Baixar aplicativo
71.42% My Journey In This Universe Of Magic / Chapter 5: No Place For Run

Capítulo 5: No Place For Run

"Pilar kekuatan enam sisi?" Wajahnya menampakkan kekecewaan, melihatku dengan tatapan tidak percaya. "Kina ... sebenarnya apa saja yang kamu persiapkan sebelum mengikuti tes ini? Maaf kalau aku sedikit kasar, tetapi kamu benar-benar terkesan seperti orang yang tidak tahu apa-apa." Jujur saja, ingin sekali aku membungkam mulutnya yang seenaknya berbicara seperti itu. Namun dia tidak salah, dan faktanya adalah memang benar aku tidak mengetahui apapun tentang ujian ini.

"Kamu kasar sekali Anna, hatiku terasa sakit." Sepertinya Anna tidak terlalu mempedulikan keluhanku, dan mendekatkan wajahnya padaku seolah mencari sesuatu yang tersembunyi di sana. "Aku tidak menyembunyikan apapun Anna, kamu tidak perlu terlihat penasaran seperti itu." Tetapi Anna tidak menjauhkan wajahnya dari wajahku.

"Aku sungguh tidak tahu soal ujian ini, Anna. Karena sebenarnya aku memang hanya diperintah olehnya untuk masuk ke asrama ini." Dan dengan kalimat itu, Anna menghentikan langkahnya. Saat ini, kami sedang berjalan untuk kembali ke dalam ruang ujian guna mendapat informasi tentang ujian yang diucapkan oleh Anna. Hausmangarten Monohexia, atau pilar kekuatan enam sisi. Sebenarnya aku masih sangat ingin untuk duduk berdua dengan Anna sambil memakan roti yang aku belikan untuknya, pasti sangat menyenangkan. Tetapi sayang sekali, harapan itu harus terbuang begitu saja ketika muncul suara yang terdengar seperti orang sedang marah muncul melalui pengeras suara yang berada tak jauh dari tempatku dan Anna duduk sebelumnya, mengatakan kalau para peserta ujian diharuskan untuk segera memasuki ruang ujian untuk mendapatkan penjelasan lebih lanjut tentang ujian yang akan dilaksanakan selanjutnya. Aku tidak bisa membayangkan wajah peserta yang lain ketika mengetahui kalau ujian selanjutnya adalah ujian untuk menguji kekuatan yang dimiliki masing-masing peserta. Untung saja, aku bersama Anna, yang sudah memberitahuku terlebih dahulu tentang itu, walaupun itu tidak terlalu membantu, tetapi setidaknya aku bisa mempersiapkan diri untuk mengalami kekalahan.

"Kina ... mengapa kamu mengakau tidak memiliki kekuatan apapun? Semua yang terlahir di dunia pasti memiliki kekuatan, atau begitu yang aku pelajari sejak kecil dari buku atau cerita di sekolah." Aku mengerti dengan kebingungan yang Anna rasakan. Sejujurnya, aku pun begitu. Ketika terbiasa untuk melihat orang lain memiliki kekuatan yang dapat mereka banggakan kepada teman ataupun orang tua mereka, aku tidak memilikinya. Perpisahan dengan nenek, perginya Ibu, serta kebencian yang diberikan oleh pria itu, semuanya karena aku yang tidak memiliki kekutana seperti orang lain pada umumnya. Aku berbalik, menatap dirinya yang terdiam di sana melihatku dengan penuh harap bahwa aku akan menjawab yang sejujurnya tentang hal itu, namun yang tidak dia ketahui adalah aku sudah mengatakannya dengan jujur sebelumnya. Sepertinya bagi Anna, jawabanku sebelumnya adalah suatu lelucon yang tidak lucu. "Aku ... tidak tahu, Anna. Tetapi aku tidak berbohong soal itu, aku tidak memilikinya."

"Kina ... mengapa kamu menangis?" Apa? Aku ... menangis? Tidak, tidak mungkin. Tidak begitu ... aku tidak berniat untuk menangis, tetapi mengapa tidak mau berhenti. "Tidak ... tidak apa-apa, Anna. Aku hanya, tiba-tiba saja ada hal yang tidak menyenangkan masuk ke dalam pikiranku."Anna mendekat, berjalan ke arahku dengan tatapan iba. "Kalau begitu, tidak perlu dipikirkan. Maafkan aku, Kina, karena aku bertanya seperti itu sampai membuatmu menjadi seperti ini" Tangannya yang halus menyentuh pipiku, menghapus jejak air mata yang ada di sana. Aku tidak menyalahkannya yang membuatku kembali mengingat soal itu, tetapi aku juga tidak bisa mengabaikan fakta bahwa dia yang menyebabkannya. Aku hanya ... aku tidak mengerti. "Jangan meminta maaf, Anna, kamu tidak salah." Suaraku terdengar sangat parau, entah bagaimana sentuhan Anna membuatku ingin melepaskan semua yang menjadi alasanku menangis.

Tidak pernah aku menyangka pertemuanku dengannya dapat membuatku merasakan banyak hal yang tidak pernah aku sadari. Perasaan kesal dan suka, perasaan iba dan juga luka, semua diberikan oleh Anna dalam pertemuan kami yang terbilang singkat. Anna Hashimata, gadis lugu yang sempat aku benci kini bahkan terasa sangat dekat seolah rasa benci itu tidak pernah ada. Sungguh permainan takdir yang sangat membingungkan. Dia datang tanpa diundang, memberikan aku warna yang telah lama aku lupakan. Dia seperti ... Ibu. Dia mirip sekali dengannya. Bodoh, apa yang aku pikirkan. Sudah jelas dia bukan dirinya, tetapi rasanya sangat hangat.

"Kina ...." Dia membawaku ke dalam peluknya, memberikan kehangatan yang lebih daripada sebelumnya. Aku membenamkan wajah di sana, tangisku pecah, tidak lagi dapat aku menahannya untuk tidak keluar. Dengan sesenggukan, aku memanggil namanya berulang kali, Anna ... Anna, dengannya memberikan jawaban aku ada di sini Kina, dalam setiap namanya yang aku sebut. "Tidak apa Kina, menagis saja sebanyak yang kamu mau sampai pikiranmu tenang." Aku hanya diam, tetapi sangat besar rasa terimakasih yang terucap untuknya di dalam hati.

Anna ... terimakasih. Aku sangat berterimakasih.

Waktu berlalu tanpa aku tahu sudah berapa lama aku berada di dalam peluknya. Tangisku sudah berhenti, atau mungkin aku yang mencoba menghentikannya karena merasa tidak enak hati kepada Anna meskipun dirinya telah memberikan tempat untukku mengeluarkannya. "Apa kamu sudah merasa lebih baik, Kina?" Bagaimana aku harus menjawabnya, apakah aku sudah merasa lebih baik? Aku bisa menjawab aku sudah lebih baik, namun tidak, aku tidak yakin akan hal itu. Tetapi Anna sangat perhatian padaku, aku harus bisa terlihat sudah lebih baik, atau Anna akan kembali merasa bersalah dan aku tidak ingin membuatnya seperti itu. "Aku sudah lebih baik, Anna. Terimakasih." Aku menegakkan wajahku, membuat Anna melepaskan pelukannya padaku. Aku menjauhkan tangannya dari pipiku, membersihkan air mata yang tersisa di mataku dan menggenggam tangannya. "Tidak perlu merasa bersalah, Anna. Aku tidak apa-apa, seharusnya aku yang meminta maaf karena harus membuatmu khawatir seperti ini."

Tidak apa Kina, tidak apa. Setidaknya, tidak kali ini.

Wajahnya terkejut ketika senyum mengembang pada bibirku, raut wajahnya menampakkan rasa iba dan juga kecewa.

Sepertinya senyumku terlihat sangat dipaksakan sampai dia membuat wajah seperti itu.

"Kina ... kamu tidak perlu berpura-pura seperti itu." Aku terdiam menggenggam tangannya. Kata-katanya menusuk tajam bagaikan pisau yang diasah untuk membunuh mangsa. Apakah aku berpura-pura? Aku tidak mengetahuinya. Aku hanya ... terlarut dengan masa lalu melalui pertanyaan yang dikatakan olehnya. Aku ... aku tidak mengerti. Mengapa semakin aku ingin melupakannya, semakin sulit untuk masa lalu itu menjauh.

"Kina?" Bagaimana aku harus memberikan jawaban kepada Anna. Aku tidak ingin dia terlalu memikirkannya, tetapi aku ingin dia memikirkanku. "Maafkan aku, Anna. Aku tidak baik-baik saja, kamu benar. Seharusnya aku tidak perlu berpura-pura seolah kondisiku sudah lebih baik. Tetapi, aku juga tidak ingin kamu terlalu memikirkannya, Anna. Aku memang tidak baik-baik saja, tetapi aku bisa menjaga diriku untuk tidak terlalu jauh memikirkannya."

"Semua karena pertanyaanku ya?" Wajahnya tertunduk menyadari kalau pertanyaan yang dia tanyakan menyebabkanku menjadi seperti ini. "Aku ... semua karena pertanyaanku itu, benar kan? Kina."

"Tidak, jangan menyalahkan dirimu sendiri." Aku tidak menyangkalnya, bahwa pertanyaan Anna yang membuatku teringat dengan semua memori itu. Tetapi aku tidak bisa menyalahkannya, setelah semua yang dia lakukan untuk membantuku. "Anna, sudah aku bilang padamu, jangan menyalahkan dirimu sendiri." Aku menggenggam tangannya sedikit lebih kuat, membuat wajahnya yang sempat tertunduk kini menatap ke arahku. "Jangan seperti itu, aku tidak apa-apa."

"Kina ...."

"Jangan memperlihatkan wajah seperti itu lagi, ya?" Aku mohon padamu, jangan memperlihatkan wajah seperti itu lagi. Aku tidak membencimu, tidak lagi menyalahkanmu. Aku ... menyukaimu, sebagai teman pertamaku. "Kina ... aku mengerti. Kalau begitu, kamu juga jangan memperlihatkan senyum yang seperti itu lagi kepadaku, ya?"

"Bagaimana, apa senyumku sudah lebih baik?" Anna tertawa membuatku bingung dengannya. Apa ada yang lucu dari senyumku? Padahal aku ingin membuatnya terpana dengan senyumku, tetapi mengapa aku yang ditertawakan. "Kina, senyum apa itu?" Ada yang salah dengan senyumanku? Mengapa? Aku tersenyum seperti biasa, menggunakan kedua tangan untuk menari sudut bibir supaya membentuk lengkung yang menurutku sudah dapat dikatakan sebagai sebuah senyuman. "Aku tidak bisa tersenyum, jadi begini saja. Setidaknya aku tidak terlihat memaksakan senyum, benar?"

"Kina ... senyum itu, seperti ini." Waktu serasa berhenti kala tangannya menyentuh kedua tanganku yang berada di sudut bibir, senyumnya yang manis, pandangan matanya yang berbinar memberikan hangat, ini ... sebuah perasaan yang membuatku ingin dia ada bersamaku. "Lihatlah aku, Kina. Senyum itu, haruslah datang dari hatimu, yang bahagia ketika melihat sesuatu yang membuatmu merasakan ketenangan dan juga kebahagian." Kalau bahagiaku adalah ketika kamu ada di dekatku, apa aku masih bisa mempertahankannya? Anna, kamu harus berhenti melakukan hal seperti ini atau aku benar-benar tidak bisa membiarkanmu pergi jauh dari hidupku.

"Aku mengerti, Anna." Aku melepaskan tanganku pada sudut bibirku, memegang kedua tangan Anna dan membawanya ke dalam rengkuhan dada. "Aku ... akan mencoba untuk tersenyum dengan perasaanku yang sebenarnya lain kali." Hembusan angin menerpa, mengurai rambut panjangku. Anna ... tersipu. Pipinya merona merah. "Cantik sekali."

"AH, TIDAK. AKU TIDAK BERMAKSUD BEGITU."

"Tidak bermaksud apa, Anna?" Aku mendengarnya. Dia mengatakan cantik sekali kepadaku. Aku senang, tidak, aku bahagia. Fakta bahwa dia mengatakannya secara tidak sadar dan keluar dari mulutnya begitu saja membuatku merasa semakin bahagia. Seperti banyak orang bilang tentang kejujuran, sebuah kata yang terucap tanpa sadar adalah sesuatu yang sebenarnya mereka rasakan.

"T-tidak, lupakan saja." Dia sangat lucu kalau menolak dengan malu-malu seperti itu.

"Jadi, bagaimana kalau kita pergi sekarang?" Aku mengulurkan tangan padanya, yang disambut baik dengan tangannya yang menerima uluran tanganku. "Ayo, Kina." Dan dengan begitu, kami pun melanjutkan langkah kami menuju ruang ujian. Menyusuri koridor yang sebelumnya ramai namun sekarang menjadi sunyi karena mungkin hampir setiap peserta yang mengikuti ujian masuk sudah kembali ke ruang ujian mereka masing-masing. Ya, hanpir, karena tidak jarang juga aku melihat beberapa peserta, atau yang aku yakini sebagai peserta ujian masih berada di koridor untuk sekadar mengobrol atau mengamati arsitektur abad pertengahan yang dimiliki oleh asrama ini. Saat ini aku dan Anna sedang berada di koridor dalam asrama, cukup berbeda nuansa yang diberikan pada saat kami berada di koridor luar, tempat di mana kantin dan juga pertemuanku dengan Anna Arina. Semakin jauh kami melangkah, semakin sedikit orang yang terlihat masih berada di koridor. Sedikit seram kalau aku bisa mengatakannya, karena dengan asrama yang sangat besar dan nuansa abad pertengahan yang diberikan, serta hanya ada aku dan Anna di tengah semua ini, rasanya sangat mustahil kalau aku tidak merasa khawatir.

"Kina, rasanya sepi sekali ya?" Aku juga berpikir begitu namun tentu saja karena pasti semua sudah mulai masuk ke dalam ruang ujian mereka masing-masing. Atau begitulah cara agar aku bisa sedikit menenangkan diri dan tidak panik dengan suasana yang aku rasa sedikit tidak menyenangkan ini. "Pasti semuanya sudah masuk ke dalam ruang ujian Anna. Kalau begitu, kita harus cepat untuk segera masuk ke—" Suara itu, suara yang sangat cantik itu, kembali. Alunannya seperti memanggil, aku menatap mata Anna dengan tatapan yang cukup antusias, karena kali ini, aku akan membuktikan tentang organ dan wanita itu kepadanya. "Anna, kamu dengar."

"Aku bisa mendengarmu dengan jelas, Kina. Mengapa?" Sudah aku duga akan seperti ini. "Anna ... ikut aku, sebentar saja." Aku akan menunjukkan padamu Anna, bahwa aku tidak berbohong saat itu. Dan akan aku bongkar kalau kamulah yang saat itu sedang mencoba untuk mengerjaiku karena kamu kesal padaku. Dia menunjukkan penolakan saat aku mencoba untuk menarik tangannya, menampakkan wajah yang penuh dengan keheranan. "Kina, apa yang kamu lakukan? Kita harus segera masuk ruang ujian sekarang."

"Ikut saja, ya?" Penolakan masih datang dari Anna, namun aku tetap menariknya. Tidak butuh waktu lama, aku yakin sekali. "Tidak akan lama, sebentar saja." Anna pun mengikuti kemauanku, membiarkanku menarik tubuhnya hingga kami sampai pada bagian tepi lantai dua yang diberikan pembatas pada besi di sekelilingnya untuk mencegah perbuatan bodoh seperti melompat ke bawah untuk melihat apakah mereka kebal dan tidak akan mati atau hal serupa. Tidak, itu tidak pernah terjadi, namun segala kemungkinan layak untuk dipirkan, benar?

"Bagimana, penampilannya indah, bukan?" Aku menunjuk ke arah wanita itu, wanita dengan pakaaian terbalut wana putih, duduk memainkan organ berwarna emas yang setelah aku melihatnya untuk yang kedua kali, tidak terlalu mengkilat namun keelokannyaa masih sangat jelas menembus mata. Aku pandangi Anna, wajahnya seperti mencerna sesuatu yang rumit. Aku harap ia menikmati penampilan organ yang diberikan oleh wanita itu. "Bagaimana, Anna. Sudah aku katakan aku tidak berbohong tentang itu." Anna tidak memperhatikan aku berbicara dan terus menatap ke bawah, atau yang dalam penglihatanku, dia sangat fokus dengan permainan wanita itu.

Datanglah, hanya Engkau yang bisa.

Wahai hati yang merindu kasih.

Bagai malam tanpa terang bulan.

Engkau datang dalam gundah.

Dan pergi tanpa cerita.

Kembalilah, Engkau Yang Merupa.

Kembalilah, Engkau Yang Merupa.

Kembalikan Nirwana kami yang Engkau bawa ke angkasa.

Wanita itu, menatapku, tepat saat tuts dari organ tersebut berhenti ia tekan. Menyingkap rambut panjang hitam miliknya, dia menatapku dengan hangat, seperti sebuah perasaan senang yang dipancarkan dari tatapan matanya padaku. Diiringi dengan senyum, mata kami bertemu cukup lama namun masih dalam jangkauan detik, sebelum akhirnya dia berdiri dan seolah mengucapkan selamat tinggal, ia membungkuk dan pergi meninggalkanku dengan hati yang merasa terganggu dengan itu. Mengapa dia membungkuk seperti itu? Aku tidak mengenalnya, begitupun dia yang tidak mengenalku. Aku tidak lebih tua, dan dia tidak lebih muda dariku, seharusnya aku yang membungkuk padanya untuk berterimakasih atas penampilan cantiknya, namun mengapa yang terjadi sangat berkebalikan dengan yang seharusnya? Tidak, tidak ada waktu untuk memikirkan itu sekarang. Penampilannya sangat memukau, membuatku yakin Anna akan senang dengan hal ini.

Terimakasih, kepadamu yang menerima kisah.

Terimakasih, kepadamu yang mengutarakan kisah.

"Bagaimana, Anna? Penampilannya bagus, bukan begitu?"

"Penampilan apa? Apa Kina? Kamu berhalusinasi lagi?" APA? TIDAK MUNGKIN. Suasana saat ini sangatlah sepi, jadi sangat mustahil baginya untuk tidak mendengarkan lantunan musik yang dimainkan oleh wanita itu. Lalu, bagaimana dengan dia yang terlihat fokus menikmati pertunjukkan tadi? "Aku sedang berusaha fokus untuk bisa mengikuti imajinasimu, tetapi sekeras apapun aku mencoba, aku tidak bisa membayangkan organ dan juga wanita yang kamu katakan sebelumnya, Kina." TIDAK MUNGKIN. JADI DIA MENGIRA AKU BERIMAJINASI DAN MENCOBA MENIRUNYA? SELAMA INI?

"Anna, bercandamu sangat tidak lucu. Aku tidak mengada-ada, di sana, organ berwarna emas itu, dan juga wanita itu, sekarang dia sudah pergi."

"Kina ... aku akan kembali lebih dahulu ke ruangan. Kamu bisa menyusulku kalau imajinasimu sudah selesai kamu buat dan nikmati." Dia benar-benar pergi, masih dapat kulihat namun dia benar serius meninggalkanku di sini. Aku tidak bercanda, musik itu, kata yang disampaikan olehnya, yang diiringi oleh tuts itu benar adanya. Mengapa Anna tidak bisa melihatnya. Bahkan di sana, organ itu, disinari oleh cahaya matahari yang seolah menyorot padanya. Aku tidak mengerti, benar-benar tidak mengerti. Lantunan itu, terdengar berbeda. Rasanya, kehangatana dan perasaan rindu yang aku rasakan saat pertama kali mendengarnya, tidak ada pada saat tadi aku mendengarnya untuk yang kedua kali. Rasanya ... seperti sebuah kesedihan dan kekecewaan yang dalam terhadap seseorang, bahkan setiap kata yang ia lantunkan bersamaan dengan permainannya memperlihatkan rasa kecewa yang sangat jelas. Apa yang sebenarnya dimainkan oleh wanita itu kali ini?

"Anna, tunggu aku." Dan akupun berlari menyusulnya. Dalam kesempatan lain, apabila aku bertemu dengannya, aku akan menanyakannya, kepada wanita itu. Tidak butuh waktu lama dari aku yang menyusul Anna, kami pun sampai di depan ruangan. Pintu yang tertutup membuat kami seperti dihadapkan dengan situasi yang tidak menguntungkan. Aku dan Anna saling tatap, seperti mengerti dengan apa yang akan terjadi, kami pun secara bersama menggenggam gagang pintu.

"Anna."

"Kina." Bersamaan dengan itu, kami pun membuka pintu perlahan dan sedikit terkejut mengetahui bahwa tidak ada pengawas yang berada di dalam ruangan. Ingin bernapas lega dari pemikiran bahwa kami berdua akan diberikan hukuman, sekumpulan orang menjadi sangat ricuh. Beberapa di antara mereka berteriak, bergerak menjauhi apa yang nampaknya sedang terjadi dibelakang ruangan. "Anna, kira-kira ada apa di sana?" Namun wajah Anna tidak menampakkan ekspresi apapun saat aku menanyakannya. Sepertinya ia mengetahui sesuatu, begitupun denganku yang dapat menyimpulkan bahwa sesuatu yang buruk sedang terjadi di sana. Tidak, itu bukan teriakan karena sebuah kejahilan. Bukan begitu. Itu seperti ... berteriak karena melihat sesuatu yang cukup mengejutkan atau menakutkan. Aku melihat ke arahnya, ia ... marah. Wajahnya menampakkan amarah pada sesuatu yang ada di belakang sana, dan aku yakin sekali apa yang aku pikirkan adalah penyebab mengapa Anna sampai seperti itu.

"Kina, ayo kita pergi."

"Tetapi ujiannya?" Aku tahu ini bukanlah saat yang tepat untuk menanyakan hal bodoh seperti ini, tetapi kalau ternyata dugaanku salah dan yang terjadi di belakang sana tidak lain hanyalah sebuah kejahilan belaka, maka sakan sangat merugikan untukku dan juga Anna kalau kami meninggalkan ruangan hanya karena sebuah intuisi dan persepsi yang tidak pasti hasilnya.

"Tidak ada pengawas, Kina. Sebaiknya kita pergi sebelum terjerumus ke dalam sesuatu yang tidak kita mengerti." Aku tahu tentang itu, tetapi apakah memang hal buruk yang terjadi di belakang sana? Raut wajahnya benar-benar berubah saat mengatakan hal itu. Seolah Anna yang aku kenal, menghilang begitu saja. Tidak ada lagi aura yang menunjukkan betapa imut dan lucu dirinya, tidak ada lagi gadis berkacamata yang polos dan juga lugu. Aku tidak melihatnya, Anna menjadi sangat berbeda. Dia menjadi ... sangat dingin dan seperti tidak memiliki perasaan selain emosi yang menyelimuti tubuhnya.

Tawa terdengar menggema dari belakang sana, sesosok pria bertubuh besar dengan darah yang terdapat pada tangannya perlahan muncul dengan memancarkan aura membunuh yang sangat kental. "Aku tidak suka dengan tatapan itu." Dari perawakannya saja, aku sudah bisa yakin sekarang kalau apa yang ada di hadapanku, dan apa yang sebelumnya terjadi di belakang sana adalah sesuatu yang sangat buruk. 

"Aku juga bisa mengatakan hal yang sama padamu." Anna mengambil langkah maju, namun aku menahannya. "Anna, apa yang kamu lakukan? Kalau seperti ini, sudah jelas saatnya kita untuk kabur seperti apa yang kamu katakan sebelumnya." Dia ... tersenyum. Reaksi macam apa itu? Bagaimana bisa dia tersenyum saat apa yang aku anggap sebagai bahaya yang dapat mengancam nyawa berada depan sana.

"Kina ... tidak apa. Aku akan menjagamu." Menjaga? Jangan bercanda. Aku memang tidak tahu kekuatan apa yang dimiliki oleh Anna, tetapi melihat bagaimana perbandingan tubuhnya dan orang itu sangatlah mustahil untuk bisa meyakini bahwa Anna bisa melindungiku dari orang itu.

"Hukum di asrama ini mengatakan untuk mengutarakan hal yang tidak disukai dari seseorang kepada orang tersebut, maka akan dilakukan dengan sebuah pertukaran serangan." Pria itu bergerak maju, meninggakan kerumuman yang ada di belakang ruangan, menendang dan juga meninju semua kursi serta meja yang menghalangi jalannya dan mendekat ke arahku dan juga Anna.

"Tatapanmu, kau tidak senang dengan tindakanku bukan?" Anna hanya diam menatap pria itu tanpa bergerak sejak aku menahan langkahnya.

"Kalau begitu ...." Dalam satu gerak cepat, pria itu melompat ke arahku dan juga Anna dengan tangan yang terkepal kuat membentuk sebuah tinju. "Aku cukup menghancurkanmu saja."


next chapter
Load failed, please RETRY

Status de energia semanal

Rank -- Ranking de Poder
Stone -- Pedra de Poder

Capítulos de desbloqueio em lote

Índice

Opções de exibição

Fundo

Fonte

Tamanho

Comentários do capítulo

Escreva uma avaliação Status de leitura: C5
Falha ao postar. Tente novamente
  • Qualidade de Escrita
  • Estabilidade das atualizações
  • Desenvolvimento de Histórias
  • Design de Personagens
  • Antecedentes do mundo

O escore total 0.0

Resenha postada com sucesso! Leia mais resenhas
Vote com Power Stone
Rank NO.-- Ranking de Potência
Stone -- Pedra de Poder
Denunciar conteúdo impróprio
Dica de erro

Denunciar abuso

Comentários do parágrafo

Login