"Kau sebut ini beres-beres, hah?" mata dingin dan tajam Wataru terpaku padanya, aura arogansi di wajah lelaki itu seperti biasa, terpampang sangat jelas.
"Ini apartemenku. Kenapa kau banyak protes, sih?" Misaki memalingkan wajah, mendorong boneka beruang besar sebagai tameng ke depan.
Kekesalan lelaki itu terbetik melihat boneka setinggi orang dewasa diarahkan padanya. "Untuk apa boneka itu?"
"A-aku suka boneka ini! Sangat empuk!" boneka itu dipeluknya dengan wajah polos tak berdosa.
"Menjengkelkan. Tsk!"
Kakinya melangkah memasuki ruangan yang membuat hati sang playboy itu menggelegak. Sangat kontras dengan apartemen miliknya yang rapi dan minimalis. Ia benci kekacauan!
"Hanya ini yang bisa kutemukan di mini market. Kau tidak keberatan, kan?" ia mengeluarkan beberapa onigiri, dua kotak susu, sekotak jus, beberapa roti berbagai rasa, sushi, dan bento*.
Melihat hal itu, air liur Misaki menetes.
"Kau itu jorok sekali, sih!" omel Wataru.
"Ma-maaf. Aku belum makan sejak pagi tadi." Kepalanya tertunduk malu.
Playboy itu tersenyum kecil.
"Ayo kita makan dulu baru bahas rencana acara kita."
"I-iya."
Misaki memperhatikan lelaki itu dengan lembut, cekatan menyiapkan makanan untuk mereka. Makanannya terlalu banyak!
"Kenapa kau bengong? Kau itu hobi bengong, ya?" sindirnya, menatap jengkel Misaki dengan mulut menggigit sedotan, terlihat sangat seksi dan angkuh.
Perempuan itu berkedip sekali. Jika saja ia tak menahan phobianya, mungkin ia sudah menjerit kagum layaknya orang normal. Ia teringat salah satu karakter novel buatannya, yang pada dasarnya memang Wataru-lah referensinya.
Rasanya seperti menonton live action* karya sendiri! Luar biasa!
Sayang, Toshio Wataru adalah seorang playboy. Sistem di otaknya sudah menandainya dengan warna merah sebagai ancaman!
"Oi, Misaki! Kau sedang apa?"
"Ah! Eh? A-anu. Kenapa banyak sekali yang Toshio-san* beli?"
Lelaki itu tertawa. "Jangan geer, ini untukku." Tangannya meraup semua makanan ke sisinya, dan memberikan perempuan itu sekotak bento, satu bungkus roti, dan sekotak susu. "Dan ini untukmu. Semua 800 yen saja."
Misaki menahan amarah. Sudut-sudut bibirnya berkedut.
Sialan! Umpatnya dalam hati.
"Tunggu di sini. Aku ambil uang dulu."
Wataru mengamati tunangan palsunya itu secara sembunyi-sembunyi, rotinya dilahap perlahan. Puas memandangi punggung Misaki yang sibuk mencari uang di laci, matanya mengamati seluruh ruangan itu kembali. Benar-benar berantakan! Perempuan macam apa yang tinggal di tempat seperti ini?
"Hei, kutu buku!"
"Ya? Apa? Kenapa? Aku masih cari sisa uangnya. Tunggu dulu!" tangannya sibuk mencari-cari di balik isi laci yang penuh.
"Kau itu kerjanya apa, sih? Banyak sekali buku-buku di sini. Apa kau segitu gila bukunya, ya?" ledeknya puas, ada nada menghina dalam suaranya.
Ya, ampun! Harusnya aku yang bertanya kerjaanmu apa sampai punya lima ratus juta yen! protes Misaki dalam hati.
"Aku suka mengoleksi buku. Dan iya, aku suka baca!" ia menatap kesal Wataru dari balik bahunya.
"Heeeee! Benar-benar kutu buku. Sungguh sumber alergi." Ia lanjut makan dengan lahap tanpa
memperdulikan perasaan perempuan berponi rata itu.
"Tiga puluh hari? Apa aku bisa tahan selama itu? Kok, kedengarannya seperti neraka dunia, yak? Seandainya novel baruku meledak di pasaran, apa akan cukup mengganti dendanya?" gumam Misaki, wajahnya pucat. Tangannya sibuk menghitung taksiran berapa kekurangan yang harus ditutupinya kelak.
"Kenapa kau lama sekali?" kali ini Wataru melahap sushinya dengan kasar. Bertopang dagu memandang Misaki layaknya tontonan seru. Sesekali ia terkekeh sendiri.
"Tolong tunggu! Dompetku kosong, dan aku ingat ada beberapa uang kembalian yang kusimpan di laci ini."
"Sudahlah. Kau tak usah bayar. Cepat makan! Kau belum makan, kan, dari tadi?!"
"Tidak! Aku akan bayar!" tangannya makin sibuk mengubek-ubek isi laci, harga dirinya serasa diinjak-injak, giginya digertakkan keras. "Pria menjengkelkan! Maunya apa, sih?"
"Oi! Aku dengar, loh! Sudah, cepat makan sini! Aku tak menanggung kalau kau sakit! Lagi pula waktu kita tak banyak untuk makan. Gengsimu itu tinggi banget, yak? Perempuan menyusahkan!"
"Oi! Aku dengar, loh!" Misaki berbalik dan mengutip kalimat lelaki barusan. Kedua tangannya mengepal kuat di sisi tubuhnya.
"Pffft! Makanlah! Setelah makan kita akan pergi keluar"
"Apa? Keluar?" kebingungan melahap otaknya.
"Bukan kencan. Dasar geer!"
"SIAPA JUGA YANG NGOMONG BEGITU?"
"Berisik! Makan dulu sini!" tangannya memukul-mukul meja, tak sabaran.
"Ba-baik." Misaki menurut.
Selama beberapa menit, ruangan itu hanya dipenuhi suara kunyahan dan tegukan. Misaki mencuri-curi pandang lelaki yang ada di depannya itu dari balik poni, wajahnya merona sedikit.
Wataru memang sangat tampan, ia baru sempat memerhatikan wajah lelaki itu dengan saksama. Tidak heran banyak perempuan yang bertekuk lutut padanya. Tubuhnya tinggi dan tegap. Matanya tajam tapi sedikit sendu dan dingin. Bibirnya tipis. Alisnya tegas dan kuat. Hidungnya sangat proporsional dengan ketampanannya. Rambut hitam stylishnya, mengingatkannya pada gaya rambut aktor terkenal, Yamaki Ken di drama Catatan Kematian*.
"Apa perutmu akan kenyang dengan menatapku seperti itu? Tahu begitu, aku tak usah repot-repot membelikanmu makanan."
Kaget. Kedua bahu Misaki naik. Tak menyangka lelaki itu sadar diperhatikan olehnya.
"Tatapan matamu menusuk, tahu!" Ia memiringkan kepalanya, keningnya bertaut kesal.
"Ma-maaf! Aku tak bermaksud apa-apa." Wajahnya dipalingkan.
Wataru mendengus. "Kau ini, seperti baru saja mengundang pria tampan masuk ke apartemenmu. Norak sekali."
Rasanya ada yang nyelekit di dadanya.
"Maaf, ya, karena memang begitu faktanya. Jadi, tolong pengertian anda." Ia masih memalingkan
wajah, suaranya terdengar kesal dan malu. Kedua tangannya gemetar di atas meja.
"Eh? Serius?" Wataru mengamati kedua tangan Misaki yang mengepal kuat. Tiba-tiba perasaannya merasa tak nyaman.
"Iya. Aku tak punya banyak teman, jadinya jarang ada yang mampir main kemari."
Wataru diam sejenak, berpikir.
"Pacar?"
"Tidak punya."
Kening lelaki itu bertaut, lalu senyum mengejek terpasang di wajahnya.
Tak sengaja Misaki melirik pemandangan itu, dan hatinya terbakar oleh amarah. "Maaf saja, ya, karena aku tak punya pacar. Atau teman. Siapa yang mau berteman dan punya pacar Sadako seperti aku, kan? Urus saja urusanmu sendiri, Toshio-san!" sumpitnya diletakkan dengan keras di atas meja, matanya mengobarkan api peperangan.
"Ah. Kau itu sensitif sekali. Aku tak ada maksud buruk, kok."
"Oh, ya?! Kok, aku merasa tidak demikian, ya?" badannya dimajukan ke depan dengan satu siku menyangga tubuhnya, matanya mengebor kedua mata Wataru yang dingin. Berharap dengan menatap garang padanya, setidaknya rasa takut lelaki itu muncul dan berhenti merendahkannya terus.
Senyum licik terlihat sekilas di wajah lelaki itu. Detik kemudian, Misaki merasa telah berbuat suatu kesalahan besar.
Pandangan mereka terkunci satu sama lain. Sialnya, tubuh Misaki membeku entah kenapa. Phobianya, kah? atau tatapan itu begitu menakutkan?
"Kena kau!" suara Wataru terdengar dingin, tenang, dan bengis.
Kedua bola mata Misaki membesar, horor merangkak naik ke wajahnya.