Baixar aplicativo
12.8% ROULLETE / Chapter 21: Obrolan yang Membagongkan

Capítulo 21: Obrolan yang Membagongkan

Paijo berdiri dengan kedua tangan yang dimasukkan ke dalam saku. Mata elangnya terus menatapku tajam.

Ah, sial! Dia melakukannya lagi! Aku sungguh benci dengan tatapan itu! Tatapannya yang begitu mengerikan, dan mengintimidasi.

"Lo mau ngomong apa? Buruan, sebelum anak-anak pada ngumpul!" seru Paijo dengan nada datar.

"Anak-anak bilang, kamu itu orangnya ramah, dan perhatian banget sama perempuan! Tapi, kenapa sama aku kamu itu selalu ketus?!" tanyaku tanpa basa-basi.

Kedua alis Paijo berkerut, kedua tangannya juga langsung ia keluarkan dari saku, dan langsung ia lipat dengan angkuh di depan dadanya.

"Jadi, intinya apa? Lo mau gue bersikap ramah, dan perhatian ke lo?!" sinis Paijo.

Tanganku mengepal kuat melihat tatapan Paijo yang seolah sedang merendahkanku.

Siapa juga yang ingin diperhatikan olehnya?!

"Aku nggak butuh juga di baik-baikin sama kamu, tapi seenggaknya, bisa nggak sih kamu gak usah ketus, judes, galak, dan anti gitu sama aku?!" seruku kesal.

"Hah?" pekik Paijo bingung.

"Serius, ya Jo! Aku itu sampai susah tidur gegara kamu! Aku selalu kepikiran, apa salah aku sama kamu, kenapa sikap kamu kayak gitu sama aku! Sekarang jujur aja deh! Aku ada buat salah apa sama kamu? Aku ada nyinggung kamu? Atau apa? Ngomong Jo, ngomong! Jangan bisanya diemin orang, jutekin orang! Punya mulut itu buat ngomong!" Aku pasti sudah kehilangan akal.

Tapi terserah, aku tidak peduli lagi! Aku sudah lelah, dan muak dengan perlakuannya!

Kami sama-sama terdiam untuk waktu yang cukup lama, hingga tiba-tiba tawa Paijo pecah.

Aku menganga tak percaya, dibuatnya. Bagian mana dari kalimatku yang begitu lucu hingga ia bisa tertawa begitu renyahnya?

Bagian mana?

"Kok kamu malah ketawa?!" pekikku kesal.

Paijo mengabaikanku dan melanjutkan tawa anehnya. Serius, bagaimana Yogo, Naya, dan anak-anak Roulete lainnya bisa tahan berteman dengan makhluk yang satu ini? Dia menyebalkan!

Aku bersandar pada dinding, dan terdiam menunggu pria itu selesai tertawa. Ingin rasanya aku menjadi squidward, dan mengatakan padanya jika kotak tertawanya akan rusak jika dia terus tertawa. Namun sayangnya, aku sangat yakin jika ia tidak sebodoh spongebob yang akan mempercayai ucapanku.

"Udah, ketawanya?" sinisku begitu Paijo berhenti tertawa.

Paijo tersenyum miring, ia mendekat satu langkah ke arahku, lalu mensejajarkan wajah kami. Tentu ia harus sedikit menunduk mengingat tinggi badannya yang bisa kutebak lebih dari 180 centimeter.

Paijo menatapku lekat-lekat.

"Lo itu aneh, lucu, ngeselin tahu nggak! Kalo bukan adeknya Bambang, udah gue karungin, terus gue bawa pulang, lo!"

Tunggu! Apa maksud pria ini? Dikarungin? Berbagai macam pertanyaan langsung berputar-putar di pikiranku.

"Udah kecil, aneh, lola lagi lo!" komentar Paijo sambil menjauh satu langkah dariku. Pria itu kembali berdiri dengan tegak, dan memasukkan kedua tangannya ke saku celana.

Sok keren!

"Udahlah, bubar! Ntar kalo ada yang lihat kita di sini, bisa-bisa kita di kira lagi berbuat mesum, lagi!"

Aku tersentak mendengar ucapan Paijo. Tapi, apa yang dia katakan memang masuk akal juga. Kami sedang berada di belakang sekolah, siapa pun yang melihat kami, pasti akan berpikiran negative.

"Tunggu!" pekikku sambil menahan lengan Paijo ketika ia hendak beranjak pergi.

"Apa?" tanya pria itu dengan nada, dan raut wajah yang datar.

"Kamu belum jawab pertanyaanku tadi! Jawab dulu, baru pergi!"

"Pertanyaan yang mana?"

Aku merengut, sungguh ingin sekali aku menggeplak kepalanya itu.

"Kenapa sikap kamu sejahat itu sama aku?"

"Oh," ucap Paijo pelan.

Oh? Hanya oh? Astaga!

"Oh doang? Jadi jawabannya apa?!" aku benar-benar geram dibuatnya.

Paijo mendekat ke arahku, lalu menatap tajam kedua manik mataku.

"Jawabannya ... pikir aja sendiri!"

Setelah mengataan itu, Paijo mendorong pelan keningku dengan ujung jari telunjuknya, lalu melangkah dengan santainya meninggalkanku.

Ini tidak ada gunanya. Percuma aku mengajaknya mengobrol empat mata di sini. Ah, aku bahkan meninggalkan makan siangku.

Sekarang apa?

***

Aku tersentak kaget ketika beberapa bungkus roti, dan susu pisang tiba-tiba muncul di hadapanku. Aku mendongak untuk melihat siapa yang meletakan makanan itu di mejaku, dan ternyata orang itu adalah Gepeng.

Pria itu tersenyum manis, lalu duduk di bangku yang ada di depan mejaku. Sepertinya senyum pria itu menular, karena kedua sudut bibirku langsung terangkat secara otomatis saat melihatnya.

"Tadi ke mana, kok nggak ke kantin?" tanya Gepeng pelan.

"Lagi menguji kewarasan dan kesabaran." sahutku asal.

Aku pun mengambil susu pisang pemberian Gepeng, dan meminumnya.

"Gimana? Gagal paham gue," ucap Gepeng kebingungan.

Aku tersenyum lebar, lalu menggeleng pelan.

"Makasih buat susu dan rotinya!" seruku sambil mengambil salah satu roti, dan membuka plastiknya.

Gepeng tersenyum tipis. Tangan pria itu terulur dan mengusap lembut pucuk kepalaku.

Tunggu! Kenapa dia melakukan itu? Bagaimana jika aku terbawa perasaan karena sikapnya itu? Dasar menyebalkan!

"Mel, kalau gue minta sesuatu ke lo, kira-kira lo bakal mau kabulin permintaan gue, nggak?" tanya Gepeng tiba-tiba.

Aku berhenti makan, dan mendongak menatap pria di hadapanku itu.

"Mau minta apa emangnya? Kalau aku mampu, pasti aku lakuin!" sahutku cepat.

Tentu saja, selama ini Gepeng sudah sangat baik kepadaku. Satu pemintaan bukan masalah, 'kan?

"Lo jangan terlalu deket sama Paijo, ya!"

"Hah?" pekikku kaget.

Entahlah, aku merasa permintaan Gepeng sangat aneh. Kenapa dia membuat permintaan seperti itu? Apa karena Paijo playboy, jadi Gepeng takut aku menyukainya lalu patah hati? Jika memang karena itu, dia tidak perlu khawatir karena toh aku memang tidak tertarik kepada makhluk yang satu itu.

"Oke, tapi kenapa? Dia itu anak Roullete juga, 'kan? Dia temen kamu, kenapa kamu minta sesuatu yang kayak gitu?" tanyaku pelan.

Gepeng menggeleng pelan.

"Bukan karena dia nggak baik atau apa, tapi gue takut cemburu kalo lihat lo deket sama dia!"

Uhuk!

Aku langsung tersedak roti yang kumakan saat mendengar ucapan Gepeng.

Buru-buru pria itu memberikan susu pisang di dekatnya, kepadaku.

"Pelan-pelan makannya, orang nggak ada yang minta juga! Kek anak kecil, lo!" komentar Gepeng sambil menggelengkan kepalanya pelan.

Belum sempat aku menyahut, bel pertanda berakhirnya jam istirahat sudah berdering.

"Buruan dihabisin! Keburu guru dateng!"

Setelah mengatakan itu, Gepeng pun bergegas pergi meninggalkan kelasku.

Tadi itu, aku salah dengar atau bagaimana? Gepeng cemburu? Ah, pasti memang salah dengar.

Aku terkekeh pelan, menertawakan pikiran anehku yang langsung traveling, berandai-andai jika Gepeng memang mengatakan bahwa ia cemburu pada Paijo.

Oke, di mana otakku?

"Cie, yang abis dapet pernyataan cinta, senyum-senyum terus, bakalan nggak bisa konsen sama pelajaran, nih!" celetuk Nisa yang entah sejak kapan duduk di sampingku.

"Apa? Gimana? Pernyataan apa?" tanyaku bingung.

"Ya itu, waktu Gepeng bilang dia cemburu, secara otomatis, dia menyatakan suka sama lo! Gimana sih, lo! Aneh!"

"Hah? Gepeng bilang cemburu?" pekikku kaget.

"Telinga lo normal, 'kan? Gue aja yang dari tadi duduk di belakang denger waktu dia bilang kek gitu, masa lo yang di depannya gak denger! Wah, bahaya nih!"


next chapter
Load failed, please RETRY

Presentes

Presente -- Presente recebido

    Status de energia semanal

    Rank -- Ranking de Poder
    Stone -- Pedra de Poder

    Capítulos de desbloqueio em lote

    Índice

    Opções de exibição

    Fundo

    Fonte

    Tamanho

    Comentários do capítulo

    Escreva uma avaliação Status de leitura: C21
    Falha ao postar. Tente novamente
    • Qualidade de Escrita
    • Estabilidade das atualizações
    • Desenvolvimento de Histórias
    • Design de Personagens
    • Antecedentes do mundo

    O escore total 0.0

    Resenha postada com sucesso! Leia mais resenhas
    Vote com Power Stone
    Rank NO.-- Ranking de Potência
    Stone -- Pedra de Poder
    Denunciar conteúdo impróprio
    Dica de erro

    Denunciar abuso

    Comentários do parágrafo

    Login