Bab 1: The Mysterious Boy
Ada dua jenis mimpi yang seringkali dialami oleh seseorang, pertama berasal dari keinginan dan kedua berasal dari ingatan. Dan sepertinya aku mengalami keduanya.
2012
Aku belum beranjak dari posisiku. Berdiri memandangi ruang persegi yang terdapat puluhan pasang bangku berjejar tak rapi di dalamnya. Gumpalan kertas tercecer di mana-mana. Kulit kuwaci, bungkus permen hingga minumakan kemasan menghiasi meja dan lantai ruangan tersebut. Kadang aku berpikir, bagaimana bisa aku pernah betah belajar di tempat sedekil ini?
Pandanganku tak sengaja beralih pada jam dinding di tembok belakang. Sudah pukul tujuh, tapi yang datang masih aku? atau jam itu telah rusak? Ah, tidak mungkin. Matahari pun sepertinya turut membenarkan angka yang ditunjukkan oleh jarum jam tersebut. Namun ke mana yang lain? Bahkan yang bertugas piket kebersihan pun belum datang, sedangkan tidak lama lagi upacara di mulai.
Masih ada waktu, lebih baik aku ke kantin membeli sesuatu untuk mengisi perut sebelum pak Juned mendongeng melalui speakers sekolah.
Peluh bercampur letih berdiri di bawah terik matahari yang tak tanggung-tanggung membentangkan sinar cerahnya pada penghuni semesta. Tak jarang beberapa murid yang tengah berbaris menyaksikan rutinitas setiap hari senin pagi itu mengeluh karena kepanasan, padahal kegiatan belum berlangsung lima menit.
Awalnya aku masih kokoh berdiri mengikuti jalannya upacara. Namun begitu bendera telah berkibar di puncak tiang tertinggi, udara di sekitar terasa menusuk hingga ke kulit. Penglihatanku menjadi tidak jelas seperti tidak berwarna. Tak ada lagi suara yang terdengar jelas, yang ada hanya bunyi mendenging menyerupai microphone rusak yang terus naik hingga membuat kepalaku pening dan sangat sakit. Ini sungguh menyiksa. Aku sudah tak kuat.
Pandangan yang semulanya buram pun perlahan menjadi gelap. Kakiku mendadak lemas seperti jeli, sepertinya tak lama lagi aku akan tumbang. Suara tepuk tangan yang sangat keras masih dapat ditangkap oleh indra pendengaranku sebelum kegelapan merengut kesadaranku.
Aroma minyak aromaterapi menyeruak memenuhi indra penciumanku. Perlahan kelopak mataku terbuka menampilkan senyuman hangat dari gadis berambut keriting yang tengah membantuku duduk.
"Syukurlah sudah sadar. Ini minum dulu." tawarnya menyodorkan air kemasan yang lalu kuminum.
"Bagaimana? Masih pusing, nggak?"
Aku menggeleng. Meskipun masih agak pusing, tapi ini sudah tidak separah tadi. " Terima kasih."
Ia hanya tersenyum sebelum beranjak pergi dan tak lama kemudian derap langkah kaki terdengar dari luar menandakan bahwa upacara telah selesai. Satu per satu siswa telah memasuki kelas.
Tanpa sadar sudut bibirku tertarik memperhatikan setiap wajah yang datang. Mereka adalah teman-teman seperjuanganku selama tiga tahun di bangku sekolah menengah pertama. Semoga mimpi ini dapat terus bersambung hingga akhir cerita kami nanti.
"Akh! Gerang banget. Pak bulat kalau bawain amanat upacara nggak tanggung-tanggung. Dia sih enak, posisi berdirinya di bawah pohon. Lah kita? Nih, bedak sama eyeliner pada luntur semua," gerutu Novia yang baru datang segera merogoh tasnya dan mengeluarkan alat-alat riasan seperti cermin, bedak, lotion hingga sisir ke atas meja demi mengembalikan penampilannya seperti semula.
Kalau sudah seperti ini, maka murid perempuan di kelasku akan berdatangan ke bangku kelompok kami dan meminjam barang-barang Novia tanpa sungkan. Padahal kalau diingat-ingat mereka adalah orang yang pernah men-judge Novia saat pertama kali membawa alat riasan ke sekolah, namun lihatlah yang terjadi sekarang.
"Inara ..., kalau pengen minjam punya orang nggak usah sok-sokan ngomong kalau orang itu banyak gaya atau kecentilan. Tapi ujung-ujungnya BBM juga."
"BBM? Apa itu BBM? Blackberry Messenger?"
"Bukan."
"Terus apa?"
"Bergaya bukan milik."
"Wahahaha ...."
Yah, beginilah kehidupan sekolahku. Sindir-menyindir bukan lagi hal lumrah terutama di kalangan murid perempuan. Padahal mereka juga sering main bareng. Aneh memang.
"Kalian dasar teman nggak punya hati. Teman lagi sakit juga, malah asyik dandan. Nai, bagaimana keadaanmu?" Kalau ini namanya Sienna, teman kelompokku yang berada di antara meja Inara dan Novia. Wajahnya sudah putih cantik meski tanpa bedak, berbeda dengan dua gadis di sebelahnya.
"Eh, iya. Naifa pingsan ya tadi? Nai, maaf, Nai. Kamu sudah nggak apa-apa, 'kan sekarang?"
Aku hanya menggeleng samar dan tersenyum melihat interaksi trio julid itu. "Alhamdulillah, sudah baikan kok."
"Tuh, alhamdulillah, Naifa sudah baikan katanya. Memang kamu, otaknya selalu sakit." ujar Inara menyentil jidat Sienna.
"Inara! Kalau bicara jangan sembarangan ya." Tak terima diperlakukan demikian. Sienna tak mau kalah, ia balas mendorong jidat Inara hingga menabrak kepala kursi.
"Sienna, sakit tau!" Beginilah kelakuan tom and jerry versi kelompokku.
"Ngomong-ngomong, Nila di mana?"
Wajar aku mencari sahabatku itu, karena upacara telah selesai sejak tadi sedangkan gadis bermata bulat itu belum menujukkan batang hidungnya.
"Ikut Varen ke ruang guru. Nggak tau mau ngapain," jawab Novia seraya membereskan alat dandannya.
"Btw, kakak kelas yang dipanggil sama pak kepsek ke depan tadi itu namanya siapa ya? Di belakang tadi berisik banget, jadi nggak kedengaran." Sienna membuka obrolan sedangkan aku hanya diam menyimak mereka sambil membaringkan kepala di atas meja.
"Iya, siapa ya? Aku juga dengarnya nggak terlalu jelas. Mana dia ganteng lagi mirip Iqbaal Coboy Junior," timpal Inara membuat aku tanpa sadar menarik ujung bibir tersenyum. Aku juga salah satu penggemar boyband cilik itu di masanya.
Setiap kali ada yang melihat cowok ganteng di kala itu, mereka akan selalu mengira mirip dengan Iqbaal, termasuk salah satunya adalah siswa dari kelas sebelah. Padahal jika dilihat dari sudut manapun jelas sangat berbeda dari idolaku yang identik dengan topi dan rambut kibasnya khasnya itu.
"Ish, Iqbaal lagi Iqbaal lagi. Bastian kek sekali-kali," protes Novia.
"Tapi cowok itu beneran ganteng banget. Siapa sih namanya?"
"Namanya Naufal Erlangga Praditya, siswa kelas VIII 1 yang baru pindah," jawab suara lain yang baru bergabung dengan kami. Orang itu adalah Nila.
"Sotoi. Tau darimana?"
"Apa yang Nila nggak tau. Kalau nggak percaya, ya udah. Nggak ada yang rugi juga. Naifa, ini aku tadi beliin buat kamu. Kamu udah nggak apa-apa, 'kan?"
Salah satu sikap Nila yang paling kurindukan hingga detik sekarang adalah ini. Dia yang paling care di antara yang lain. Dan sangat tepat diajak diskusi.
"Cokelat atau stroberi?" tawarna memberikan pilihan.
"Cokelat."
Susu cokelat plus roti dengan rasa yang sama. Selain itu, ia juga meletakkan catatan kecil yang ditempel di kotak susu tersebut.
~Get Will Soon~
Energiku seperti kembali hanya dengan kalimat sederhana itu. "Terimakasih, Nila"
"Naifa doang yang dikasih?" Protes Inara.
"Iya, Naifa terus ji."
"Mau juga?" tanya Nila yang diangguki oleh Inara.
"Kalian harus sakit dulu, baru aku beliin susu kotak juga sekalian sama sosis goreng Daeng Ocas."
"Hahaha."
Gelak tawa terdengar dari bangku Novia. Aku kira dia menertawakan apa yang Nila katakan, ternyata hal lucu yang ia lihat dari handphone-nya.
"Di mana mi orang yang sekarat tadi? Sudah sakaratul maut, kah?"
Aku tersedak. Hampir saja menyemburkan cairan dalam mulutku. Apa yang dimaksud orang itu adalah aku? Dia mendoakan aku sakaratul maut? Bagaimana jika ada malaikat yang tidak sengaja dengar dan mengaamiinkan apa dikatakan Fajar barusan? Ah, aku tidak bisa membayangkan itu.
"Fajar! Jahat banget lo jadi manusia." tegur Novia.
"Oh, lo masih hidup sobat?" Siswa jahil itu menghampiri kursihku. Ia menepuk-nepuk puncak seraya berkata, "Kenapa nggak jadi mati sih? Kita jadi gagal 'kan makan kambing. Aish!"
Benar-benar ya ini anak satu. Aku menampik tangannya dengan kasar agar menjauh dariku. Kesal banget aku sama dia.
"Woi! Kalian tidak dengar ya kepala sekolah bilang apa?" Teriak Anisa memukul daun pintu memicu perhatian dari seisi kelas. "Semuanya cepat ke luar membersihkan!"
Bukk!!
Suara bantingan meja terdengar dari sudut ruangan. Di sana terlihat seorang siswa berambut lebat agak memanjang dari potongan rambut murid laki-laki pada umumnya. Meja yang tak bersalah di depannya terpaksa menjadi sasaran.
"Nggak usah teriak-teriak! Di sini juga nggak ada yang budeg," katanya penuh penekanan setia katanya sebelum melangkah ke luar tanpa menghiraukan teriakan Anisa.
"Woi, mau ke mana lo? Kepala sekolah menyuruh kita kerja bakti, bukan malah ke kanti!"
"Bodo amat ...!!" teriaknya setelah berada di luar.
Dia Akish, murid paling bandel yang jarang masuk belajar. Padahal setiap hari ia selalu datang ke sekolah, meski seluruh waktunya ia habiskan di kantin atau sekadar mencari masalah dengan siswa lain dan mengabaikan tugasnya sebagai pelajar.
"Sudah. Tidak perlu mengurus mereka," sela Varen, ketua kelas sekaligus mendapat gelar sebagai siswa paling pintar di angkatan.
Ya mereka, tidak hanya Akish saja yang memilih kabur ke kantin, tapi sebagian besar murid laki-lakinya ikut memanfaatkan kesempatan ikut kabur bersama Akish.
"Naifa, kamu istirahat aja di dalam. Tidak perlu ikut kerja bakti."
Aku tak menggubris perkataan salah seorang ketika aku turut andil dalam kerja bakti. Aku tidak ingin tinggal diam di kelas sedangkan teman-temanku lelah bekerja di luar.
Mulanya tidak ada masalah. Aku bekerja seperti murid yang lainnya karena katanya hari ini akan datang pengawas dari kabupaten untuk meninjau sekolah, olehnya seluruh siswa diminta untuk melakukan kerja bakti dadakan setelah kegiatan upacara. Namun tiba-tiba perutku terasa nyeri hingga aku tak lagi dapat meneruskan pekerjaanku
"Kamu kenapa?"
Seseorang menghampiriku. Entah itu siapa, yang jelas dia membantuku izin dulu ke Varen sebelum membawaku kembali ke kelas.
Jujur aku sendiri heran, kurang dari tiga jam aku telah ditolong masuk ke kelas oleh dua orang yang berbeda.
Karena kesakitan, aku tak terlalu peduli melihat rupa orang yang telah menolongku. Ia memberikan minyak angin sebelum pamit ke luar. Kini tersisa aku di kelas. Aku sudah mengoleskan banyak minyak angin di perutku, namun tak juga mempan. Yang ada aromanya menyengat ke mana-mana.
Tunggu. Kenapa seperti ada yang aneh? Aku memilih berdiri mencari tahu sesuatu menjanggal tersebut. Tanganku meraba bagian belakang rok yang kugunakan dan melihat sesuatu yang mirip ... darah?
Mataku melebar tak percaya. Apa ini yang dinamakan menstruasi? Tuhan, apa yang harus kulakukan?
Di tengah kepanikan melanda. Suara seseorang dari luar kian membuatku memucat.
"Siapa di dalam?"
Langkah sepatunya kian terdengar mendekat. Jangan bilang orang itu ingin ke mari? Ya Tuhan, bagaimana ini?
"Kenapa kamu masih di kelas? Cepat ke luar!"
Aku pura-pura tidur saja. Kembali aku memperbaiki posisi duduk lalu menyembunyikan wajah di antara lekukan lengan. Tidak boleh ada yang tahu soal ini.
Bukk ...!!
Spontan aku terpelonjak akibat terkejut mendengar meja yang kutempati membaringkan kepala dipukul sangat keras.
Deg!
Irama jantungku berdegub tak normal. Detakan yang sangat kuat itu tanpa sadar membuat jemariku tergepal demi meminimalisir rasa gugup yang menyerang. Aku membisu menatap manik hitam seseorang yang berdiri di depanku.
Dalam hati aku bertanya-tanya, siapa gerangan orang di depanku ini? Mengapa aku sama sekali tidak mengingatnya ataukah ingatanku sedang bermasalah sehingga melewatkan seseorang dari masa lalu?
"Kamu siapa?" tanyaku penasaran. Di saat yang lain dapat kukenali dengan mudah, kenapa ia beda?
Sorot matanya menatapku dingin seakan mengajak perang. Apa ia tersinggung atau aku salah bicara?
"Kenapa bertanya?"
"Karena aku belum pernah melihatmu," jawabku hati-hati sepelan mungkin agar tidak melukai perasaannya. Akh, aku terlalu banyak berpikir. Lagian kenapa dia harus terluka karena perkataanku?
Ia menaikkan sebelah alisnya menatapku penuh selidik. "Kau tidak mengenalku?"
Iya, aku tidak mengenalmu! Jeritku dalam hati, meski pada akhirnya aku mengangguk juga tanpa suara.
"Tidak penting juga kamu kenal atau tidak." lanjutnya acuh tak acuh.
Huh, tidak penting ya? Benar juga sih. Tapi ... ini 'kan ruang masa laluku. Setiap tokoh yang ada, latar atau alur dalam dimensi ini tak lepas dari ceritaku yang otomatis aku tahu segala hal terjadi di sini, tapi kenapa orang ini jadi pengecualian? Siapa sebenarnya dia?
Sebelum melenggang dari hadapanku, aku sempat melihat senyum tipis terpatri pada wajahnya. Namun saat akan mencapai pintu, aku melihatnya berbalik melepaskan jaket dan menggunakan benda itu melemparkan ke arahku.
Aw! Apa-apaan dia? Ingin mengajak ribut atau apa?
"Pakai, buat nutupin rokmu."
Wajahku melongoh sempurna mendengar penuturan laki-laki itu. Jangan bilang dia mengetahui ... yang benar saja! Tak hanya rokku, kursi yang kududuki pun ikut mendapat bercak 'noda' di sana.
"Mama!"
Bersambung ...
— Novo capítulo em breve — Escreva uma avaliação