Heri duduk di kursi di dalam ruang kerjanya di rumah.
Ponselnya bergetar. Ia mengangkat panggilan dari nomer Aldy.
"Apa benar ini ayah dari saudara Rizaldy?"
"Iya, saya sendiri."
"Saya dari kepolisian, pak. Sepertinya anak anda terlibat masalah di kelab malam dan sekarang kami amankan di kantor."
Heri menghembuskan napas berat. "Baik, kalau begitu saya akan segera ke sana."
Dengan langkah cepat ia bersiap, setelah menghubungi supir pribadinya, ia pun berjalan keluar.
Dalam perjalanan, Heri terlihat tenang.
"Kantor polisi, ya?" gumam Heri sambil menatap langit malam dari dalam mobil. Senyuman terlukis di wajahnya. "Kira-kira, hal apa lagi yang bakal lo tunjukin kali ini."
Ekspresi Heri seakan mengharapkan sesuatu yang dapat membuatnya terkejut.
Tak seperti seorang ayah yang mengkhawatirkan anaknya, ia malah berharap Aldy memberinya hal yang mengejutkan.
Selama ini, Aldy percaya bahwa Heri adalah kenalan baik dari mendiang ayahnya dan memiliki hutang budi kepadanya. Namun, Heri merasa sangat lega karena Aldy tak merasa curiga padanya dan mau diadopsi olehnya.
Ia tak menyadari ada hal yang ditutupi oleh Heri darinya.
Dan Heri juga tak berencana untuk memberitahukan hal itu pada Aldy dalam waktu dekat.
Tidak saat ini.
Karena hal yang Heri sembunyikan dari Aldy, jika Aldy mengetahuinya, tak bisa dibayangkan betapa bencinya Aldy pada Heri nanti.
Heri tiba di depan kantor polisi.
Ia memasang ekspresi layaknya seorang ayah yang mengkhawatirkan anaknya.
"Pak Heri?" tanya seorang anggota kepolisian yang sepertinya mengenal baik Heri.
"Anak saya mana?"
"Oh, sebelah sini." ucap polisi itu menuntun Heri ke tempat di mana Aldy berada. Aldy duduk di sebelah dua orang. Satunya berbadan gemuk memakai setelan jas berwarna merah mudah yang cukup terang, dan satunya lagi seseorang yang mengenakan setelan kemeja mahal. Namun keadaannya cukup babak belur.
Seorang polisi yang sedari tadi ada bersama mereka bertiga berdiri dan menyambut tangan Heri. "Anak saya kenapa?"
"Jadi begini," polisi itu menjelaskan semuanya tentang perkelahian Aldy di kelab malam. Pemilik kelab malam menghubungi pihak kepolisian karena perkelahian itu. Dan polisi pun meringkus Aldy, Mansur dan Bondet.
Awalnya Bondet ingin menuntut Aldy, namun Aldy berhasil merekam pembicaraannya dengan Bondet dari awal. Untungnya suara mereka masih terdengar jelas walau terganggu oleh suara musik EDM di kelab itu.
Tentang Bondet yang mengancam keluarga Aldy secara terang-terangan.
Namun, fakta bahwa Aldy sudah menghilangkan nyawa seluruh anak buah Bondet, dan saat penangkapan oleh polisi terjadi Aldy sedang menghajar Bondet habis-habisan, hal itu masih belum bisa terselesaikan.
"Jadi, mau diselesain dengan cara apa?"
Polisi itu menatap Bondet dan Aldy secara bergantian. Lalu pandangannya kembali pada Heri. "Karena saudara Aldy memiliki bukti, dan kebetulan juga, saya baru menerima laporan bahwa orang bernama Bondet ini adalah buronan yang sudah dikejar selama beberapa bulan belakangan ini dengan kejahatan penjualan manusia ke negara lain secara illegal, kami bisa melepaskan saudara Aldy dengan beberapa syarat. Selain wajib lapor selama tiga bulan, ada juga biaya jaminan."
Aldy membulatkan matanya dengan sempurna, begitu juga dengan Mansur.
Mansur terkejut karena bosnya ternyata adalah seorang pedagang budak illegal. Ia memang baru bekerja sebagai bawahan Bondet, namun karena Bondet juga berusaha menuntut Mansur di saat yang sama, polisi menganggap bahwa Mansur bukan bawahan Bondet.
Namun bagi Aldy, hal yang membuatnya sangat terkejut adalah, orang lemah yang bisa ia kalahkan dengan mudah adalah seorang buronan bodoh yang telah dikejar oleh polisi selama beberapa bulan belakangan.
Jujur, Aldy menyesal telah menghabiskan tenaganya untuk memukul orang selemah dan sebodoh Bondet.
Namun, Heri, dalam hati ia benar-benar merasa sangat senang. Aldy bisa mengalahkan buronan polisi, dan juga memikirkan tindakan cerdas dengan merekam percakapan mereka tanpa disadari oleh lawannya.
Bukan hanya kekuatan fisik, namun juga kemampuan berpikir.
Hal itu membuat Aldy menjadi sosok yang menyeramkan bagi siapapun yang ingin memprovokasinya.
Namun, semakin menyeramkan seorang Aldy, maka Heri menjadi semakin bersemangat.
Walau yang ditunjukkan di wajah Heri adalah ekspresi khawatir khas seorang ayah kepada anaknya yang sedang terkena masalah.
Mereka pun keluar dari kantor polisi.
Mansur melebarkan kedua tangannya dan menghirup udara sebanyak yang ia bisa. "Huaaah, ternyata kita gak perlu lagi balik ke penjara."
Mansur memberikan Aldy tos kepalan tangan. "Kalo gitu, gue cabut dulu." Mengarahkan pandangannya pada Heri. "Makasih ya, bapaknya Aldy."
Heri tersenyum sebelum Mansur pergi.
Aldy duduk di sebelah Heri di kursi belakang, kini mereka dalam perjalana kembali ke rumah.
"Maaf, yah. Aldy bikin masalah lagi."
Heri meraih kepala Aldy dan mengusapnya lembut dengan telapak tangannya. "Yang penting kamu gak kenapa-kenapa, nak."
Demi apapun, Aldy merasa sangat bersyukur memiliki seorang ayah seperti Heri. Walau sebenarnya ia tak tahu, ada hal yang dirahasiakan Heri dari Aldy.
Melihat ekspresi Aldy, membuat Heri merasa senang.
Senang bahwa dengan begini, Aldy tak akan mencurigainya sama sekali.
Di sisi lain, Mansur memikirkan Heri di sepanjang jalan. Sambil menghisap batang nikotinnya, ia bejalan menyusuri trotoar di bawah sorot lampu jalan menuju rumahnya. Meskipun cukup jauh, ia hanya ingin berjalan kaki untuk memikirkan sesuatu.
"Siapa namanya tadi? Heri?" si gendut itu berbicara sendiri sambil terus berjalan dan mengepulkan asap dari pernapasannya. "Gue belom pernah denger. Tapi, kok kayak gak asing ya. Di mana gue pernah liat dia?"
Mansur menggelengkan kepalanya. Ia tak mungkin berpikiran aneh tentang ayahnya Aldy. Tapi, semenjak ia pertama kali menatap mata Heri, perasaannya sudah tidak enak. Rasanya seperti menatap ke sosok serigala berbulu domba. Entahlah, mungkin pikirannya sedang kacau karena baru saja kehilangan pekerjaan dan hampir berakhir kembali ke dalam penjara.
Dengan kepalanya yang masih penuh dengan omong kosong, Mansur terus berjalan di keheningan malam.
***
"Reen? Belum tidur?" tanya Aldy saat mendapati Maureen berdiri di depan pintu masuk rumah yang terhubung dengan garasi. Heri menepuk pundak Aldy lalu berjalan sambil lalu melewati Maureen.
Maureen masih terdiam. Aldy tak mengerti dengan arti dari tatapan Maureen. Sebelum pergi meninggalkan rumah, mereka masih memiliki kesalah pahaman yang belum terselesaikan. Sekarang, Aldy pulang dengan kondisi hampir dipenjara setelah membuat kekacauan di sebuah kelab malam.
Kira-kira, apakah Maureen semakin membencinya?
Aldy melangkahkan kakinya mendekat ke arah Maureen. Dan, melewatinya begitu saja.
Dalam hatinya, Aldy ingin sekali meminta maaf tentang apa saja yang sudah membuat Maureen kesal. Namun, ia berpikir untuk tak terlalu dekat dengan Maureen, ia hanya takut Maureen tambah membencinya.
Tepat setelah Aldy berjalan melewati Maureen, kedua tangan Maureen mengepal keras.
"Bodoh."
Sebuah kata yang keluar dari mulut Maureen membuat Aldy menghentikan langkahnya. Sebuah senyuman terlukis di wajah Aldy. "Maaf. Lo jadi punya kakak yang bodoh kayak gue."
Kedua mata Maureen mulai berkaca-kaca. "Emang."
Aldy meneruskan langkahnya tanpa berbalik, tak menyadari bahwa tubuh Maureen bergetar hebat. Bukan karena kedinginan, namun gemuruh di hatinya yang semakin sulit untuk ditahan. Maureen sudah tahu apa yang dipikirkan oleh Aldy melalui buku catatan yang tak sengaja dilihatnya di dalam lemari pakaiannya beberapa saat yang lalu.
Karena itu, Maureen sekarang benar-benar merasa bersalah.
Namun, di satu sisi, ia juga tak tahu bagaimana harus bersikap di depan Aldy. Ia benar-benar frustasi akan hal itu.
Maureen masih terdiam di tempatnya berdiri, belum menunjukkan tanda-tanda akan masuk ke dalam rumah. Pikirannya masih terlalu kacau.
Namun.
Hal yang tak ia duga terjadi.
Sebuah kain. Lebih tepatnya, sebuah jaket melingkar di tubuhnya dari belakang. Itu adalah jaket yang dikenakan Aldy sebelumnya. Aldy memakaikan jaket di tubuh Maureen dari belakang, dan tanpa sepatah katapun ia kembali berbalik dan berjalan meninggalkan Maureen.
Tapi belum sempat Aldy melangkah pergi, Maureen dengan cepat berbalik dan melingkarkan kedua tangannya di tubuh Aldy dari belakang, membenamkan wajahnya di punggu Aldy sambil terus memeluknya dengan sangat erat.
Aldy terdiam, tak tahu harus berkata apa.
Namun satu yang ia sadari.
Bahwa mungkin Maureen tidak benar-benar membencinya.
Satu hal itu yang membuat hari-harinya yang sangat berat belakangan ini menjadi sangat ringan. Seakan semua beban yang selama ini ia pendam dalam benaknya hilang begitu saja.
Berkat sebuah pelukan hangat dari adiknya, Maureen.