Hari Rabu, merupakan hari ketiga turnamen Smasa Cup. Kami pulang sekolah sekitar pukul 1 siang. Memasuki sore hari, aku meminta ijin pada Mama Papa, untuk menonton turnamen Smasa Cup. Mungkin akan pulang pukul 7 atau 8 malam. Syukurlah aku mendapat ijin, karena aku berangkat bersama Al, Yohan, dan tentunya June. Tak lupa jaket jins aku bawa, dan ku ikat rambutku seadanya. Sekedar mengenakan celana pendek warna hitam, aku dan sahabatku berangkat, menaiki mobil June.
Setibanya di sekolah, aku bertemu Boy dan genk roxette yang terlebih dulu sampai. Tanpa seragam, rasanya mereka semua tampak sangat keren. Ada yang memakai kaos dan celana jins model komprang, ada pula yang memakai setelan kemeja dipadu dengan celana chinos. Tak ku lihat ada kaos merk pasaran dari yang mereka kenakan. Sepatu yang dipakai, mungkin harganya berkisar antara tiga ratus atau empat ratus ribu. Dengan uang sakuku sebulan, dua bulan, atau bahkan tiga bulan, sepertinya hanya mampu membeli sepatu sebelah kiri saja.
Jumlah anggota genk roxette mungkin sekitar 10 orang, atau bahkan lebih. Terdiri atas para cowok senior dari jurusan IPA dan IPS, dan ada satu cewek dari jurusan IPS. Mulanya aku hanya menyapa Boy dan... ku lihat salah seorang dari mereka, yang ku tabrak beberapa hari lalu, siang hari di tengah lapangan basket.
"Mas," sapaku sambil tersenyum.
"Hai Mika, mau gabung?" tanyanya padaku.
"Oh, aku duduk di balkon aja, teman-temanku di sana soalnya."
Aku menolak ajakan Mas, teman si Boy itu. Entah, kenapa hanya dia yang ku panggil dengan sebutan 'Mas'. Sedangkan terhadap Boy, aku langsung saja memanggil namanya tanpa embel-embel apapun. Melihat sosok si Mas itu, aku rasanya sungkan, dia seolah memiliki karisma tersendiri.
Bergegas aku meninggalkan genk roxette yang duduk berkerumun di paving, berhadapan persis dengan ruang laboratorium kimia. Sekilas terdengar kasak kusuk di antara mereka kemudian diselingi tawa. Semoga bukan membicarakan tentang aku, ujarku dalam hati.
***
Dari balkon lantai dua, Al, Yohan, dan beberapa teman laki-laki lainnya telah menata bangku tempat duduk kami menyerupai tribun panjang. Sehingga tempat duduk kami terbilang nyaman dan eksklusif.
Menyaksikan sekali lagi, bagaimana Rio bertanding. Permainannya rapi dan halus. Cekatan sekali dalam mendrible bola dan shoot-nya nyaris tak pernah meleset. Sesekali dia mendapat blocking dari lawannya, tapi bukan Rio namanya, jika tak mampu mengatasi strategi lawan mainnya.
Yohan menyikut tanganku.
"Gimana, habis ini mau nyamperin dia gak?"
"Enggak, buat apa?"
"Lah kan kamu udah dikasi freepas sama dia. Hargai-lah dia sedikit, Mik!"
"Biar dia duluan yang datang, Yo. Aku hanya memenuhi undangannya sebagai penonton,"
June rupanya mencuri dengar percakapan kami lalu menimpali dengan singkat, "Dasar jaim!"
Aku mendengarnya, dan membalas June dengan mendorong kepalanya, disusul tawa keras teman-temanku.
***
PUKUL 7 MALAM
Boy dan beberapa anggota genk roxette menuju balkon tempat aku duduk, kemudian menghampiriku.
"Mika udah malem, ayo pulang, aku anterin yuk!"
Boy masih berusaha mengajakku dan dia belum menyerah untuk kali ini. Pertandingan tersisa 15 menit lagi, dan sudah bukan team Rio yang berlaga. Aku mendadak mengiyakan ajakan Boy. Aku mengangguk dan berdiri, lalu menepuk bahu June, dan mengangkat alisku. June paham apa maksud kode ku.
[Aku pulang duluan ya gaes]
Al menyahut, "kalo gitu, kita bertiga aja ya Mik."
"Iya Al, see you tomorrow gaes."
Pamitku pada mereka bertiga, sembari mengambil jaket jins yang ku letakkan di sandaran bangku. Aku mencium pipi kiri June dengan pipi kananku, tanganku melambai pada mereka.
"Boy, wait! Aku ke toilet bentar."
Tergesa-gesa aku ke toilet, sekedar ingin berkaca karena aku sendiri tak yakin dengan penampilanku malam itu. Di lorong toilet aku berpapasan dengan teman Boy, si Mas yang berambut gondrong, tapi memiliki mata yang teduh.
"Yang di ujung, kosong tuh." Dia menunjuk pada pintu kamar mandi yang paling ujung.
"Oh iya makasi," jawabku datar.
Keluar dari toilet, dengan sedikit menunduk merapikan bagian bawah bajuku, aku merasa ada seseorang berdiri tepat di depanku.
Rio!
Aku menatapnya dalam diam.
"Mik, apa kabar kamu?"
Rio memandangiku, dari atas hingga bawah, mengulanginya lagi, dan sedikit lebih lama menatap pahaku yang terbuka.
Dalam rasa terkejutku, aku tak mampu menjawab pertanyaan Rio. Aku membalas memandanginya. Bertemu lagi dengan Rio, dalam jarak dekat. Mendengar suaranya yang merdu saat berbicara apalagi ketika bernyanyi dan memetik gitar. Sepersekian detik, Rio membekukan pikiranku.
Ya Tuhan, keringatnya masih nampak dengan jelas. Kostum basketnya basah di area dada dan punggung, itu pasti. Rambut lurusnya disibakkan ke belakang. Sisa keringat di dahi dan lengannya belum kering. Jantungku seolah mendapat pompa ekstra kencang. Aliran darahku mentok di kepala, mendobrak hendak menyembur keluar. Mataku tak bisa lepas dari tatapan matanya. Rasanya ingin ku mendekati Rio dan menangis dalam peluknya, menyesali semua emosiku.
Aku teringat, bahwa Boy tengah menungguku di parkiran motor. "Aku pulang duluan."
Ucapku singkat pada Rio dan segera berlalu dari hadapannya. Hati dan pikiranku mulai tidak sinkron. Aku tak boleh berlama-lama seperti itu dengan Rio. Bukankah alasanku memutuskan hubungan dengan Rio, sudah tak bisa ditawar lagi.
"Mika! Mika!" teriak Rio memanggilku dan berusaha menyusulku. Aku mempercepat langkah. Aku tak ingin larut dalam keadaan yang rumit. Dalam hati, pertandingan final nanti, aku tak ingin datang lagi. Ah, bodoh! Saking tergesanya, mengucapkan terima kasih pada Rio pun, aku lupa. Aku kini sudah dalam perjalanan pulang, dengan Boy memboncengku.
***
ESOKNYA DI SEKOLAH
Aku berjalan ke kantin dengan sepupuku, Erika. Kebetulan hari itu June tidak masuk karena sedikit flu. Erika bercerita tentang kakak kelasnya semasa SMP dulu. Saat SMP, aku dan Erika berbeda sekolah. Aku dari SMP 2 Amerta, sedangkan Erika dari SMP 1 Amerta. Kakak kelas Erika itu bernama Radit, menyatakan perasaannya pada Erika.
"Jadi, aku udah gak jomblo lagi sis." Kata Erika menyudahi pemaparannya.
"Ya udah PJ-PJ (Pajak Jadian) lho yaa berarti. Bakso Melati nanti sore. titik." Balasku sambil tertawa.
"Haha.. Woke sister!!"
Kami kemudian tertawa berdua, bercerita tak tentu arah, dengan sesekali menggigit roti bun yang agak gosong. Obrolan kami sampai juga pada bahasan tentang Rio.
"Udah gak mau balikan lagi, Mik?"
"Yakiin. Sudah stop di sini."
"Ya udah kalo gitu. Kita nanti sore jalan bertiga ya, sama cowokku sekalian," kata Erika.
Aku membulatkan jari telunjuk dan ibu jariku. Ku arahkan padanya karena mulutku penuh dengan roti.
Hari itu aku dalam mode good mood. Meski semalam aku bertemu langsung dengan Rio. Tapi justru hatiku sekarang terasa ringan.
Saking cerianya semua teman seangkatan, aku sapa satu persatu. Dengan berjalan setengah melompat seperti kelinci, aku menuju kelas sendiri berpisah dengan Erika karena kelasnya berada di sisi timur gedung sekolah.
"Mika, kok sendirian?"
Seseorang menyapaku dari belakang lalu berjalan cepat menyamai langkahku. Seketika dia telah berada di sebelahku.
"Eh. Mas. Kamu juga sendirian. Tumben."
"Gk papa, emang gk boleh?"
"Kan biasanya jalan rame-rame, Mas?"
"Temen-temenku berisik, ya kan. Haha."
"Enggak mas, biasa aja itu. Aku ngeliatnya seru malah."
Sambil tersenyum kecil aku menanggapi tiap perkataannya. Belum berani aku menatapnya langsung, karena matanya seperti mengandung obat bius.
"Kapan-kapan kamu gabung ya, ikut kita nongkrong."
"Haha.. iyaa Mas diusahakan."
"Oiya, hari minggu ada acara kah?"
"Mm, kayaknya latihan paskibra sih, minggu depan udah tampil."
"Wah semangat ya! Semoga dapat juara mewakili sekolah kita."
"Iya Mas, makasi. Aku naik ke kelas duluan."
Kita berpisah di bawah tangga. Aku meneruskan menaiki step by step tangga. Dia berhenti, menungguku, hingga aku hilang dari pandangannya. Kelasnya berada di bawah, di sisi barat tangga. Berseberangan dengan Boy, yang berada di sisi timur tangga.
Mas yang tadi, siapa ya namanya. Batinku.
Ramah dan ternyata sama baiknya seperti Boy. Aku sempat mengira teman-teman Boy itu adalah cowok-cowok angkuh dan suka memilih pergaulan. Secara, rata-rata dari mereka adalah anak orang berada di kota Amerta. Para orang tua mereka memiliki jabatan dan bekerja di perusahaan elite. Siapalah aku, seorang Mika dari keluarga biasa. Tidak seberapa famous seperti genk roxette. Mentok, Mika hanyalah seorang petugas upacara sekolah tiap hari senin. Seandainya aku bukan anggota paskibra, pasti.. semakin tak ada yang kenal denganku.
***
HARI MINGGU, LATIHAN LOMBA PASKIBRA YANG TERAKHIR DI SEKOLAH
Push up 10x
Skodjam 10x
Lari keliling lapangan 3x
Seperti itu pemanasan sebelum memulai latihan. Pelatih hari ini, kita mengundang ketua FOKA (Forum Paskibra) Kota Amerta.
"Latihan terakhir ya, kita santai aja, jangan mikirin menang atau kalah. Yang penting kita berikan yang terbaik untuk Smasa kita." Ketua FOKA memberikan semangat untuk kami para delegasi lomba.
"Apapun hasilnya, kalian adalah anak-anakku yang terbaik." Kata Kepala Sekolahku yang sengaja hadir sore itu menengok kami latihan.
Terharu rasanya. Mendapat support dari beberapa orang penting yang terkait langsung dengan lomba paskibra tahun ini.
Masing-masing dari kita tentu bertekad untuk menang. Latihan terakhir, harus fokus. Pemantapan gerakan dan komando. Sisanya, kita boleh langsung pulang. Kita dilarang terlalu lelah selama sepekan, agar ketika hari H lomba, kita bisa menampilkan performa kita yang terbaik.
Di tengah-tengah latihan, membentuk formasi teratai, aku berada di posisi center. Al dan Yohan masing-masing sebagai pengatur di posisi kelopak teratai kanan dan kiri. Teman-teman lain berada di posisi kelopak, menjalankan gerakan sesuai komando dari Al dan Yohan.
Pandangan kita semua menghadap lurus ke depan. Kaki menderap, tangan diayunkan. Pikiran harus fokus. Tiap langkah harus presisi, tak boleh salah perhitungan agar tidak mengacaukan barisan. Di saat formasi teratai mekar, aku berada di barisan paling belakang, bergeser dari posisi centerku yang semula. Ketika itu, aku merasa ketua FOKA tak lagi mengawasiku, hingga pandanganku tak lagi ke depan namun justru mengarah pada gerbang samping sekolah.
Aku menoleh pada gerbang, dengan kaki dan tanganku tetap bergerak sesuai aba-aba dari Yohan. Aku melihat ada 'Dia' disana, yang sering menyapaku akhir-akhir ini. Duduk di atas jok motor birunya, kedua tangannya menyandar pada spidometer, menopang dagu dan mengamatiku dari kejauhan. Keheranan aku dibuatnya, untuk apa dia kesini.
Latihan sudah bubar. Kami semua berkerumun mengulurkan tangan kami ke depan, bertumpuk jadi satu. Teriakan yel-yel terucap dari Al, "Se.. ma.. ngat!" Diikuti seruan dari teman-teman semua, mengulangi teriakan Al, dengan lantang dan tegas, "Semangat!!"
Kita duduk-duduk santai di tepian lapangan sembari mendengarkan arahan Kepsek. Aku meluruskan kaki ku, diikuti beberapa teman lainnya, dan ada pula yang sedikit memijat pelan kaki mereka. Kepsek kami adalah seorang yang luwes, sehingga kami sangat akrab dengan beliau.
"Nantinya, kita berangkat naik mobil sekolah ya, kita kumpul jam 6 pagi."
Pak Kepsek sedang memberi arahan-arahan pada kami sebelum kami pulang. Suara beliau mendadak mengecil dalam pendengaranku, karena fokusku teralihkan.
"Hai. Lagi berangin. Mama kamu bilang kalo kamu gak bawa jaket."
Dia tiba-tiba menepuk bahuku dan duduk dengan kaki terlipat, di sampingku.
"Hai Mas, kenapa tiba-tiba nyamperin aku?" Aku mengernyitkan alis, dan spontan aku tersenyum melihatnya.
"Aku telpon kamu, kata mamamu, kamu latihan paskibra. Trus aku bilang mau ke sekolah sekalian, trus mamamu bilang supaya aku sekalian bawa jaket buat kamu soalnya jaketmu ketinggalan di kursi teras."
"Oh.. begitu.. Iya makasi banyak, hehe."
Aku melirik padanya. Dia menjelaskan dengan begitu cepat dan suara dipelankan. Kemudian setengah berbisik di telingaku, dia melanjutkan lagi kata-katanya, "itu jaketku, pake aja. tapi kebesaran pasti."
Aku tak lagi fokus menyimak kata-kata dari pak Kepsek. Aku terlalu gugup karena duduk bersebelahan dengan cowok asing, selain Al dan Yohan. Sedekat ini. Bahkan lengannya nyaris menyentuh lengan bajuku.
***