Baixar aplicativo
27.27% SAFARAZ / Chapter 3: Chapter 3

Capítulo 3: Chapter 3

POV Safaraz

"Serasi apanya? Sama-sama lelaki tidak ditakdirkan untuk bersama apalagi sampai menikah. Semoga keluarga kita tidak terkena azab dari Tuhan gara-gara homo kecil satu ini."

nyesss! Inilah hal yang paling sering kuhindari setiap kali ada acara kumpul keluarga.

Hati siapa yang tidak akan sakit ketika dirinya dihina dan direndahkan bahkan di hadapan banyak anggota keluarga yang lain. Aku bukan seorang homo, pernikahan ini bukan keinginanku, Daniel juga tidak menginginkan pernikahan ini.

Aku hanya terpaksa semata-mata untuk menebus hutang budi pada Pak Will. Tapi di sudut hatiku yang terdalam, aku menyadari perasaan untuk Daniel sudah mulai tumbuh di sana, setelah selama dua tahun ini kami menghabiskan waktu di atap yang sama selalu.

Pernah suatu kali, karena sudah bosan mendapat sindiran dari tantenya Daniel yang terus menghinaku homo, aku iseng menggoda anak laki-lakinya yang adalah sepupu Daniel.

Aku menggoda dan memancing sepupu Daniel dan sepupunya itu malah tergoda dengan keisenganku, mungkin itu yang membuat tante Daniel sangat sanksi saat ada aku di sekitarnya.

Aku jadi ingat dulu saat awal pernikahan aku pernah merendahkan harga diriku sebagai pria hanya untuk bisa disentuh oleh Daniel, namun yang kudapatkan hanya penolakan yang dibalut dengan kata-kata pedas, sangat menyakitkan. Padahal aku melakukannya supaya dapat membayar hutang budi pada Pak William dengan cara yang tidak setengah-setengah.

"Jangan harap saya mau tidur denganmu, berdekatan saja rasanya saya jijik. Jangan dikira karena kamu seorang dokter bisa menarik perhatian saya. Cih, nggak sudi! Lagipula selama ini kami tau, kalau selain sebagai anak asuh Ayah, kamu juga menjadi simpanannya kan? Makanya dia selalu mensupport segala kebutuhanmu, kecil-kecil sudah jadi gigolo!" makinya begitu tajam.

Jangan tanya bagaimana perasaanku saat itu, selain malu karena penolakan hatikupun hancur. Bagaimana bisa orang yang memiliki wajah sempurna sepertinya bisa mengeluarkan kata-kata yang sangat buruk dan menyakitkan kepada seorang yang bahkan tidak dikenal olehnya.

Mungkin aku memang beruntung bisa menjadi anak asuh Pak William, namun sungguh tidak sekalipun aku melacurkan diri padanya.

Dia begitu peduli padaku layaknya seorang ayah kepada anaknya, begitupun caraku memperlakukannya, aku tidak pernah menggodanya apalagi menjadi simpanan orang sebaik Pak Will. Cukup sudah harga diriku diinjak olehnya, sejak saat itu aku bersikap bagai orang asing di rumah suamiku sendiri.

Aku akan bicara seperlunya saja, kalau dulu saat di rumah aku suka berpakaian sedikit terbuka untuk menarik perhatiannya, sejak saat itu aku selau memakai pakaian yang agak tertutup, cukup sudah dia merendahkan aku, tidak akan ku biarkan sekalipun diriku untuk kembali mengemis sentuhan darinya, sekuat apapun pesonanya terpancar.

Aku lebih rela di hina sebagai laki-laki homo, daripada difitnah sebagai simpanan Pak Will. Sungguh, aku tidak akan pernah melupakan kata-kata menyakitkan yang dia berikan kepadaku. Sampai kapanpun.

Semua terdiam saat mendengar tante Yunita menghinaku, mengatakan aku hanya lelaki homo murahan yang wajib menerima jika suamiku ingin menikah lagi. Sudah biasa, walaupun rasanya tetap sakit, lebih menyakitkan karena selama ini tidak pernah ada sedikitpun pembelaan yang Daniel berikan untukku. Dia hanya diam melihat suaminya dihina.

Aku mencoba untuk menguatkan hatiku sekali lagi, mengingatkannya untuk tetap sabar dan memerintahkan mataku untuk tidak menangis, setidaknya jangan sekarang, mungkin nanti, beberapa saat lagi, asal jangan dihadapan semua orang.

Aku memilih terus melanjutkan langkah memasuki ruang tamu Nenek, kemudian menghampirinya yang sedang duduk menatap ku dengan tatapan nanar. Aku tau, Nenek pasti ikut sedih karena melihatku selalu dihina oleh tantenya Daniel yang berarti adalah anaknya. Namun, bagai tidak berkutik, Nenek hanya diam, sesekali mengusap bahuku untuk memberikan penguatan.

Nenek memiliki tiga orang anak, yang pertama adalah ibu mertuaku, yang kedua tante Yunita, dan yang ketiga om Farhan. Di usia Nenek yang sudah menginjak angka tujuh puluh dua tahun, Nenek masih cukup terlihat sehat, meski ketika berjalan harus menggunakan tongkat, karena penyakit asam urat yang di deritanya, namun Nenek bisa dikatakan contoh orang dulu yang sehat meski sudah tua.

Hubunganku dengan ibu mertua selama ini tidaklah hangat, terkesan hambar, beliau tidak pernah menunjukan respon suka atau tidak kepadaku, ibu juga tidak menolak atau menerima ketika Pak Will meminta anaknya menikahi ku. Datar, tapi yang jelas, aku merasa jika ibu termasuk yang menilai ku sebagai simpanan suaminya, sehingga membuatnya bersikap seperti ini kepadaku.

"Jangan diambil hati ya, Nak, Nenek tau Saf dan Daniel pasti sudah berusaha memenuhi keinginan terakhir William. Nenek sangat berterima kasih karena kamu bersedia memenuhi keinginan terakhir menantu terbaik nenek." ucapan Nenek selalu mampu membuat hatiku yang terhimpit menjadi sedikit lebih lega.

"Jadi manusia kok gak tau diri banget, mau aja jadi homo demi harta. Ibu liat sendiri kan, keluarga kita semuanya normal, enggak ada tuh riwayat homo kayak Safaraz gini." lagi-lagi Tante Yunita menghinaku dengan perkataan yang menyakitkan.

Cukup, aku sudah tidak tahan, aku memutuskan permisi ke kamar mandi, tidak sanggup rasanya berlama-lama berada di sana.

Ku tumpahkan segala sesak di dadaku, aku menangis sepuas yang ku mau, tanpa takut ada yang mendengar atau melihatnya. Sakit, sakit sekali, lebih sakit dari saat aku mendapat makian seorang senior ketika sedang ospek dahulu.

"Ayah, ibu, kenapa kalian ninggalin Safaraz sendirian, kalau boleh meminta, ajak Saf untuk ikut kalian. Ayah, keberuntungan yang mengikuti Saf sepertinya sudah habis, hilang bersama kepergian pak William. Di sini tidak ada yang sayang sama Saf. Aku sendirian, hu hu hu.. " tangisku pecah karena merasakan sesak tiada tertahan.

Andai motor ayah tidak ditabrak seseorang yang tidak bertanggung jawab, pasti ayah dan ibu tidak akan meninggal, aku tidak akan terjebak pada hutang balas budi karena kebaikan yang pak William berikan, aku tidak akan ada diposisi ini sekarang, menjadi suami yang tidak dianggap, menjadi menantu yang dimusuhi dan selalu dihina.

Jika boleh mengulang, ingin rasanya aku memperbaiki semuanya, tidak akan kubiarkan ayah mengajak kami berkeliling sore dengan motor kebanggaannya, tidak akan kubiarkan tubuh kecilku dibawa ke panti asuhan, tidak akan kubiarkan pak William menjadikan ku anak asuhnya.

Tok tok tok!

"Saf, kamu di dalam?" tanya suara pria diluar kamar mandi.

Aku berusaha menekan suaraku agar berhenti menangis, tapi tidak bisa, sesaknya belum hilang, makin terasa jika ku paksa berhenti, tapi, aku tidak ingin seorangpun tau jika aku selemah ini. Allah, berikan aku kekuatan.

"Saf! Kamu baik-baik aja di dalam? Buka pintunya, Saf!" siapa sebenarnya yang memanggilku, karena itu bukan suara mas Damar.

"Ya, sebentar!" ucapku akhirnya.

Aku bergegas mengapus air mataku, mencuci wajahku dengan air, tidak lupa aku membenarkan penampilan yang sedikit rusak. Setelahnya aku menggunakan kacamata yang biasa kugunakan jika sedang bekerja, fungsinya selain untuk memfokuskan pandangan, juga bisa berfungsi untuk menutupi mataku yang sembab sehabis menangis. Sehabis itu baru aku membuka pintu kamar mandi yang sejak tadi diketuk.

"Hey, are you okay?" ternyata om Farhan orangnya, dia yang sejak tadi mengetuk pintu kamar mandi.

"Om, Farhan? Ya, saya baik-baik saja sahutku canggung, karena bagaimanapun dia adalah om dari suamiku, walaupun usianya hanya terpaut lima tahun dari Daniel.

"Kamu habis nangis, Saf?"

"Ah, enggak, Om, maaf saya permisi dulu!" aku sengaja mengakhiri percakapan kami, tidak ingin rasanya jika sampai ada yang melihat kami sedang bicara hanya berdua saja, bagaimanapun, aku harus menjaga nama baik suamiku.

"Saf." cegahnya.

"Lepaskan jika kamu sudah tidak kuat!" lanjutnya saat aku menghentikan langkah, masih dengan membelakanginya.

"Maksud om Farhan apa?" tanyaku bingung.

"Saya tau Saf, kamu tidak bahagia dengan Daniel, kan? Lepaskan dia, biar kamu juga bisa bahagia dengan hidupmu,"

"Maaf, Om, Saya enggak ngerti, apa maksud om?" tanyaku masih berpura-pura, aku tidak boleh terpancing selama ini tidak pernah ada yang tau kehidupan rumah tanggaku kecuali mbok Minah.

"Saya tau kalau Daniel masih menjalin hubungan dengan mantan kekasihnya, saya yakin kamu juga mengetahuinya, kan?"

Bagai tersambar petir saat mendengarnya, aku berusaha menenangkan detak jantungku, tidak ingin bersikap seolah aku istri yang patut dikasihani. Aku memilih mengabaikannya dan masuk kembali ke ruang tamu di mana semua sedang berkumpul.

"Darimana kamu? Mojok sama om Farhan?"

Bersambung


next chapter
Load failed, please RETRY

Status de energia semanal

Rank -- Ranking de Poder
Stone -- Pedra de Poder

Capítulos de desbloqueio em lote

Índice

Opções de exibição

Fundo

Fonte

Tamanho

Comentários do capítulo

Escreva uma avaliação Status de leitura: C3
Falha ao postar. Tente novamente
  • Qualidade de Escrita
  • Estabilidade das atualizações
  • Desenvolvimento de Histórias
  • Design de Personagens
  • Antecedentes do mundo

O escore total 0.0

Resenha postada com sucesso! Leia mais resenhas
Vote com Power Stone
Rank NO.-- Ranking de Potência
Stone -- Pedra de Poder
Denunciar conteúdo impróprio
Dica de erro

Denunciar abuso

Comentários do parágrafo

Login