Hilman telah berjanji pada Eva, tidak akan menyentuh Laila. Ia sudah melaksanakan janji itu. Setelah tahu Laila mengerjakan sholat, Hilman segera bergegas dari tempatnya. Ia tidak ingin orang lain melihatnya pergi dari kamar pengantinnya.
Hilman segera menemui istri pertamanya, Eva. Ia yakin orang tuanya tidak akan tahu kalau dirinya meninggalkan Laila sendiri.
"Kuharap papa dan mama sudah tidur. Pesta tadi sore, pasti mereka kecapaian dan cepat tidur."
Seorang melihat Hilman keluar dari kamar Laila. Pramono mengetahui Hilman meninggalkan Laila dan malah ke kamar Eva. Pramono hanya menggelengkan kepala seraya beristighfar.
Dalam hati, Pramono terasa sakit. Ia merasa bersalah, mempercayakan cucunya menikah dengan Hilman yang jelas-jelas sudah memiliki istri.
"Maafkan bapak, Fattah. Aku yang menyetujui pernikahan Laila dengan lelaki itu. Kalau tahu lelaki itu akan berbuat seperti ini, bapak tidak akan merestuinya. Dia telah berjanji akan menjaga dan akan bersikap adil." Pramono menghembuskan nafas kasar.
Pramono berniat keluar dari vila karena mau melaksanakan sholat berjamaah di mushola. Setelah melihat pemandangan itu, ia kecewa kepada Hilman. Ia mendekati kamar pengantin Laila. Namun ia urungkan niatnya untuk masuk ke dalam. Ia meninggalkan vila itu seorang diri.
"Laila ... maafkan kakek yang bodoh ini, Laila. Kuharap suamimu akan segera terbuka hatinya. Dia akan berlaku adil padamu, sebagai mana janjinya terhadapku dulu," gumam Pramono. Ia berdiri di depan pintu.
Pramono membiarkan Laila seorang diri. Ia yakin Laila akan kuat setelah diperlakukan buruk oleh Hilman. Sejak tadi sore pun Pramono sudah tidak memiliki kepercayaan lagi dengan Hilman, yang membuat malu di depan umum. Pramono melihat dengan mata kepalanya sendiri, kelakuan Hilman dan istri pertamanya.
Hanya doa yang bisa dipanjatkan Pramono untuk kebaikan Laila. Kalau bukan dirinya yang merestui pernikahan itu, mungkin tidak akan terjadi hal ini. Namun ini sudah terlanjur. Tidak mungkin Pramono bisa mengembalikan waktu seperti dulu lagi.
"Lebih baik segera menuju mushola. Kenapa jadi terlambat begini, Ya Allah ...."
***
Hilman masuk ke dalam kamar di mana Eva berada. Ia telah membuktikan ucapannya kepada Eva, tidak akan menyentuh Laila. Hilman hanya akan menyentuh Eva sebagaimana pasangan suami-istri. Mulai sekarang dan seterusnya, ia telah memantapkan pendiriannya.
"Kenapa kamu masuk ke sini, Hilman? Bukannya kamu sudah menikah dengan gadis itu? Sekarang adalah malam pengantin kalian, bukan?" Eva yang melihat Hilman di kamarnya, mendadak kaget. Memang seharusnya Hilman berada di kamar Laila malam ini.
"Bukankah aku sudah berjanji, aku tidak akan menyentuh Laila? Aku telah melaksanakan janjiku padamu, Eva. Mengapa kamu masih mempertanyakan itu? Bukannya kamu bahagia, sekarang?" papar Hilman. Pria itu mendekat ke arah tempat tidur istrinya.
"Bukan seperti itu juga, kan? Kamu bisa tidur di manapun. Tapi kamu bisa, kan, tidur di kamar Laila? Bagaimana kalau ada yang tahu kamu ke sini? Bagaimana nanti aku harus menghadapi keluargamu? Aku tidak mau karena ini, aku semakin dibenci oleh orang tuamu, Mas Hilman. Kamu harus kembali ke kamar Laila, sekarang!" desak Eva pada Hilman.
Sudah cukup dirinya mengalami kepahitan hidupnya. Ia tidak mau lagi semakin dibenci oleh Redho. Kalau Seruni, Eva masih bisa melihat sisi kebaikannya. Walau ia membencinya, Seruni masih berperasaan dibandingkan dengan Redho. Mertua lelaki itu mungkin akan memaksanya untuk meninggalkan Hilman. Dan bisa saja Redho akan menghancurkan kehidupannya jika mengetahui Hilman mementingkan dirinya.
"Aku tidak mungkin kembali ke kamar Laila. Setidaknya aku harus tidur di sini malam ini. Aku–"
"Aku apa, hah? Apa kamu mau membuat aku semakin dibenci orang tuamu? Terutama papamu yang tidak pernah mengakui aku sebagai menantunya!" Eva masih sakit hati atas perkataan Redho. "Hilman ..." lirih Eva. Eva menatap ke arah Hilman. Ia tidak ingin berpisah dengan suaminya. Apalagi harus mengalami sakit hati berkelanjutan.
Memiliki mertua yang tidak pernah menyetujui pernikahannya, membuat batin Eva sakit. Meski ia sudah berusaha untuk tegar dan tersenyum. Tapi tetap saja ia tidak bisa membohongi hatinya sendiri yang teramat sakit.
"Apakah kamu menyuruhku untuk kembali ke kamar Laila?" tanya hilman pada Eva.
Eva mengangguk, menanggapi pertanyaan dari Hilman. Sebagai seorang wanita, ia tidak rela untuk membagi suami. Apalagi berbagi suami. Sekedar wanita lain melirik ke arah Hilman, Eva tidak akan suka. Perasaan seorang istri sangat sensitif terhadap suaminya. Begitu yang sedang dialami oleh Eva.
"Baiklah ... aku akan segera ke kamar Laila. Tapi malam ini, aku ingin di sini sebentar. Nanti jam sembilan malam, aku kembali ke kamar Laila. Di jam segitu, mungkin papa sama mama sudah tidur. Mereka tidak akan mengetahui aku keluar dari kamar Laila," ujar Hilman.
Hilman duduk di samping Eva. Ia yakin Eva menyetujui idenya. Karena ia yakin, Laila tidak akan tidur cepat malam ini. Seharusnya Laila mengaji malam ini atau menungguinya kembali ke kamar.
Entah dari mana Hilman memiliki keyakinan itu. Kalaupun itu tidak terjadi, ia harap Laila tidak mengunci pintunya. Sehingga Hilman bisa masuk ke kamar itu dengan mudah.
"Apa kamu yakin?" tanya Eva. Ia belum bisa percaya Hilman sepenuhnya. Ia harus memastikan jam sembilan mereka belum tidur. Walau badan terasa capek, Eva belum mau tidur sebelum Hilman meninggalkannya untuk kembali ke kamar Laila.
"Iya, aku berjanji padamu, Eva. Malam ini aku akan tidur di kamar Laila. Tapi malam ini, izinkan aku, hehehe ..." kekeh Hilman dengan sebuah senyuman penuh arti.
Eva tahu apa yang dimaksud oleh Hilman. Ia sudah menduga hal itu akan terjadi. Eva harus pasrah melayani Hilman yang malam ini menginginkannya.
"Apakah kamu meninggalkan kamar Laila, hanya untuk melakukan ini padaku, hah? Aku tidak menyangka kamu sepicik ini, Mas Hilman," cibir Eva. Ia tahu kelakuan suaminya yang memang membutuhkan sosok istri seperti Eva yang pengertian.
"Hemm ... aku hanya meminta istri melayani suami, salahkah?" tandas Hilman.
"Tidak salah, Mas. Aku akan memberikan pelayanan istimewa untukmu malam ini," tangkas Eva. Eva memejamkan mata ketika sebuah sentuhan Hilman sampai di kepalanya.
"Malam ini, kamu milikku, Sayang. Aku ingin kamu hanya satu-satunya wanitaku. Aku sangat mencintaimu, Eva. Aku sangat mencintaimu," ungkap Hilman, mendekatkan bibirnya ke telinga Eva.
"Shhh ... Hilman ... geli, ah," desis Eva. Ia merasa geli atas ucapan Hilman yang berhembus di telinganya.
"Apa, Sayang? Aku tidak dengar," goda Hilman. Hilman kembali membisikan telinga Eva dan meniup daun telinganya.
"Sshh ... geli, Mas. Aku tidak tahan lagi. Kamu jangan tiupin telinga aku," protes Eva.
"Tidak, Sayang. Aku suka kamu geli. Tapi kamu menikmati ini," ujar Hilman. Kali ini Hilman memeluk Eva. Membaringkan tubuh istrinya di atas kasur lembut itu.
Eva menuruti apa yang dilakukan oleh suaminya. Malam ini akan menjadi malam yang panjang bagi mereka. Walau hanya dua jam kurang waktu mereka miliki, Eva dan Hilman tetap merasa cukup. Mereka tidak butuh waktu lama untuk mendapatkan kepuasan.
***