Siang itu langit cerah hampir biru sempurna hingga semakin menajamkan terik matahari memapari bumi. Cuaca yang bersahabat disambut riang oleh para penduduk Kota Saunggalah. Jalanan semakin ramai oleh lalu lalang pejalan kaki juga beberapa penunggang kuda. Sesekali kereta kuda dari para pedagang yang mengangkut barang juga kereta pejabat negara juga turut melintas.
Pasar besar di Ibu Kota hari ini sangat ramai dan padat, khususnya di perempatan jalan kota. Perempatan ini adalah simbol dari pusat kegiatan perekonomian Kerajaan Galuh. Perempatan ini dibuat melingkar mengelilingi sebuah pohon besar yang sudah hidup selama berabad-abad dan menjadi saksi bisu atas sejarah negeri Galuh dari semenjak berdiri hingga sekarang. Dibawah pohon tersebut terdapat sebuah mimbar yang biasanya digunakan oleh Pejabat dan Prajurit Keamanan untuk menyampaikan Woro-woro atau pengumuman dari pihak Kerajaan kepada seluruh masyarakat. Dan disebelah mimbar, terdapat Gong disertai pemukulnya. Ketika gong itu dipukul, akan menjadi tanda peringatan ketika sebuah Woro-woro hendak disampaikan.
Dengan menunggang kuda, Raden Asmaraga telah tiba di jalanan Pasar Kota Saunggalah. Langkah kuda yang semula melaju cepat kini terpaksa harus berjalan pelan karena jalanan yang begitu sesak dipadati oleh penduduk kota dengan masing-masing kesibukannya. Setelah dia sampai di perempatan kota, Dari arah berlawanan, datang sepuluh orang prajurit yang salah satunya membawa sebuah gulungan besar. Mereka berbaris rapi dengan langkah tegap.
Para penduduk yang melihatnya, secara pengertian langsung memberi jalan untuk mereka yang ingin melewati padatnya kondisi jalanan. Barisan mereka berhenti di dekat pohon besar perempatan. Salah satu prajurit naik ke mimbar lalu membuka gulungan kertas yang dibawanya. Dengan menarik napas terlebih dahulu, dia pun membaca isi tulisan di dalamnya.
"WORO-WORO! WORO-WORO! WORO-WORO!"
*GONG...!!! GONG...!!! GONG...!!!*
Seluruh penduduk yang ada di kota itu diwajibkan menghentikan aktifitasnya sejenak untuk mendengarkan pengumuman tersebut. Semua orang yang semula memadati jalan pun sekarang mengumpulkan diri untuk memusatkan pandangannya ke arah mimbar di bawah pohon besar.
"Diberitakan kepada seluruh masyarakat Galuh, khususnya penduduk Ibu Kota Saunggalah. Besok pagi akan digelar acara persidangan untuk mengadili seorang pelaku teror yang telah dianggap bertanggung jawab secara langsung atas kematian dua puluh empat murid Perguruan Wana Wira. Pengadilan akan berlangsung secara tertutup untuk umum, dan terbuka untuk kalangan Priayi dan Kerabat Raja saja. Barang siapa yang menghalangi proses sidang atau tidak menyetujui hasil keputusan peradilan, akan dianggap sebagai membelot dan akan dijatuhi hukuman berat. Demikian pengumuman ini disampaikan. Masyarakat diharapkan bisa saling menyebarkan pengumuman ini kepada yang belum mengetahuinya tanpa menambah atau mengurangi inti dari berita."
*GONG...!!! GONG...!!! GONG...!!!*
Prajurit yang membacakan pengumuman pun menggantungkan lembar pengumuman di bagian depan mimbar supaya bisa dibaca oleh penduduk lainnya yang belum sempat mendengar berita secara langsung. Setelah itu, mereka berbaris dan berbalik arah menuju istana kembali.
Raden Asmaraga yang turut menyaksikan pembacaan pengumuman itu pun, kini menjadi tahu kapan persidangan dimulai. Dia kemudian melanjutkan laju kudanya berbarengan dengan para penduduk kota yang juga melanjutkan aktifitasnya kembali.
Sementara itu di aula utama, tempat pertemuan pejabat dengan raja di dalam Istana. Pertemuan yang digelar setiap satu pekan sekali itu melibatkan seluruh pejabat tingkat tinggi negara yang kini telah duduk berbaris di samping kiri dan kanan singgahsana raja. Mereka menanti kedatangan raja mereka yang sesaat lagi akan menduduki kursi singgahsana yang diagungkan. Para pejabat yang turut hadir itu diantaranya adalah; Mahapatih Adimukti Nataprawira, Saptaraja Hanung Cumangkir, Rakryan Mahamantri Mpu Handaya, Juru Pangalasan Mpu Lembu Bodas, Walikota Saunggalah Nandang Wisesa, Tumenggung Aria Laksam, dan beberapa pejabat inti kerajaan lainnya.
Pintu Aula dibuka, beberapa dayang muncul memanggul bejana berisi buah-buahan di kepalanya, disusul beberapa lainnya memegangi kipas raksaksa yang terbuat dari bulu angsa yang dikombinasikan dengan bulu burung merak. Seluruh pejabat yang hadir di tempat itu berdiri dan menunduk dengan tangan memberi hormat layaknya gaya orang memohon ampun. Dayang-dayang itu mengiringi langkah seorang pria gagah dengan pakaian kebesaran berbalut kain sutera merah kehitaman. warna jahitan emas dan perak turut menjadi harmoni pada baju kebesarannya. Sementara di kepalanya terletak mahkota simbol kepemimpinan. Siapa lagi kalau bukan Maharaja Gusti Prabu Darmasiksa.
Beliau berjalan diatas karpet merah menuju singgahsananya. Selama berjalan pelan itu, para pembantu istana menaburkan bunga mawar dan melati kepada langkah beliau. Para pemuka agama mencipratkan air suci dari samping kanan dan kiri. Setelah sampai di singgahsananya, Sang Raja tidak langsung duduk. Tetapi memejamkan mata dan berdoa sejenak. Itu adalah rutinitasnya setiap hari berharap hari ini diberi kemudahan dalam melaksanakan tanggung jawabnya sebagai raja. Dia pun lalu duduk di singgahsananya.
Gong dipukul, tanda untuk raja mulai mengeluarkan sabda pembukanya. juga sebagai tanda untuk para pejabat yang semula berdiri dipersilakan duduk kembali.
"Hindarilah sikap tidak mengindahkan aturan, termasuk melanggar pantangan diri sendiri. Orang yang melanggar aturan, tidak tahu batas, tidak menyadari akan nasihat para leluhurnya, sulit untuk diobati. sebab, diserang musuh yang halus. Orang yang keras kepala, yaitu orang yang ingin menang sendiri, tidak mau mendengar nasihat ayah-bunda, tidak mengindahkan ajaran moral patikrama. Ibarat pucuk alang-alang yang memenuhi tegal."
Semua yang hadir di tempat itu mengangguk mengiyakan.
"Dipersilakan laporanmu Paman Patih," perintah Raja kepada Mahapatih Adimukti Nataprawira.
Patih Adimukti pun berdiri yang kemudian memberi hormat.
"Mohon ampun Gusti Prabu, dalam satu minggu belakangan ini, negeri kita sedang banyak menghadapi ancaman keamanan. Diantaranya adalah laporan beberapa kasus perampokan. Beberapa terjadi di wilayah perbatasan yang merupakan jalan masuk ke wilayah Galuh, di dekat hilir Sungai Citarum. Perampok ini menjarah semua harta dan barang dagang milik seorang saudagar dari Sriwijaya, bahkan membunuh beberapa pengawal pribadinya. Beruntung, saudagar ini berhasil kabur dan selamat sehingga sempat melaporkan kejadiannya kepada paman Tumenggung Aria Laksam. Kemudian laporan penjarahan kapal yang terjadi di wilayah laut selatan di dekat daerah pangandaran. Bajak laut ini diduga memiliki gerombolan yang tidak sedikit. Menurut mata-mata kami, mereka bermarkas di pulau nusa kambangan. Dan yang terbaru adalah tindakan teror dan pembantaian terhadap dua puluh empat murid perguruan Wana Wira oleh kelompok yang mengaku sebagai suruhan seseorang bernama Saga Winata. Tetapi, untuk yang satu ini. Pelakunya sudah tertangkap. Mahaguru Sutaredja sendiri yang menangkapnya dan menyerahkan pelakunya ke Pengadilan."
"Baik. Lalu sikap apa yang akan kita ambil? Silakan Paman Tumenggung Aria Laksam sebagai yang bertanggung jawab atas keamanan Kerajaan Galuh," perintah Prabu Darmasiksa kepada Tumenggung.
"Ampun Gusti Prabu, perihal peristiwa perampokan di perbatasan, kami sudah mengirimkan mata-mata dari pasukan bhayangkara untuk mengawasi gerak-gerik mereka supaya kami bisa langsung menumpas sampai akar-akarnya. Sikap yang sama juga kami lakukan kepada kasus Bajak Laut di laut selatan. Mengenai teror di Perguruan Wana Wira, Kami menunggu proses putusan pengadilan besok untuk mengambil tindakan selanjutnya, apakah harus mengejar orang bernama Saga Winata atau tidak perlu," ujar Tumenggung.
"Sebaiknya kita harus berhati-hati. Pastikan bahwa serangkaian peristiwa ini bukanlah rencana besar untuk merongrong kewibawaan kerajaan Galuh ini! Pastikan ini bukan rencana pihak-pihak tertentu untuk melakukan kudeta melalui tindak kerusuhan yang memecah belah perhatian kita! Pastikan bahwa ini hanya tindakan kriminal biasa," tegas Sang Prabu.
"Siap Laksanakan Gusti Prabu, hamba akan menempuh kehati-hatian sebagai pedoman hamba dalam melakukan pengamanan di negeri ini. Hamba akan pastikan bahwa itu hanya tindakan kriminal biasa," ucap Tumenggung Aria Laksam.
"Perlu mempunyai kewaspadaan akan kemungkinan dapat direbutnya kemuliaan, kewibawaan, dan kekuasaan, serta kejayaan bangsa sendiri," sabda Prabu.
Hadiah anda adalah motivasi untuk kreasi saya.
Follow my instagram @sigit.irawart