Baixar aplicativo
80.55% Patah Paling Parah / Chapter 29: Gagal

Capítulo 29: Gagal

Ndari tahu wanita jahat itu tengah tertawa menikmati kemenangan yang telah didapatkan. Tentu, bersama dengan anaknya yang sebaya dengan dirinya.

"Bodoh, kau telah melakukan kesalahan besar, kawan. Keluar dari rumahmu sendiri saja saja menyerah hartanya untuk musuhku."

"Ya, aku tahu dan aku ingin pergi ke suatu tempat, antar aku sekarang."

"Ke mana?" tanya Vivi. Salah satu teman Ndari yang pernah satu kelas dengannya.

Meskipun tidak akrab namun keduanya bisa dekat dan tak merasa canggung sama sekali. Sesuai permintaan temannya, Vivi mengikut arahan dari Ndari. Tibalah mereka di depan rumah mewah yang mengah.

"Wow, rumah siapa ini? Keren!"

"Pacarku."

"Hah, yang benar saja?"

"Tunggu di sini apa mau masuk?"

"Di sini sajalah. Enggak lamakan?"

"Oke."

Setelah langkah menuju pintu langsung tangannya memberanikan mengetuk. Mata Miko terbelakak, wanita yang diantaranya datang kembali. "Ndari, ngapain kamu ke sini lagi? Ada barang yang ketinggalan?"

"Siapa tamunya, Ko?" Suara Om Pram terdengar hingga depan.

"Boleh masuk, mau ngomong sesuatu sama Ayahmu."

"Ngomong aja biar aku sampaikan."

"Boleh masuk?"

Berat hati, dibukakanlah pintu yang masih setengah tertutup. Kepalanya mengangguk menunjukan dirinya boleh masuk. Om Pram tengah bersantai di atas sofa sembari sibuk mengamati gawai yang digenggam olehnya.

"Assalamualaikum, Om."

Suara itu, meskipun baru sehari dikenal namun pria bertubuh besar itu mengenalkannya.

"Waalaikumsalam, ada apa Ndari?" tanyanya langsung dengan ekspresi terkejut.

Tanpa basa-basi, kakinya berjalan mendekat, "Maaf Om saya kembali lagi. Langsung saja, bolehkah saya tinggal di sini? Saya mohon Om, sa-"

"Tidak Ndari," potongnya langsung beranjak bangkit mendekat,"apa kata tetangga nanti?"

"Baiklah saya mengerti. Bolehkan saya jika menikah dengan Miko, dengan begitu akan terhindar dari fitnah tetangga. Iyakan,Om?"

Miko yang sedari tadi diam mendengarkan langsung melangkah mendekat. Mata ayah langsung beralih padanya, begitu juga dengan Ndari.

"Miko, bagaimana kamu masukan nikah denganku?"

"Nikah tak semudah apa yang kamu ucapkan, Sayang. Sabarlah ... kelak aku akan menikahimu setelah mapan."

"Hai, nikah tak harus menunggu mapan," protesnya.

Miko menggelengkan kepala, "Itu akan mempersulit dirimu. Aku tahu, kau mengajak nikah hanya karena ingin menjauhi Ayahmu. Lihatlah, masalah satu belum selsai. Jangan membuka pintu masalah baru..."

"Apa kau menganggap pernikahan sebuah masalah?" Matanya menatap tajam penuh keseriusan.

"Ya, jika terpaksa dan belum waktunya."

"Hehe ... oke, sepertinya hubungan kita berakhir sampai di sini. Saya permisi, Om." Tunduknya sembari melangkah meninggalkan tempat.

"Ndari..." Suara pria berbadan besar itu menghentikan derap langkahnya. Bibirnya menyunggingkan senyum manis. Sepertinya, Om Pram akan setuju dengan ide yang diusulkan.

"Ada apa Om?" tanya Ndari kalem.

"Miko masih kuliah, maaf dia tak bisa memenuhi permintaanmu, akan tetapi percayalah padanya. Dia akan memenuhinya nanti."

Wajah yang sebelumny tentang langsung berubah lesu. Mata kekasihnya ditatap dengan sadis, "Baiklah saya mengerti...."

Miko menyusul langakh kaki kekasihnya untuk menahan," Ndari tunggu. Kamu tak bisa mengakhiri hubungan hanya sebelah pihak. Kamu tetap kekasihku!"

Diempaskannya tangan Miko yang mendarat dan menganggap tangannya dan menemui seseorang yang sudah lama menunggu di depan.

"Ayo, pergi!"

"Kamu enggak papakan?"

"Iya. Ayo pergi!"

Sampai di rumah, Vivi kembali bertanya untuk apa temannya itu masuk ke rumah mewah itu.

"Awalnya aku ingin menumpang lagi di rumahnya. Namun, Ayahnya tidak membolehkan karena takut fitnah tetangga. Alhasil, aku mengajaknya menikah?"

"Mengajak menikah Ayah pacarmu?"

"Isshh, bukanlah! Tentu saja aku mengajak pacarku."

"Lantas?" Bola matanya membulat penasaran, mencoba untuk lebih mendekat memotong jarak.

Ndari malah mengukur waktu dengan memilih merebahkan tubuhnya yang lelah di sofa.

"Dia menolak dengan alasan belum mapan."

"Bagaimana tanggapan Ayahnya?"

"Sama, Ayahnya mengatakan Miko masih kuliah dan pastinya dia ingin anak tunggalnya sukses baru merestui untuk menikah."

Vivi mendekat turut duduk di samping dengan pelan, "Kalo boleh tahu, apa kau tak berpikir lebih dulu sebelum, mengajaknya menikah? Apa kau tak merasa malu? Maaf."

"Yah, malu itu pasti tetapi begini akan lebih baik karena kita tahu kebenarannya. Kau tahu sendiri aku dan Ayahku sedang bertengkar, itu sebabnya aku menyetujui kursus ya kau tawarkan."

"Pantas saja kau membawa koper kemari hehe."

"Kau meledekku?" Ndari menatap sinis.

Vivi malah ngakak, "Entahlah. Kau seperti anak ayam yang tersesat di tengah hutan."

"Iya kau benar," sahutnya tak ingin debat.

"Tapi ada satu hal yang sedikit mengganjal. Bagaimana jika kau tak diterima kursus di sana, lantas akan tinggal di mana?"

"Aku yakin diterima."

Ndari dengan percaya diri tersenyum enteng. Lagi-lagi Vivi mengkhawatirkannya, "Akan ada sekitar 20 anak yang akan bersaing dengan kita."

"What, ada seleksinya?"

"Ya. Segala sesuatu yang gratis tentunya akan menjadi bagus jika diseleksi."

"Serius ada seleksinya? Terus kalo aku enggak lolos bagiamana?"

"Lho, bukannya tadi kamu yakin lolos hahaha."

Wanita itu mulai curiga dengan temannya sebab tampak percaya diri jika nanti akan berhasil. Wajahnya juga terlihat tenang.

"Hemm ... Kau yakin lolos?"

Vivi mengangguk yakin dengan senyuman kecil.

"Kau punya orang dalam?" Matanya mendelik curiga.

"Hahahaha ... tidak!"

"Lantas, kenapa percaya diri sekali?"

"Yang pernah daftar dan tidak lolos sebelumnya akan diprioritaskan, apalagi jika orang itu sudah mencoba berkali-kali."

"Kau beruntung ... aku iri padamu," lirih Ndari nyaris hilang harapan.

"Hahahaha." Vivi tertawa jahat menatap temannya pucat.

Ndari gelisah, malam ini tak bisa tenang sebab besok harus menghadapi tes. Ia terus mondar-mandir sampai Vivi menegur.

"Tidurlah dan berdoa besok ada keajaiban," ujarnya sembari menguap.

Pagi-pagi sekali, Ndari lebih dulu mandi dan sudah siap untuk mengikuti seleksi kursus. Tampaknya Vivi terlihat santai karena dia pasti akan diterima. Baiklah, dirinya sudah berdoa. Di sana harus memikirkan cara agar lolos.

"Ayo, Vi nanti kita telat, lho."

"Santai aja kali. Lagian tesnya jam delapan. Ini baru jam tujuh, ayo kita buat sarapan dulu."

"Ya udah deh," sahutnya pasrah.

Lagian daripada mati karena kelaparan lebih baik dirinya mengikuti saran temannya. Rumah Vivi ini sangat sederhana, tidak ada hal-hal mewah di sana. Hanya sindirian menghuni rumah sederhana ini sebab Ibunya meninggal dan Ayahnya menikah lagi.

Yah, itulah yang Ndari takutkan dengan nasibnya sendiri. Ayah sudah tertarik dengan wanita lain. Malah yakin akan menikahinya dengan begitu dirinya sama saja terabaikan. Bernasib sama dengan Vivi.

Setelah sarapan keduanya berangkat menuju tempat seleksi tepatnya di Dinas Sosial. Baru kali ini, Ndari kemari dan beberapa anak sudah lebih dulu berkumpul dari jam tujuh tadi.

"Lihatlah mereka hanya tujuh, kurasa ada harapan untuk lolos." Ndari setengah berbisik di telinga Vivi.

"Kurasa tidak, lihatlah rombangan yang baru saja turun dari mobil itu. Kurasa mereka juga akan mengikuti seleksi." Tangannya menunjuk ke arah rombangan itu.

"Astaga!"

Betapa terkejutnya Ndari karena calon peserta berasal dari berbagai kecamatan. Mereka benar-benar berjuang untuk mendapatkan kursus ini. Tibalah Ndari dipanggil untuk tes wawancara.

"Ndari ... lulusan SMK dengan status orang tua ibu meninggal." Sesekali tim penguji itu melihat ke arah wajahnya yang gugup luar biasa.

Tim penguji tampak membawa resum yang barusan diisi sebelum sesi wawancara dimulai.

"Enggak usah tegang," tegur petugas yang awalnya judes berubah senyum.

"Hehe iya, Bu."

"Apa yang kau tahu tentang Panti Sosial Bina Remaja? Seandainya lolos yakin bisa betah di sana selama enam bulan, tanpa Hp?"

'What tanpa Hp? Panti Sosial? Lho, Vivi bilangkan kursus' dalam batin Ndari bertanya-tanya.

"E- saya tahu tentang kursus e....'' Haduh, Ndari gelagapan. Karena memang salah sendiri tindak bertanya detail mengenai hal itu kepada Vivi.

Untung Tim penguji berbaik hati untuk menjelaskan di sana memang terdiri dari tujuh ketrampilan kursus yang bisa dipilih. Sepanjang tes wawancara, Ndari hanya menjawab iya dan mengangguk-angguk.

Tibalah pengumuman dari 21 calon peserta yang diterima hanyalah delapan. Vivi salah satu peserta yang namanya dipanggil. Yang dipanggil itulah yang lolos. Namun, tidak dengan Ndari. Seketika tumbuhnya langsung lemas. Tak tahu harus ke mana pergi? Tak mungkin dirinya pulang ke rumah.

"Sabar ya ...." Vivi lantas merangul temannya yang tak berdaya.


next chapter
Load failed, please RETRY

Status de energia semanal

Rank -- Ranking de Poder
Stone -- Pedra de Poder

Capítulos de desbloqueio em lote

Índice

Opções de exibição

Fundo

Fonte

Tamanho

Comentários do capítulo

Escreva uma avaliação Status de leitura: C29
Falha ao postar. Tente novamente
  • Qualidade de Escrita
  • Estabilidade das atualizações
  • Desenvolvimento de Histórias
  • Design de Personagens
  • Antecedentes do mundo

O escore total 0.0

Resenha postada com sucesso! Leia mais resenhas
Vote com Power Stone
Rank NO.-- Ranking de Potência
Stone -- Pedra de Poder
Denunciar conteúdo impróprio
Dica de erro

Denunciar abuso

Comentários do parágrafo

Login