Ah, ya sudahlah... memang dirinya bisa apa. Renji tak mungkin melepaskannya sekalipun bisa menghentikan sentuhan menggebu pria ini.
"Ya, Ren. Terserah saja apa maumu..." kata Haru pada akhirnya. Dan malam itu, sekali lagi dia menyambut genggaman Renji di sela jemarinya. Terasa hangat. Sangat hangat. Pun semua itu jadi sempurna setelah mereka bersatu hingga nyaris pukul satu pagi.
Haru terengah. Nafasnya masih berhamburan tanpa arah kala Renji menaikkan dagunya lembut.
"Kau sudah lelah...?"
"Ya..."
"Bohong lagi."
Kelopak Haru jadi turun perlahan seiring waktu.
"Tolonglah... aku mengantuk..." keluh Haru. Dia memukul bahu Renji yang sudah licin oleh peluh. "Bisa kita lanjutkan lain kali? Kau bisa menyentuhku kapanpun, bukan..."
"Tidak."
"Ren..."
Haru mengeluh tapi tak benar-benar melawan. Dia terlihat pasrah setelahnya. Hanya berbaring, dengan raut muka berkerut-kerut dan mencoba mengatur nafasnya sendiri.
"Cih..."
Renji sempat kesal dan mendadak bergerak lagi. Haru pun tersentak kaget tapi hanya berteriak sebentar sebelum memberikan cakaran di bahunya. Sepuluh menit kemudian... Renji baru melepaskan pria itu dalam satu hentakan. Dia marah. Dari yang biasanya memberi kecupan terakhir atau pelukan selama tidur, dia justru tidur memunggungi Haru begitu saja.
Sebenarnya siapa yang kejam ke siapa.
Jika ini adegan dalam komik, tokoh Renji pasti sudah dimaki-maki para pembaca. Mereka tidak tahu, bahwa pukul dua pagi Haru membuka mata dan beringsut ke pinggir ranjang pelan-pelan. Dia menggapai tiap pakaian yang tercecer hati-hati. Sebisa mungkin tidak membuat suara yang akan membuat Renji bangun.
Dua menit berpakaian asal, Haru bahkan tidak menggunakan sandal lantainya hanya demi jalan keluar seperti pencuri.
"Jangan pergi," kata Renji. Yang menggamit tangan kirinya masih dengan mata terpejam. Haru yang akan mengambil ponsel di atas nakas langsung terbeku di tempatnya.
"Kubilang aku tahu kau berbohong..."
Haru pun menghela nafas panjang. Sudah ketahuan, sekalian saja masuk ke dalam tungku api. "Ren, jangan begini..." katanya. Dia berjongkok di depan Renji dan membelai lembut leher pria itu. "Aku harus pulang sekarang, mengerti?"
"Tidak samasekali."
Renji justru membawa tangan itu dekat dan mengecup telapaknya beberapa kali.
Haru tampak bingung. Belaiannya berpindah tempat ke rambut Renji. "Aku suka kau yang manja begini," katanya. Dengan senyuman tipis yang ditahan. "Tapi bukan sekarang, oke?"
"Kapan?" tanya Renji. Kali ini matanya terbuka pelan-pelan. "Bukankah kau selalu bisa kepermainkan?"
Senyum masam Haru pun dibebaskan. "Ya, harusnya," jawabnya dengan raut tampak menyesal. "Tapi kali ini istriku sungguh butuh aku."
"Begitu," gumam Renji. "Kupikir karena anak keduamu juga ikut ulangtahun."
"Tentu saja tidak."
"Memang kenapa wanita itu?" tanya Renji. "Bukankah dia tahu kau milikku?"
Haru pun gemas. Dia memeluk kepala Renji ke dadanya. Tak peduli aroma pejuh sarat dari tubuh mereka berdua, dia tahu Renji tak akan protes sedkit pun.
"Tahu. Sangat tahu. Tapi setelah pesta kemarin dia bilang padaku terkena kista ovarium," kata Haru pelan. Kali ini tak ada lagi sandiwara atau apa. "Dia harus menjalani operasi pengangkatan besok pagi, Ren. Aku tak tega meninggalkannya sendirian. Apalagi Sheila dan Sherly tidak diawasi siapapun. Mereka berdua hanya tidur di atas sofa rawat inap dan berkeliaran di rumah sakit begitu kutinggal menyusulmu."
"Oh... jadi selain subur dia juga penyakitan saat ini?"
"Apa?"
Renji menggenggam tangan Haru yang semula dikecupnya. Tetap menahan pria itu tidak pergi. "Padahal 80% waktumu dihabiskan bersamaku. Bagaimana bisa dia selalu hamil tiap kali kau menidurinya?"
Haru pun kehilangan kata-kata.
"Ren, bukan maksudku—ah... tapi kan—"
"Sangat disesalkan kau sudah menikah waktu aku pulang dari California," kata Renji. Lalu tertawa. "Haha... kenapa hidupmu buru-buru sekali, hm? Apa dulu wanita itu tidak lihat kau masih muda?"
Haru meneguk ludah. "Bukankah sudah kubilang waktu itu adalah kecelakaan?" tanyanya retoris. "Jadi jangan mulai lagi..."
Renji menatap mata Haru. "Kau tidak ingin tes darah lagi?" tanyanya. "Wanita itu bisa jadi membohongimu."
Haru menggeleng. "Mana ada," katanya. "Aku bahkan pernah donor darah untuk Sheila. Lalu bagaimana Sherly juga ikut kau curigai?"
"Insting."
"Hanya insting?" kaget Haru. "Kau pikir kau hewan buas sampai merasa punya insting yang akurat?" katanya tak habis pikir. "Kau tahu kan... aku tak mungkin mengabaikan istriku sepenuhnya. Kita menikah. Dan dia mengizinkanku untuk tetap bersamamu. Jika aku tidak bercinta dengannya setiap punya waktu bertemu, bagaimana bisa dia sanggup bertahan hingga sekarang?"
Meski sudah diberi pengertian, Renji tetap saja mendengus. "Bagus sekali... sekarang kau jadi semakin tak bisa meninggalkannya."
"Ren..." gumam Haru. Dia tampak sangat-sangat kesulitan. Di situasi ini, membelai Renji pun terasa menakutkan. "Mungkin kau hanya sedang butuh liburan, hm?"
"Begitu."
"Ya. Dokter bilang kau terlalu stress sampai tak merasa seperti itu," kata Haru. "Jadi dengan liburan, pasti mood makanmu semakin baik dan pikiran beratmu jadi hilang."
"Begitu."
"Akan kuaturkan jadwal liburanmu," tawar Haru. Membujuk. "Kemana? Luar negeri lagi? Atau dalam negeri saja.."
"Kau akan menemaniku?"
Sekali lagi, Haru pun menghela nafas panjang. "Tentu saja tidak, Ren. Tapi tetap akan kusiapkan dua tiket," katanya. Dengan nada bicara dibuat setoleransi mungkin. "Bukankah kalau aku pergi, kau bisa dengan para pelacur? Aku bisa atur penyewaannya sekaligus."
"Membosankan."
Haru pun kehabisan ide bujukan kali ini. Dia menoleh sebentar ke jam yang menunjukkan hampir pukul tiga, lalu ke Renji yang masih saja terjaga.
"Jangan mulai lagi..." kata Haru. "Kau tahu? Sikapmu ini, kalau sekarang, bisa sangat membuatku kepikiran."
"Semakin bagus..."
"Aku mencintaimu, Ren. Kau percaya kan?" tanya Haru tiba-tiba. Dia sudah memerah meski hanya mengatakannya satu kali. Dan meski Renji sudah tahu perasaannya... tetap saja memalukan. Padahal dia tak pernah seperti ini kepada istrinya hingga sekarang.
"Tentu saja."
"Tapi, aku minta maaf," kata Haru. "Kau bisa memilikiku lagi setelah operasinya berjalan baik. Mungkin lima hari saja. Beri aku waktu hingga semuanya benar-benar selesai."
Renji justru menggenggam tangan itu semakin erat. "Tidak," katanya tegas. "Sekali tidak tetap tidak."
"Kumohon..." kata Haru. Kali ini suaranya mulai goyang. "Kali ini saja... ini pertama dan terakhir, bagaimana?"
"Jean sudah pergi, Haru," kata Renji. "Seakarang hanya ada kau disini. Jadi aku atau istrimu. Pilih salah satu."
DEG
"A-Apa?"
Raut Haru langsung pias.
"Sudah paham pertanyaanku, kan?"
"Tunggu—tidak!" gumam Haru panik. "Kau atau istriku...? Ren, tolonglah... kau tidak bisa begini kepadaku. Ini bukan hanya soal kalian berdua. Tapi anak-anak juga sangat butuh aku."
"Sekalipun kau tidak mencintai mereka?" tanya Renji retoris. Dia kembali mencari jawaban dari mata Haru. "Sekalipun yang kau cintai itu aku?"
Mata Haru mulai memanas. "Bisa kau tidak membuat ini makin sulit?" pintanya. "Tidakkah kita bisa seperti biasanya... aku janji kau bisa menggunakanku sebanyak apapun setelah ini."
Renji diam sejenak, sebelum kemudian melepas genggaman itu. "Aku sudah dapat jawabannya," katanya. Membuat Haru tak habis pikir. Lantas meneteskan air mata tanpa sadar. "Bagaimana pun kau takkan pernah bisa meninggalkan keluargamu. Benar, kan?"
"Ren..."
Haru mendekat, Renji menampik.
"Jangan menyentuhku."
Seketika Haru pun merasa tertampar, meski tidak. "Renji—"
"Kubilang jangan menyentuhku!"
Haru tak habis pikir. Renji benar-benar menatapnya nyalang kali ini. Pria itu bahkan duduk dan mendorongnya sangat keras.
"Ren, aku sungguh-sungguh minta maaf..." kata Haru. Dia mengusap air mata dengan punggung tangan meski tak pernah dihinakan seperti itu selama ini. "Tapi sekarang aku benar-benar tak mengerti apa maumu..."
Haru pun mengambil ponsel dan kunci mobilnya sendiri sebelum pergi. Dia sempat berhenti sejenak di depan Renji dan tampak ingin memeluk meski sebentar. Sayang, ketakutannya lebih besar dan tidak jadi.
"Kalau begitu jaga dirimu," kata Haru. "Kuharap tak ada kabar yang lebih buruk begitu bisa kembali nanti."
.
.
.
NB: Saya sarankan membaca author's note juga pada tiap bab. Karena di sana ada hal-hal yang cukup penting untuk diketahui.
Haru mencintai Renji. Renji pun mencintai Haru. Tapi ada kalanya, hati itu lelah untuk mencintai. Tentu kerlalu banyak kekecewaan yang menghujam.
Renji egois, kan? Dia ingin pergi dari Haru hanya karena memiliki istri dan dua anak yang tidak bisa ditinggalkan...
Tapi apa benar-benar egois?
Renji hanya ingin bahagia juga dan tak lagi ditinggalkan seseorang sepenuhnya...