Suasana begitu hening, setiap detik semakin meninggikan adrenalin. Meski hampir tanpa suara, namun ketegangan di sana terus meningkat hingga ke puncaknya.
Di dalam sebuah bangunan yang sudah lama ditinggalkan, puluhan orang berkumpul mengelilingi empat lelaki yang saling menatap satu sama lain. Di antara mereka berempat, hanya satu yang akan berdiri, dan dia lah yang kelak akan memimpin semua orang yang berada di sana.
Edwin, Marsel, Zico. Dan tentu saja, orang yang menantang mereka semua, Aldy.
Semuanya masih diam, menungu seseorang membuka serangan pertama. Dan setelah beberapa saat, sesuai dugaan, Zico yang merupakan orang termuda di antara mereka berempat pun melangkah maju dan langsung menerjang ke arah Edwin.
Edwin dan Zico pun mulai saling beradi serangan. Sementara itu, Marsel menatap lurus ke arah Aldy.
"Apapun yang bakal terjadi setelah ini, lo akan tetep gue anggep sebagai sahabat." ujar Marsel yang tak mendapat respon dari Aldy. "Ga ada yang mau lo omongin?"
Aldy tetap diam tanpa ekspresi, membuat Marsel terkekeh kecil. Akhirnya Marsel yang memulai langkahnya, dengan perlahan namun pasti ia berjalan mendekati Aldy. Walau Marsel sudah terlihat sangat siap untuk bertarung, namun sikap yang ditunjukkan oleh Aldy benar-benar belum berubah dari awal.
Marsel yang masih melangkahkan kakinya menuju tempat Aldy berada pun menerka dalam benaknya, apakah Aldy tidak bersiap untuk bertarung dengannya?
Apakah Aldy begitu meremehkan dirinya?
Demi apapun, meski Marsel menganggap Aldy sebagai sahabatnya, namun ia juga tidak suka merasa direndahkan seperti itu. Walau Marsel tidak tahu yang sebenarnya, bahwa Aldy tidak pernah merubah sikapnya karena dari awal ia memang sudah siap untuk bertarung kapan saja dan dengan siapa saja.
Marsel mengepalkan tangannya, mempercepat langkah dan melompat. Kepalan tangannya pun melesat lurus ke arah wajah Aldy. Aldy bisa melihat arah serangan Marsel yang menurutnya terlalu monoton itu.
Mungkin ia akan sekalian mengajari Marsel cara bertarung yang lebih efektif.
Aldy tak menghindari serangan itu. Yang ia lakukan adalah menjejak perut Marsel dengan alas sepatu kaki kanannya dengan sangat keras. Tubuh Marsel yang tadinya melayang di udara berkat lompatan yang ia lakukan untuk menyerang Aldy kini tersentak. Marsel tak menyangka Aldy akan langsung melancarkan serangan balik, membuatntya tak siap menerima hal itu.
Segera saat kedua kaki Marsel sudah kembali menjejak di atas lantai, ia jatuh berlutut dengan satu kakinya sambil memegangi perut yang tadi dijejak dengan sangat keras oleh Aldy. Akibat dari posisi tubuhnya yang rendah saat jatuh berlutut seperti itu, Aldy tak memberi Marsel waktu istirahat sedikitpun.
Saat Marsel masih jatuh berlutut dengan satu kakinya, Aldy meraih kepala Marsel dengan kedua tangannya. Dan saat itu juga, Aldy menghadiahi wajah marsel dengan serangan lutut yang sangat telak.
Duakkk …
Darah segar pun mengalir dari lubang hidung Marsel. Marsel jatuh terbaring di lantai. Meski ia masih ingin meneruskan pertarungan dengan Aldy, namun Aldy langsung membuatnya tak sadarkan diri karena saat kepala Marsel menyentuh lantai, saat itu juga Aldy melayangkan tendangan keras seperti sedang menendang bola kaki ke wajah Marsel yang langsung membuat Marsel kehilangan kesadarannya.
Pertarungan antara Marsel dan Aldy pun berakhir tak lebih dari sepuluh detik. Seluruh anggota kelompok geng yang dipimpin oleh Marsel pun hanya bisa menatap tak percaya pada Aldy, orang yang menumbangkan pemimpin mereka dengan sangat cepat.
Aldy berdiri tepat di sebelah kepala Marsel yang terbaring tak sadarkan diri di lantai. Pandangannya mengarah pada wajah sahabatnya itu. "Sorry, Sel. Tapi gue udah peringatin dari awal kalo gue ga akan nahan diri."
Aldy berbalik dan mengarahkan pandangannya pada Edwin dan Zico yang masih bertarung. Meski Edwin terlihat terpojok oleh serangan demi serangan yang dilancarkan Zico kepadanya, namun ekspresi yang Edwin tunjukkan seakan mengatakan bahwa ia yang memegang kendali penuh atas pertarungan itu.
Zico memang terus melancarkan serangan pada Edwin secara membabi buta, namun Aldy bisa melihatnya. Edwin bukannya tak bisa membalas, namun ia menunggu saat yang tepat untuk melayangkan serangan balik.
Dan benar saja, saat serangan dari Zico mulai melambat, Edwin langsung melayangkan pukulan upper-cut pada rahang bawah Zico. Zico mengadah menatap langit-langit bangunan itu, termundur beberapa langkah ke belakang dan membuat jarak tercipta antara dirinya dengan Edwin.
Edwin pun menyeringai dan melangkah maju. Ia melompat dan mendaratkan lututnya di dada Zico.
Bukkk …
Zico tersungkur di lantai sambil memegangi dadanya. Dengan cepat Edwin menduduki tubuh Zico yang terbaring di lantai, menindihnya sambil melayangkan pukulan dari tangan kiri dan tangan kanannya ke arah wajah Zico secara bertubi-tubi. Zico hanya bisa melindungi wajahnya dengan kedua tangannya.
Edwin terus menyerang Zico sambil tertawa, dan akhirnya Edwin memutuskan untuk menydahi pertarungan itu dengan mengambil satu tangan Zico dan menguncinya dengan kuncian arm-bar menggunakan kedua kakinya.
"Aaaaaakh!" Zico tak kuasa menahan teriakannya saat terdengar bunyi 'krak' yang cukup keras dari pergelangan tangan dan bahu kanannya yang dikunci oleh Edwin.
Edwin melepaskan tangan Zico dari kunciannya dan langsung menendang wajah Zico, membuat Zico juga tak sadarkan diri.
Kini tersisa dua orang yang masih berdiri.
Edwin kembali berdiri dan membuang napas jengah sambil melayangkan tatapan yang sangat merendahkan kepada Aldy. "Gue kira kalian keras. Ternyata kalian cuman kertas."
Aldy pun menyunggingkan senyuman. "Udah?"
"Belum. Boleh gue usulin seuatu?" tanya Edwin pada Aldy. Meskipun ia tahu bahwa Aldy tak akan menggubrisnya, akhirnya Edwin pun melanjutkan kata-katanya tanpa menunggu tanggapan dari Aldy yang ia tahu tak akan ia dapatkan. "Mending lo gabung ke geng gue. Kalo lo cium kaki gue, mungkin gue akan pertimbangin buat ga jadi bikin lo nginep di rumah sakit selama beberapa minggu. Ngerti kan maksud gue?"
Aldy mengarahkan pandangannya ke bawah dan mulai tertawa. Entah mengapa, suara tawa Aldy membuat Edwin juga ikut terkekeh. Namun saat Aldy kembali mengarahkan pandanganya ke arahnya, Edwin merasa seperti tenggorokannya tiba-tiba kering.
Aldy menatap lurus mata Edwin, "Tadinya gue ga mau, tapi kayaknya gue berubah pikiran."
Edwin mengerutkan keningnya, merasa penasaran tentang apa yang Aldy maksud. "Berubah pikiran buat apa?"
Aldy terdiam sejenak.
.
"Gue berubah pikiran." ucap Aldy sambil melangkah maju mendekati Edwin. "Kayaknya gue emang harus bikin rahanglo ancur."
Edwin yang mendengar hal itu pun menyunggingkan senyuman dan ikut melangkahkan kakinya ke arah Aldy. Semakin lama langkah mereka semakin cepat dan akhirnya mereka berdua berlari.
Aldy melompat dan menarik kepalan tangannya ke belakang, sedangkan Edwin tetap berpijak di atas lantai beton bangunan tua itu dan menarik kepalan tangannya juga ke belakang.
Pertarungan antara dua orang yang paling disegani di SMAS Caius Ballad pun tak dapat dihindari.