Baixar aplicativo
0.58% Menikah dengan Om Genit di Masa Depan / Chapter 2: Sudah Menikah

Capítulo 2: Sudah Menikah

Hari ini Kania lihat kamar itu berbeda. Box bayi dan pernak-perniknya yang lucu dengan nuansa perempuan. Serta seorang bayi mungil lucu yang sedang menangis. Sekali lagi Kania tidak sempat memindai semuanya dengan benar. Suara tangisan bayi itu lebih menarik perhatiannya.

Bayi gembul menggemaskan yang sedang menangis. Tadinya Kania ingin memanggil papanya. Tapi Om Genta dengan jubah mandi dan pakaian ganti ditangannya datang menghampirinya terlebih dahulu. Sepertinya Om Genta tadi berniat berganti pakaian tapi terpanggil mendengar suara tangisan bayi. Mungkin keadaannya sama dengan Kania.

Bedanya Om Genta tidak kebingungan. Dia memeriksa dan tersenyum kecil sambil menciumi bayi tersebut. "Dia hanya perlu ganti popok," ujar Om Genta pada Kania yang masih terpaku. Ia tersenyum kecil dengan telaten mengurus bayi tersebut dengan tatapan sayangnya.

Om Genta mengusap kepala Kania seperti biasanya. Sejauh ini tidak ada hal aneh yang dilakukan Genta yang membuat perempuan itu risih dengan kehadiran pria itu. Kania masih memandang Genta sama seperti sebelumnya. Ia juga tidak heran kenapa Genta berada disana. mungkin pria itu bermalam disana semalam karena Genta sudah terbiasa sesekali menginap jika terlalu larut mengobrol berdua dengan papa.

Hanya keberadaan bayi itu yang membuat Kania bingung. Kania masih mengerjapkan mata mencerna. Mengindentifikasi yang Genta lakukan lantas menguraikannya sendiri dalam kepalanya. "Om Genta punya bayi?" tanya Kania spontan.

Dia hanya tersenyum dengan tatapan teduh khasnya. "Bayi kita," ujar Om Genta meralat sekaligus menjawab pertanyaan.

Kania mengerutkan kening. Tapi belum sempat bicara lebih untuk memutuskan kebingungannya Om Genta sudah melakukan hal aneh. "Aaaaa!!!" teriaknya keras ketika Om Genta tanpa tahu malu melorotkan handuknya di depan gadis yang baru menyandang usia 17 tahun itu. Tidak lupa langsung menutup wajahnya terutama matanya agar tidak terlalu terkontaminasi pada hal yang seharusnya tidak boleh Kania lihat. Setidaknya Ia berfikir demikian.

Om Genta tertawa kecil. "Seperti baru pertama kali melihatnya."

"Kania memang baru pertama kali melihatnya!" protesnya pada Om Genta sambil menutupi wajahnya.

Om Genta tertawa kecil sambil menghampiri perempuan itu. "Pertama kali hm? Kamu ingin membuat lelucon di pagi hari? Apa saya perlu mengingatkan lagi malam-malam yang pernah kita lalui sayang?" kali ini tatapan dan tingkah Om Genta berubah padanya. Tidak pernah Kania melihat Genta menatapnya seperti itu. Tatapan panas yang membuat Kania bergidik ngeri.

"Aaaaa papaaaaa!" teriaknya histeris berlari keluar kamar ketakutan dengan aksi Om Genta memanggil ayahnya meminta perlindungan.

Tara keluar kamar, menghampiri anaknya tidak kalah terkejutnya melihat Kania yang setengah pucat itu. "Kenapa nak?" tanya papa.

"Om Genta …" ujarnya. Laki-laki itu sekarang sudah menyusul juga turun dari kamar dengan pakaiannya yang lebih lengkap meskipun belum sepenuhnya rapi. Kania bersembunyi di belakang punggung papa secara langsung.

"Om Genta mempelorotkan handuknya di depanku!" ujarnya pada Tara mengadu.

Tara memperhatikan kawannya tersebut kemudian menatap ke arah puteri tunggalnya itu secara bergantian. Papa hanya berdehem tanpa tahu harus bereaksi apa. "Papa harus jawab apa?" balas Tara aneh.

"Ehem, sayang kamu tidak perlu mengatakan hal seperti itu ke papa. Kita selesaikan di kamar yuk!" ujar Om Genta pada perempuan itu masih dengan suara tenangnya membujuk.

"Enggak mau!" tolak Kania keras. "Papa, lihat om Genta berubah menjadi genit!"

"Gimana bisa kayak gini, Ta?" tanya papa pada kawannya tersebut.

"Gue juga enggak tahu," jawabnya pria itu. "Mikaela menangis dan Gue menggantikan popok untuknya. Setelahnya gue berganti pakaian di dekatnya. Apa yang aneh dengan hal tersebut?"

"Bagaimana tidak aneh?! Aku sudah tujuh belas tahun, Om. Bukan anak kecil lagi," teriak Kania pada Om Genta. Masih histeris dengan yang dilakukannya. Tentu saja masih bersembunyi dibelakang papa dengan menyembulkan kepala.

Maksud Kania mungkin sewaktu kecil dia tidak masalah melihat tubuh Genta seminim apapun. Ia tidak memiliki pemikiran apapun pada laki-laki yang sudah dianggapnya sebagai Om tersebut. tapi kondisi yang terjadi berbeda. Kania merasa dia sudah remaja. Sikap Genta yang seperti itu tidak pantas lagi.

Om Genta tertawa. Dia bahkan masih bisa tertawa dalam kondisi seperti ini disaat Kania panik dengan tingkah pria itu. "Sayang. Saya minta maaf semalam terlalu kelelahan sampai membiarkan kamu begadang sendirian menjaga Mikaela. Mungkin kamu berhalusinasi membawa mimpi kamu semalam ke pagi hari ini."

"Om yang mimpi. Dua hari yang lalu kita baru saja merayakan hari tujuh belas tahunku. Bahkan Om memberikan aku kotak musik." Kania menjelaskan pada Om Genta. Kali ini tidak sampai berteriak tapi nadanya cukup tinggi.

"Itu lima tahun yang lalu, nak!" kali ini Tara yang berbicara membuat Kania melotot mendengar penjelasan papa.

"Papa bercanda? Kalian berdua sedang mencoba melucu?" tanya Kania curiga. "Ulang tahunku sudah berakhir dan seharusnya tidak ada kejutan yang tertunda." Kania menambahkan.

Papa berdecak membalikkan badannya untuk melihat bingkai potret yang ada pada dinding. Tempat kami mengisi kenangan setiap tahunnya dengan pijakan penting dihidupnya. Ada potret Kania dari kecil disana, kemudian sekolah menengah yang rata-rata Kania hapal semua potret itu sampai potret Kania memakai almamater sebuah universtas, beberapa tahun kemudian potret wisuda dan foto pernikahan. Oh dia belum pernah sekalipun merasa melihatnya.

Kania melihat pada dinding lain yang membuatnya nyaris pingsan. Itu foto pernikahan Om Genta dengan seorang perempuan yang tersenyum bahagia menyerupai Kania berdiri di sebelahnya. Pengantin perempuan dalam bingkai tersebut tersenyum manis tanpa paksaan. Ralat, itu bukan perempuan yang mirip tapi memang benar Kania.

Kania menggelengkan kepalanya. "Enggak mungkin. Kania pasti masih dalam mimpi. Kania pasti mimpi," ujarnya berkali-kali.

"Kania …" papa menatap khawatir pada anak gadisnya itu.

Mata Om Genta sekarang juga redup. Ia bertukar pandang dengan papa kemudian menghembuskan nafasnya. "Kamu istirahat dulu ya, nak!" ujar papa padanya. "Papa temani kamu. tidak dengan Genta," ujar papa padanya ketika Tara melihat keraguan Kania pada papanya sambil memperhatikan wajah Om Genta. Mungkin papa mengerti Kania tidak nyaman dengan Om Genta untuk saat ini.

***

Kania mencoba mempercayai papa untuk beristirahat lagi. Rasanya memang mengantuk. Masuk ke dalam kamar dan mencoba tertidur. Tidak tahu berapa lama terlelap sampai Kania menggeliat sendiri. Perutnya mulai terasa keroncongan, tapi sebelum itu lebih baik Kania mandi dan membersihkan diri dulu.

Kania memasuki kamar mandi. Mencuci muka dan "aaaa" Kania berteriak lagi membuat Om Genta memasuki kamar menghampirinya.

"Sayang," Om Genta mengetuk kamar mandi yang terkunci.

"Kenapa Om masih disitu?!" bentak Kania ketika mendengar suara Om Genta bukan suara papa atau bibi.

"Bagaimana saya bisa bekerja kalau kondisi kamu tidak baik-baik saja. Buka pintunya!" ujar Om Genta membujuk. "kamu kenapa?" tanya Om Genta lagi.

"Enggak mau! Nanti Om Genta aneh-aneh lagi."

"Tidak! Saya janji. Buka pintunya ya?" bujuk Om Genta sekali lagi.


next chapter
Load failed, please RETRY

Presentes

Presente -- Presente recebido

    Status de energia semanal

    Rank -- Ranking de Poder
    Stone -- Pedra de Poder

    Capítulos de desbloqueio em lote

    Índice

    Opções de exibição

    Fundo

    Fonte

    Tamanho

    Comentários do capítulo

    Escreva uma avaliação Status de leitura: C2
    Falha ao postar. Tente novamente
    • Qualidade de Escrita
    • Estabilidade das atualizações
    • Desenvolvimento de Histórias
    • Design de Personagens
    • Antecedentes do mundo

    O escore total 0.0

    Resenha postada com sucesso! Leia mais resenhas
    Vote com Power Stone
    Rank NO.-- Ranking de Potência
    Stone -- Pedra de Poder
    Denunciar conteúdo impróprio
    Dica de erro

    Denunciar abuso

    Comentários do parágrafo

    Login