Baixar aplicativo
62.96% Petak Umpet Joe / Chapter 17: Permainan Sesungguhnya Dimulai

Capítulo 17: Permainan Sesungguhnya Dimulai

"Kami bertemu kembali, kali ini dengan rencana yang matang."

***

Di Menara.

"Maksud lo apaan?" tanyaku spontan keluar. Melihat Kautsar yang tiba-tiba saja menyela sesi diskusi. Walaupun sedikit kesal karena ia main masuk aja tanpa hadir sejak awal kumpul.

"Bunuh psikopat itu. Kita bisa bebas. Masalah kelar." Kata Kautsar .

"Nggak segampang itu Sar. Lo harusnya udah tau kalau orang itu nggak macam-macam sama kita, kita memang menang jumlah tapi lo juga tau beberapa dari kita juga lagi terluka." Potong Citra. Memperhatikan Yasmine.

"Untuk cewe nggak perlu ikut campur. Biar cowo yang ngurus ini semua."

"Hah?! Apa lo bilang barusan?"

Suasana mulai tegang. Perseteruan terjadi.

"Gue bilang yang c-e-w-e nggak usah ikut. Dengar nggak?" kata Kautsar tegas sembari turun tangga dari lantai atas.

"Dari awal lo cewe semua emang nggak ada gunanya. Kerjanya nyusahin doang."

Citra ngamuk.

"BANGSAT!!!COBA SINI BISIKIN KE TELINGA GUE, KURANG JELAS. LO PIKIR KITA BEBAN GITU? LEMAH? NGGAK GUNA? SEJAK AWAL EMANG SEBAGIAN CEWEK GAK MAU IKUT PERMAINAN BRENGSEK INI ANJ*NG!! LO YANG PROVOKASI!! LO YANG MAKSA BUAT IKUT BARENG KE SINI!!" Citra semakin emosi. Ia berdiri dan hendak menyerang Kautsar . Aku menahannya sebentar. Tapi nasi sudah menjadi bubur, api amarah terlanjur menyulut Citra. Aku tidak bisa berbuat banyak.

"Emang bener kan?! Lo semua yang cewe emang nggak berguna di sini!!! Lo cuman numpang!! Lo cuman berlindung di bawah gue yang sewaktu-waktu lo mau dibunuh, lo bakal ngemis minta tolong ama gue!!!" Kautsar juga marah. Matanya ikut nyolot pisan. Ia ingin menampar Citra tapi dihentikan Tsaqib dan Haqi. Mereka tau jika ini berlanjut keadaan akan semakin kacau. Mereka memegangi Kautsar dengan sekuat tenaga, Kautsar membalas dengan memberontak.

"KURANG AJAR LO!! BRENGSEK!!"

"APA!!??? HAH!!" Citra kembali berteriak.

"LO YANG APA!! PELAC*R"

Sensor.

Makin lama semakin kacau suasana di bawah sini. Kautsar dan Citra masih saling olok-olok. Keadaan bising yang semakin menjadi-jadi, temen-temen yang sibuk melerai. Yasmine yang kebingungan harus melakukan apa berkali-kali mondar-mandir mencoba menenangkan mereka dengan raut wajah khawatir, Ulvan yang cekatan mendorong Citra menjauh dari Kautsar. Tsaqib dan Haqi juga demikian, menjauhkan mereka. Sesekali Citra menendang kakiku dan Kaki Ulvan. Berteriak tepat di samping telinga Eugine dan yah, Eugine juga ikut kesal sendiri akan perbuatan merugikan Citra tersebut.

"Lepasin gue Bal!! Gue mau kasih pelajaran tu orang!!" pinta Citra.

Sumpeh, itu keputusan bunuh diri kalau lo sampe ngelakuin itu. Batinku

"Lo tenang dulu Cit astaga." Kataku.

"NGGAK!! GUE NGGAK AKAN TENANG SEBELUM NAMPOL SI KAMPRET ITU!!"

Citra teriak kenceng bener.

"Duuuhhhh!!!! Lo diem bisa nggak Cit!!!! Berisik tau nggak!!! Diem lah!!!! Kuping gue perih nih!!!" Akhirnya Eugine ikut marah.

Kami memutuskan pindah tempat sejenak. Sambil ditemani dua orang aku tengah berdiskusi masalah jalan menuju gerbang. Kami sepakat untuk menggunakan celah kawat besi yang hilang tersebut untuk pulang. Dan sekarang masalahnya, lewat jalan mana sekiranya aman hingga ke titik tersebut.

"Apa nggak bisa langsung ramai-ramai lewat jalan tengah? Sambil teriak-teriak 'siapapun yang masih selamat cepat ke sini, kita akan keluar sama-sama' juga bisa kan?" kata Haqi. Ia menghela napas. Menggesek-gesekkan telapak tangannya karena hawa di sini dingin.

"Total lima belas orang yang kita tahu sekarang. Sisa lima lagi. Yang gue gak tau Meira dan Nawal. Sisa tiga orang. Siapa?" Pikirku asal tanpa kusadari tidak menjawab pertanyaan Haqi barusan. Pikiranku masih tidak karuan. Mencoba fokus berkali-kali tapi kurasa tak akan bisa karena Meira lah yang saat ini terus kupikirkan.

"Bal." Ulvan menepuk pundakku.

"Iya apa? aduh sorry. Gue nggak fokus. Anjing lah!!" umpatku menyesal.

Haqi Ulvan tertawa.

"Masih mikirin tunangannya gimana lagi." celetuk Haqi.

"Aduh sorry, banyak pikiran gue. Sorry ya. Lo tanya apa tadi?"

"Santai aja. Tadi Haqi tanya apa nggak bisa lewat jalan tengah aja tapi gerombolan. Kalau terjadi sesuatu nanti enak bisa bantu." Jelas Ulvan.

Jalan tengah. Apalagi bergerombol, kita hanya seperti makanan yang tudungnya terbuka lebar. Akan habis dalam hitungan menit. Senjata yang digunakan psikopat itu tidak sebilah parang saja. Tapi ingat, dugaanku psikopat itu punya crossbow yang siap membidik siapa saja, dari balik jendela gedung, semak-semak, antara pepohonan ditambah gelapnya malam akan sangat berbahaya memilih jalan tengah . Dari jarak jauh kita sangat tidak diuntungkan, itu bisa membunuh satu persatu dari kita.

Nggak bisa. Jalan tengah adalah pilihan bunuh diri.

"Nggak. Terlalu berbahaya. Psikopat itu punya senjata lain selain parang. Saat menuju kemari gue nggak sengaja nemuin anak panah yang masih nancep. Kemungkinan psikopat itu punya crossbow tapi masih disembunyikan. Kalau lewat jalan tengah, lebih baik jangan." Jelasku.

"Atau kita emang ada niatan dari awal bunuh diri."

Haqi diam. Dia memikirkan kemungkinan-kemungkinan paling buruk jikalau masih nekat milih jalan tengah.

"Emang nggak bisa ya. Bikin repot, tai."

"Pake crossbow segala. Gue curiga ini motifnya balas dendam, kalau nggak orang sewaan ya balas dendam. Nggak mungkin alasannya gabut doang. Ya nggak?"

"Bisa jadi. Lagian mana ada orang gabut bunuh orang."

"Cuman satu berarti jalan keluarnya."

"Apa?"

"Berpencar. Kita bentuk tiga grup masing-masing isinya tiga orang. Satu lewat rute bangunan sebelah kanan dan kiri, sisanya lewat jalan tengah. Yang lewat tengah cuma jadi pancingan doang." Kataku mulai menyusun taktik.

Ulvan tidak mengerti. Aku menjelaskannya sekali lagi. "Gini, yang ditengah tugasnya tarik psikopat itu sampai nunjukin hawa keberadaannya dan turun ke jalan atau paling tidak kita tau dia lagi di mana. Sementara yang grup kanan kiri bakal ke titik pagarnya, nyusun jalan keluar sementara yang ditengah sibuk ama psikopat. Ini ada resikonya."

"Apa?"

"Yang ditengah harus siap kalau sewaktu-waktu kena panah crossbow. Itu artinya siap buat ngorbanin nyawa. Mati."

Haqi menggigit bibir.

"Kalau dia tau ini cuma pancingan?"

"Nggak akan tau. Kalau grup yang di gedung kanan kiri nggak diketahui. Cukup diam dan tunggu aba-aba. Main tarik ulur sampai mereka selesai nyusun bangku kursinya buat kabur."

"Tunggu, maksudmu grup yang ditengah bakal kejar-kejaran sama psikopat buat ngulur waktu biar yang lain selesai nyusun meja?" tanya Haqi.

"Tepat. Kita giring menjauh, lari di sekitar area gedung sembilan dan sepuluh. Usahakan tetap bersama, tapi kalau udah terpaksa, grup tengah bisa mencar sendiri-sendiri. Karena mulai sini wajar saja, semua orang pasti pengen tetep hidup."

"Seperti kata gue awal tadi. Kita jebak psikopat itu dalam permainan yang diciptakan sendiri. Sejak awal permainannya adalah kejar-kejaran. Siapa yang gagal dia akan mati. Siapa yang berhasil dia yang akan bertahan."

Haqi berdecak pelan, Ulvan menelan ludah.

Atmosfer seketika berubah cepat. Perkataanku barusan rada serius hingga terkesan mengancam. Aku tidak tau lagi menyikapi perasaan takut dan gelisah ini. Semakin diriku termakan rasa takut semakin diriku tak berdaya diambang kematian yang memang sengaja kubuat sendiri. Dan aku sekarang menyadarinya, aku harus memberontak pada rasa takutku jika masih ingin hidup.

"Sekarang kita butuh orang yang kuat lari di grup tengah-"

"Gue masuk grup tengah." Potongku cepat. Tanpa basa-basi arah pembicaraan pasti akan ke sini. "Yakin?" tanya Haqi.

"Kita liat aja nanti."

"Sekarang cepat kasih tau semua. Haq, lo yang nentuin siapa aja yang masuk grup tengah dan samping. Van lo bantu buat jelasin rencananya. Lima belas menit kita kumpul lagi." pintaku.

Haqi mengangguk dan pergi meninggalkanku.

Aku melihat sekeliling. Menyeka dahi sambil menghembuskan napas lega. Aku masih tidak menyadari kalau Ulvan masih berada di dekatku sampai ia berdehem sebentar. Aku menoleh dan melihatnya. Kuurungkan niatku tadi untuk pergi menemui Zakky di lantai atas.

"Eh, ada apa?" tanyaku aneh.

"Ada yang nggak lo ngerti barusan kumpulnya?

"Gue cuma pengen tanya." Nada ucapannya datar sekali. Ulvan memicingkan matanya melihat gerak gerikku. Sekarang suasana canggung terasa pekat sekali. Datang secara tiba-tiba.

Aku tersenyum. Mencoba mencairkan suasana.

"Apa?"

"Sebenarnya dari awal apa alasan lo dateng ke sini?"

Aku bingung.

"Maksud lo?" Kujawab sembari tersenyum.

"Lo lagi ngerencanain sesuatu, kan?" tanya ulang.

Aku paham sekarang.

"Nggak ada yang gue rencanain. Gue cuman ngejalanin tugas gue. Sebagai teman. Nggak lebih dari apa yang lo pikirkan tentang gue." Jawabku.

Karena waktu yang tersisa singkat aku memutuskan pergi ke lantai atas meninggalkan Ulvan dengan wajah datarnya.

Sesampai di atas aku mencari ruangan yang dimaksud mengunci Zakky, tapi yang kutemukan hanyalah sebuah ruangan di pojok dengan meja dan balok kayu menghalangi pintu masuk. Itu dia.

Aku menyingkirkan terlebih dahulu, setelah selesai perlahan aku mengetuk pintu ruangan.

"Zak. Zakky, ini gue Iqbal." aku nekat langsung masuk.

Ruangan sedikit terang akibat sela-sela sinar bulan masuk celah bangunan. Zakky duduk di lantai memunggungiku. Ia tak bergerak saat aku mendekatinya. Ini sedikit creepy walaupun aku kenal dekat dengan Zakky.

"Kita bisa pulang. lo nggak usah takut. Kita pulang bareng-bareng-"

"Lo harusnya nggak ke sini Bal." kata Zakky cepat. Ia sedikit berbeda dengan Zakky yang selama ini kukenal. Sedikit dingin dan ada hawa mencekam.

"Gue bakal ke sini Zak. Sesibuk apapun gue bakal ke sini. Gue udah janji."

"Dan Itu kelemahan lo. Terlalu naif kayak Akmal. Gue kasih tau ya, kemungkinan terburuk malam ini kalau semua orang nggak akan selamat. Termasuk gue sendiri. Gue ragu Bal, gue ragu semua orang bisa selamat."

"Orang itu nggak akan ngelepasin kita." Kata Zakky menoleh dan memandangku. Wajahnya pucat pasi, bibirnya terluka, hidungnya sedikit berdarah. Aku menelan ludah. Canggung. Zakky mengatakan kalau orang itu nggak akan ngelepasin kita. Orang yang dimaksud mungkin adalah psikopat tersebut, itu berarti Zakky udah tahu semua ini sebelumnya. Terus apa hubungannya dengan peristiwa Zakky mencoba membunuh Yasmine?

"Saat di gedung sepuluh gue hampi mati. Parang udah siap nebas leher gue saat itu. Gue ketakutan setengah mati sampai-sampai tangan kaki mati rasa dibuatnya." Cerita Zakky kemudian.

"Niatnya gue mau nyusul yang lain buat cari Haniyah. Tapi malah ketemu setan itu di tengah perjalanan. Sampai akhirnya gue tau kalau setan itu sebenernya adalah seorang perempuan yang sengaja berpakaian layaknya setan."

"Gue sempet kabur saat dia lengah tiba-tiba ada suara teriakan dari luar gedung. Saat mau naik lantai dua, gue lihat ada mayat Adlan Kholqi yang kondisinya kepalanya putus. Gue langsung tau kalau ini ulah psikopat gila itu. Tapi lagi-lagi orang itu cepet banget nemuin gue di lantai atas, dia ahli. Seperti permainan yang udah sering ia mainkan. Kita adalah bidaknya, ia bebas memainkan kita Bal. Kita nggak mungkin bisa selamat."

Zakky memperlihatkan luka tusukan di perut yang sudah terbalut kain.

Aku menelan ludah lagi.

"Sebenernya ada pengkhianat diantara kita, Bal. Gue akan bunuh siapapun orangnya. Yah, mungkin dia sekarang lagi nyamar diantara salah satu dari kita, menyelinap masuk dan berdiri di belakang lo lalu nusuk kuat-kuat sampai lo mati." Zakky tersenyum.

"Jadi itu alasan lo mau bunuh Yasmine?" pancingku.

Zakky tersenyum. Menggaruk kepalanya. "Ya." Jawabnya singkat.

"Kenapa? Apa alasannya?"

"Karena dia orangnya." Kata Zakky enteng.

Wtf

Bisa-bisanya Zakky menuduh wanita yang sikapnya pemalu sebenarnya adalah sosok psikopat. Yasmine mau melerai orang berantem aja mikir mikir, lah ini malah nuduh orang yang bunuh Adlan dan Kholqi adalah Yasmine. Aku yakin Yasmine pegang pisau aja takut.

"Lo udah gila Zak."

"Yasmine gak mungkin ngelakuin hal biadab kayak gitu."

"Gue dan yang lain sekarang udah tau kalau dalang permainan ini ada psikopat diantara yang lain, tapi untuk Yasmine gue nggak yakin kalau dugaan lo itu bener. Mustahil Zak. Gue curiga kalau psikopatnya orang luar yang sengaja ngehancurin pikiran kita khususnya lo sekarang, buat saling curiga satu sama lain. Gue paham lo marah sampai-sampai mau bunuh Yasmine, tapi itu yang mereka pengen aslinya. Bunuh dengan cara nggak nyentuh karena ya kita sendiri yang saling bunuh."

"Jaga pikiran lo tetep waras Zak. Kita akan keluar dari sini bareng-bareng. Gue harap lo mau bantu, sebentar lagi kita akan pergi." Aku yang hendak pergi tertahan dengan perkataan Zakky tiba-tiba.

"Sebelum gue kabur psikopat itu sempet bilang ke gue."

"Yang berhasil bertahan hidup sampai akhir, dia yang akan dibiarkan lolos. Cuma ada satu pemenang."

"Dia juga bilang, kalau targetnya malam ini adalah Citra."

Apa?

"Gue mau ngomong sesuatu sama lo." Pintu tertutup. Hanya ada aku dan Zakky di dalam ruangan.

***

Semua regu sudah berada di posisi masing-masing. Haqi sudah menjelaskan semua tentang rencana yang sudah kami diskusikan sebelumnya. Mengecoh psikopat itu untuk keluar dari persembunyiannya, main kejar kejaran di area jalan tengah sementara itu dua regu samping akan menuju gedung dua mengambil bangku kursi untuk dibuat tangga jalan keluar.

Regu tengah berisikan aku, Kautsar, dan Tsaqib. Sekarang tengah mengintip dari balik semak belukar mengawasi keadaan.

Aku menyalakan senter ponsel sebagai tanda keadaan sudah aman. Barulah regu samping kiri yang beranggotakan Ulvan, Eugine, Zakky bergerak menyelinap melewati menara dan masuk ke gedung sembilan. Aku mengarahkan senter ke bagian belakang semak-semak mengisyaratkan regu kanan harus cepat bergerak di antara pepohonan. Dengan sigap mereka mengendap-endap melewati belakang gedung delapan masuk dan menuju lantai dua. Regu kanan menyalakan senter mereka sebagai isyarat sudah berada di posisi. Regu kanan beranggotakan Haqi, Yasmine, Citra.

Aku mengangguk mereka sudah berada di posisi.

Regu tengah bangkit dan melangkah keluar dari semak-semak sambil menenteng senjata masing-masing.

Kami bergerak sambil melirik kanan kiri. Juga memantau pergerakan regu kanan kiri ikut bergerak. Aku yang memimpin di depan hanya bermodalkan senter dan pemotong besi sebagai senjata, Kautsar dan Tsaqib mengawasi gedung ke gedung. Jika ada pergerakan yang mencurigakan Tsaqib dan Kautsar akan memberi info dan aku akan menyorotkan senter ke tempat yang diberitahu. Itu tandanya ada bahaya yang mengancam regu samping. Dan regu samping akan langsung bersembunyi setelah mendapat signal dariku.

"Ada yang aneh?" tanyaku. Kami sudah berjalan di area gedung enam

"Nggak. Aman." Jawab Tsaqib.

Kami masih menyusuri jalan tengah. Perlahan tapi pasti, aku yakin psikopat itu tengah mengawasi kami di suatu gedung. "Apa perlu teriak?" tanya Tsaqib.

"Jangan dulu. Dia bakal cepet sadar kalau kita cuma pancingan." Aku menoleh. Saat pandanganku fokus ke depan lagi alangkah terkejutnya kalau cahaya senter menerpa tubuh seseorang yang berdiri tegak tepat di depan kami yang berjarak sepuluh meter. Tubuhku langsung merinding bukan kepalang, pasalnya dari arah depan aku tidak melihat ada tanda seseorang sebelumnya. Kusenggol Tsaqib dan Kautsar. Mereka berdua juga menyadari kedatangan psikopat ini. Memandangi sekilas tanpa berkedip psikopat itu menyeret tubuh seseorang di tangan kanannya. Baju lusuh penuh bercak darah sepertinya apa yang ia bawa sudah menjadi mayat.

Psikopat itu tersenyum sambil mengacungkan parang di tangan kirinya.

Kautsar sudah bersiap mau menyerang tapi kugagalkan. Bukan waktunya dan bukan rencana kita sejak awal. "Tahan."

Kami tidak lekas lari, hanya saling tatap dengan keringat mulai menetes.

"Main yuk." Kata psikopat itu. Tanpa banyak bacot kami langsung lari ngibrit. "Lari!! Lari!!" Itu kode dariku sengaja teriak agar regu samping mendengarnya.

Baik. Sekarang kami resmi main kejar-kejaran dengan psikopat yang menenteng senjata siap menebas kepala salah satu dari kami.

Cahaya senter bergerak ke sana sini. Kacau, kami lari sekuat tenaga memasuki gedung sepuluh. Tsaqib merobohkan lemari untuk menahan pintu masuk. Psikopat itu mendobrak keras sekali hingga pintu terbuka. Ia melemparkan parangnya hingga menancap hampir mengenai kepala Kautsar. Ia lari ngibrit tanpa memperdulikan sekitar. Kutarik Kautsar dan keluar lewat pintu belakang. "Jangan panik goblok!! Sesuai rencana." Pekiku

"Puter lewat menara dulu." Kata Tsaqib.

Lari, lari, dan lari. Psikopat itu lari dengan senyum yang mematikan.

***


next chapter
Load failed, please RETRY

Status de energia semanal

Rank -- Ranking de Poder
Stone -- Pedra de Poder

Capítulos de desbloqueio em lote

Índice

Opções de exibição

Fundo

Fonte

Tamanho

Comentários do capítulo

Escreva uma avaliação Status de leitura: C17
Falha ao postar. Tente novamente
  • Qualidade de Escrita
  • Estabilidade das atualizações
  • Desenvolvimento de Histórias
  • Design de Personagens
  • Antecedentes do mundo

O escore total 0.0

Resenha postada com sucesso! Leia mais resenhas
Vote com Power Stone
Rank NO.-- Ranking de Potência
Stone -- Pedra de Poder
Denunciar conteúdo impróprio
Dica de erro

Denunciar abuso

Comentários do parágrafo

Login