Baixar aplicativo
7.69% Nikah Dadakan / Chapter 17: BAB 16: "Gotong-royong"

Capítulo 17: BAB 16: "Gotong-royong"

Sakha dan Naraya berjalan beriringan menuju satu-satunya masjid yang ada di RT ini. Letaknya tak jauh dari rumah Naraya, kira-kira sekitar 10 menit perjalanan, maka mereka akan sampai.

Seperti biasa mereka berjalan sambil bergandengan tangan. Dengan Sakha yang tanpa mengatakan apapun dan langsung menggenggam tangan Naraya. Naraya sendiri sudah tidak kaget dengan perlakuan Sakha yang tiba-tiba, mungkin dia sudah terlampau terbiasa.

"Kamu udah akrab sama Poppy?" Tanya Naraya lagi dengan nada tak percaya. Tadi pertanyaannya belum dijawab oleh Sakha karena waktu yang mepet mengharuskan pria itu untuk mandi ketimbang menjawab pertanyaan Naraya.

Sakha mengangguk senang dengan senyuman lebar di wajahnya. Mata Naraya menjadi silau karena cahaya yang Sakha pancarkan.

"Iya!" Jawab pria itu dengan semangat, "Kami temenan!"

Hampir saja Naraya mengatai Sakha bodoh. Tapi mungkin saja Poppy memang benar-benar mengajak Sakha berteman, karena kucing satu itu memang agak berbeda dari yang lainnya kalau menurut Naraya.

Pernah sekali waktu itu, ketika Naraya sedang tertidur pulas dan harus bangun karena ada janji takziah dengan warga lain. Hampir saja dia tidak jadi pergi andai Poppy tidak membangunkannya waktu itu. Benar-benar membangunkan Naraya! Dia sampai mencakar kaki Naraya agar perempuan itu bangun.

Kalau mengingat kejadian itu, Naraya suka berpikir kalau Poppy itu sebenarnya manusia!

"Eh, mbak Nara sama mas Sakha udah dateng. Duduk dulu, yang lain belum pada dateng, nih." Sapa Bu Yuni, istri pak RT, pada Naraya dan Sakha yang baru datang.

Mereka berdua tersenyum sopan dan duduk di teras masjid. Naraya merasa canggung karena ada Bu Wati, Bu Iin, dan Bu Ina sudah ada di sana lebih dulu. Kalau kalian lupa, mereka adalah tiga dari beberapa orang yang menjadi saksi atas kejadian yang membuat Sakha dan Naraya dipaksa menikah.

Kalau mengingat itu, Naraya jadi tidak ingin berbicara dan menyapa mereka. Agak dendam, sih ya.

Mereka juga tampaknya enggan berbicara pada Naraya, ya peduli setan lah ya.

"Omong-omong makin mesra ya sama suaminya." Seorang ibu-ibu yang tidak Naraya tahu siapa namanya itu tiba-tiba berbicara pada Naraya.

"Namanya juga pengantin baru, bu." Saut perempuan paruh baya yang lain.

Ya ya, biarkan saja mereka berbicara dan bergosip ria sementara objek yang mereka gosipkan ada di depan mata.

"Liat aja tangannya nempel-nempel gitu nggak mau lepas." Mereka kemudian cekikikan berdua. Sementara Bu Wati, Bu Iin, dan Bu Ina tertawa sinis.

Naraya jelas tidak nyaman dan semakin mengeratkan pegangan tangannya pada Sakha.

"Nggak apa-apa, Naraya. Kan kamu nggak sendirian, aku di sini kok."

Bisikan itu membuat Naraya yang tadinya menunduk, kini mendongak menatap Sakha yang tersenyum lembut padanya. Seperti saat di akhir hari pernikahan mereka, Sakha memberikan sebuah senyuman yang anehnya menjadi obat penenang untuk Naraya.

Ini kedua kalinya Sakha membuat Naraya tenang di sekitar ibu-ibu ini. Tanpa dapat Naraya tahan, dia juga ikut tersenyum bersama Sakha.

Satu per satu para warga mulai berdatangan. Teras masjid yang tadinya diduduki beberapa orang, kini menjadi ramai oleh warga yang ingin bergotong-royong dalam rangka memperindah tampilan masjid.

Tugas pun dibagi-bagi oleh pak RT. Para lelaki membersihkan bagian yang berat-berat seperti membawa karpet keluar agar dapat dicuci oleh para wanita, mengecat ulang masjid, dan lain-lain yang dirasa sulit untuk ditangani oleh perempuan. Dan yang ringan-ringan seperti menyapu, mengelap kaca, mengepel, ditangani oleh para wanita.

Beberapa orang perempuan juga ditugaskan untuk membawa makanan untuk yang lain.

Naraya bertugas mengelap kaca serta menyiapkan makanan, sementara Sakha yang tampak kebingungan itu dijadikan bahan bercandaan dan akhirnya dia pun disuruh untuk mengecat ulang dinding masjid.

"Mas Sakha ganteng banget ya, mbak."

Naraya yang sedang memperhatikan Sakha mengecat pun menoleh menatap Tissa–anak Bu Wati, "Iya," jawab Naraya seadanya.

Tissa itu dua tahun di bawah Naraya. Termasuk salah satu gadis paling cantik di RT ini. Bukannya mau sombong, tapi Naraya juga salah satu atau mungkin perempuan paling cantik di RT ini.

"Cocok banget sama mbak. Yang satu cantik yang satu ganteng."

Naraya hanya tersenyum. Dia sedang sibuk menyusun kue dan minuman di meja.

"Omong-omong mbak Nara kan nggak pernah kelihatan bawa cowok ke daerah ini, kok bisa tiba-tiba nikah sih mbak?" Tanya Tissa penasaran.

Ini adalah pertanyaan yang selalu Naraya hindari. Ah, sudahlah, dia jawab asal-asalan saja. "Iya, dia datang dengan niat mau serius. Aku juga single. Jadi nggak apa-apa kan?"

Tissa tampaknya percaya saja dan itu membuat Naraya bernafas lega.

"Andai aja mas Sakha belum nikah duluan sama mbak Nara, pasti udah aku pepet." Tissa tertawa.

Tapi tidak dengan Naraya, perempuan itu terdiam. Meski Tissa berkata dengan nada bercanda tapi entah mengapa kesannya itu serius. Dan Naraya tidak suka. Bukannya cemburu, hanya saja ada sesuatu yang membuatnya tidak sreg dengan perkataan Tissa.

Naraya tidak mengacuhkan ucapan Tissa lagi, dan untungnya Tuhan seperti ingin membantu Naraya dengan membuat orang-orang istirahat.

Sakha datang dengan wajah cerah juga dengan tubuh yang basah karena keringat. Dia duduk di samping Naraya membuat orang-orang menatap mereka dengan tatapan usil.

"Berduaan terus nih."

"Mentang-mentang pengantin baru,"

"Jangan nempel terus gitu, ah. Masih ada yang jomblo, nih."

Dan sautan-sautan dengan nada lucu lainnya yang membuat pipi Sakha dan Naraya bersemu kemerahan. Padahal mereka hanya duduk berdua lalu dimana letak kesalahannya?!

Bu Wati berdecih sinis, "Kemarin aja ngakunya nggak kenal." Sindirnya dengan nada kecil. Ya, meskipun suaranya kecil, tapi cukup membuat orang-orang menatapnya dengan heran.

"Bu Wati!" Tegur pak RT.

Bu Wati pura-pura tidak peduli. Tapi sindirannya cukup membuat Naraya membeku. Sakha yang menyadari ada yang aneh dengan Naraya pun langsung menggenggam tangan perempuan itu. Lagi-lagi dia memberikan senyuman teduhnya.

Suasana yang awalnya canggung kini perlahan mencair dengan candaan-candaan yang dilontarkan para bapak-bapak. Naraya tidak tahu dimana letak lucunya, tapi candaan itu cukup untuk membuat Sakha tertawa terbahak-bahak.

"Oh iya, tadi mas Sakha ngelukis, lho. Lukisannya cantik banget!" Ucap mas Joko pada warga lainnya.

"Iya!" Bapak lain menyetujuinya, "Bagus banget! Mas Sakha nggak mau jadi pelukis?"

Sakha tampak malu-malu, "Itu cita-cita saya dari kecil, pak."

Naraya dapat menatap binaran cahaya dari mata Sakha saat ini. Perempuan itu terdiam, antara merasa terpukau dan juga kagum. Diusia seperti ini, Sakha masih setia pada cita-citanya. Tapi disaat yang bersamaan, Naraya merasa dia tidak tahu apapun tentang Sakha. Bagaimana bisa dia mengetahui kalau Sakha sangat suka melukis dari orang lain?

Sakha kembali menatap Naraya, "Kamu mau aku lukis?" Tanyanya dengan berbisik.

Perempuan itu mengangguk pelan, "Lukis kita berdua, ya." Naraya langsung menutup mulutnya saat menyadari kata apa yang keluar dari mulutnya.

"Lupain!" Katanya cepat.

Sakha tak paham, wajahnya tampak polos, "Kok lupain, sih. Ayo aku lukis kita berdua."

Mendengar itu Naraya langsung mendongak menatap Sakha. Anehnya, jantung Naraya berdebar-debar sekarang. Padahal hanya sebuah lukisan.


next chapter
Load failed, please RETRY

Presentes

Presente -- Presente recebido

    Status de energia semanal

    Rank -- Ranking de Poder
    Stone -- Pedra de Poder

    Capítulos de desbloqueio em lote

    Índice

    Opções de exibição

    Fundo

    Fonte

    Tamanho

    Comentários do capítulo

    Escreva uma avaliação Status de leitura: C17
    Falha ao postar. Tente novamente
    • Qualidade de Escrita
    • Estabilidade das atualizações
    • Desenvolvimento de Histórias
    • Design de Personagens
    • Antecedentes do mundo

    O escore total 0.0

    Resenha postada com sucesso! Leia mais resenhas
    Vote com Power Stone
    Rank NO.-- Ranking de Potência
    Stone -- Pedra de Poder
    Denunciar conteúdo impróprio
    Dica de erro

    Denunciar abuso

    Comentários do parágrafo

    Login