamu mau jadi model sih?"
"Aku mau coba keluar dari zona nyamanku."
"Cleo, kira-kira aku bisa gak yah jadi kayak kamu?"
Mereka sedang ada di sebuah studio foto tempat Cleo melakukan pemotretan untuk sampul majalah bulanan. Mendengar Jessi yang bertanya seperti itu membuat Cleo mengerutkan keningnya.
"Maksudnya?" Cleo tidak mengerti dengan arah maksud dan tujuan pertanyaan Jessi, salah saja otaknya yang lemot.
"Mau jadi model juga," kata Jessi menjelaskan secara singkat meskipun rasa gugupnya tinggi sekali.
Mendengar perkataan Jessi barusan, manager Cleo yang duduk di sebelah Jessi langsung menghampiri mereka.
"Kamu beneran mau jadi model? Serius? Gak lagi becanda, kan?" cecarnya bertanya.
Cleo dan Jessi menatap wanita itu dengan kaget. Kepala Jessi perlahan bergerak mengangguk.
"Kalo gitu saya minta nomor handphone kamu. Biar saya mudah mengabari," katanya kemudian menyodorkan ponselnya pada Jessi.
Cleo yang masih belum mengerti lantas mengambil alih ponsel Maya, Managernya.
"Ini maksudnya gimana sih? Ngapain kamu minta nomornya Jessi?" tanya Cleo tanpa dosa.
Maya yang mengerti jika modelnya ini kadang kurang asupan vitamin, segera mengambil kursi untuk duduk dekat dengan Cleo. Menjelaskan padanya secara perlahan agar bisa dimengerti.
"Jadi gini Cleo, Jessi ini mau jadi model kayak kamu. Makanya aku minta nomor dia biar mudah ngasih kabar kalo ada yang butuhin dia. Ngerti?"
Cleo menganggukkan kepalanya setelah mencerna secara perlahan apa yang Maya katakan. Jessi jadi terkekeh melihat tingkah Cleo yang seperti anak kecil.
"Oh gitu. Kamu kenapa mau jadi model, Jes? Langkah kamu untuk jadi advokat kan sedikit lagi," kata Cleo yang kurang mengerti dengan isi pikiran Jessi.
"Siapa bilang aku mau jadi advokat?"
"Ya kamu aja kuliahnya di fakultas hukum. Terus buat apa kamu belajar tentang hukum kalo kamu gak mau jadi advokat?"
"Untuk jadi advokat memang wajib belajar tentang ilmu hukum. Tapi, yang belajar ilmu hukum gak wajib jadi advokat. Terserah dia dong mau jadi apa? Kok kamu ngatur?" balas Jessi yang kini bukan hanya membuat Cleo yang bingung, melainkan juga Maya.
"Terserah kamu deh, Jes."
"Eh tapi kan kamu gak suka sorot lampu kamera? Kok sekarang mau jadi model yang harus terbiasa dengan suasana seperti itu?"
"Kenapa sih emangnya kalo aku mau jadi model? Takut kesaing kamu?"
Cleo melotot tajam mendengarnya. "Dih, siapa juga yang takut kesaing. Lagian aku kan cuma tanya kenapa kamu malah mau jadi Model yang justru keluar dari zona kamu," jelas Cleo kesal dengan setiap balasan daru Jessi.
Jessi tertawa pelan karena berhasil membuat Cleo kesal kepadanya.
"Aku mau keluar dari zona nyamanku. Mencoba menjadi Jessica yang baru. Bukan Jessi yang terus terpuruk di dalam kamar," kata Jessi serius.
Cleo mendengarkan apa yang Jessi katakan dengan serius. Ia tahu dan mengerti apa maksud sahabatnya itu. Bukan maksudnya dirinya takut kalah saing, hanya saja Cleo tahu jika Jessi tidak suka dengan dunia Cleo yang seperti ini. Jelas saja jika Cleo terkejut ketika tiba-tiba Jessi mengatakan ingin masuk ke dalam dunianya.
"Yaudah nanti aku bantuin kamu untuk masuk lebih mudah ke dalam dunia ini. Karena masuk ke dalam dunia seperti ini itu tidak mudah. Tapi, aku yakin untuk kamu semuanya akan lebih mudah," balas Cleo kemudian.
***
Rere duduk sendirian menikmati coffe latte di Caffe Ceriwis. Malam ini terasa lebih dingin dari biasanya. Padahal Rere sudah memakai hoodie yang tebal sekali untuk membantu menghangatkan tubuhnya.
Matanya memandang bintang di langit yang malam ini sangat banyak. Kebiasaanya menghitung bintang harus terhenti ketika tiba-tiba saja kursi kosong di depannya diisi oleh seseorang yang dirinya kenal.
"Ngapain lo disini? Gak sopan banget," decak Rere kembali menatap langit yang penuh dengan bintang.
Satria memandang Rere tak lepas dengan menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi.
Penampilan Satria malam ini membuat Rere ingin terus menatapnya. Hoodie putih dengan jeans hitam, sepatu jordan. Kepalanya tertutup kupluk hoodie, rambut yang sudah gondrong sengaja dikeluarkan dengan kedua tangan yang masuk ke dalam saku hoodie. Benar-benar membuat ketampanannya bertambah berkali-kali lipat. Ah sial, Rere semakin jatuh cinta.
"Nemenin lo yang sendirian," jawab Satria santai.
Satria yang biasanya berpenampilan rapih malam ini sangat berbeda. Penampilannya hampir mirip dengan Rere, sudah seperti pasangan saja.
Rere diam tak menjawab. Sekuat tenaga ia tidak mau menatap Satria. Pria itu akan semakin besar kepala jika Rere menunjukkan kekagumannya kepadanya.
"Masih benci sama Evelyn?" tanya Satria tiba-tiba membuat Rere yang sedang menahan salah tingkah langsung berubah 90°.
Matanya mendelik menatap Satria dengan tajam. Tidak ada tatapan kekaguman untuk pria itu di dalam mata Rere.
"Kalo lo kesini cuma buat bahas cewek itu, mending lo pergi. Gue muak," sarkas Rere tak memakai hati.
"Dia udah minta maaf sama Jessi, kan?"
"Masih aja yah lo bahas dia? Bela aja terus. Udah dikecewain juga," balas Rere benar-benar tidak suka dengan pembahasan mereka malam ini.
"Gue sama Jessi yang dikecewain kan, Re? Kok lo yang gak bisa maafin?"
"Satria, lo bodoh apa gimana sih? Cewek di dunia ini tuh banyak." gue di depan lo, Sat.
"Gue cuma maafin dia aja kok, Re. Bukan berarti gue masih sayang sama dia," elak Satria.
"Halah. Bullshit!"
"Gue cuma mau lo maafin dia dan udah selesai. Gak ada urusan apa pun lagi."
"Apa buktinya dia mau minta maaf? Kelakuannya aja gak menunjukkan kalo tuh cewek mau minta maaf sama gue dan temen-temen gue. Jadi cowok jangan terlalu lemah, Sat."
Tanpa mendengarkan apa pun lagi, Rere lantas beranjak dan meninggalkan tempat itu. Sudah cukup dirinya tidak mau membahas tentang wanita itu lagi. Tidak lagi.
***
"Lo sama Jessi gimana, Zan?" tanya Daneo yang menemani Fauzan bermain PS di rumahnya.
"Baik-baik aja."
Daneo langsung mendelik tidak percaya mendengarnya. Bagaimana bisa mereka baik-baik saja sementara banyak sekali masalah yang ada.
"Kok bisa?"
Fauzan membalas tatapan Daneo dengan tajam.
"Maksud lo apa nanya kayak gitu? Berharap hubungan gue hancur sama Jessica?" tanya balik Fauzan dengan sewot.
"Ya enggak, maksdunya, kalo hubungan diluar sana tuh pasti udah langsung hancur. Putus gitu," jawab Daneo dengan tenang. Lah, memang apa salahnya?
"Lo doain gue putus sama Jessi?"
"Ya iyalah. Ya kali gue doain sahabat gue menderita terus. Kenapa lo? Gak suka?"
Fauzan menahan kesal karena tidak semua yang Daneo katakan itu salah. Hubungan itu memang sudah tidak lagis sehat. Sudah terlalu banyak hal yang menghancurkan keduanya.
"Jangan lah lo doain yang gak baik gitu."
"Itu doa baik loh yang pernah gue harapkan, Zan. Jessi lepas dari lo itu harapan baik yang harus semua orang aamiin kan."
Fauzan berdecak kesal mendengarnya. Sejahat itukah dirinya sampai membuat sahabatnya sendiri pun mengharapkan Jessi bisa pergi dari hidupnya?
"Makanya kalo gak mau ditinggalin Jessi, berubah. Jangan egois, Bro!"
Você também pode gostar
Comentário de parágrafo
O comentário de parágrafo agora está disponível na Web! Passe o mouse sobre qualquer parágrafo e clique no ícone para adicionar seu comentário.
Além disso, você sempre pode desativá-lo/ativá-lo em Configurações.
Entendi