Keputusan Juna yang tanpa sengaja telah mempertemukannya dengan Ara, semakin terasa membahagiakan bagi Juna.
Ajakan Dito, yang ternyata mampu membuat Ara merasa bahagia membuat perasaan yang dia miliki terhadap Ara semakin menjadi-jadi.
Lokasi destinasi yang dipilih Dewa, seolah membuat dia merasakan kebahagiaan karna telah membuat sang wanitanya tersenyum manis.
Dewita yang merasa bahagia karna akhirnya mampu menikmati perjalanan ke atas candi dengan tangan yang selalu digenggam Dito, walau alasan genggaman itu adalah agar dia mampu menaiki tangga candi. Tapi bagi Dewita, itu sangat mendebarkan.
Dan Ara, pertemuannya dengan Juna di bandara waktu itu. Membuat dia selalu bertanya-tanya dengan hatinya, siapa yang sebenarnya diinginkan oleh hatinya.
Benarkah hatinya menginginkan Juna yang selalu dia ingat setiap hari, atau Dewa yang semakin membuatnya berdebar-debar?
~~~~~
"Jun,"
"Hem,"
Cekrek…
"Ara…?"
"Hehehehe,"
"Jahil mu gak ilang-ilang ya?"
"Tapi lihat deh! Ekspresi lu kocak banget tahu," ucap Ara, sambil memberikan ponselnya ke Juna.
"Tapi tetap ganteng kan?"
"Iya aja deh."
Lalu keduanya tertawa bersama, menertawakan hal yang sudah sering mereka tertawa waktu dulu.
"Dit?"
"Kenapa Wa?
"Kak Jun sama Ara akrab banget ya?"
"Iya."
"Bukannya kemarin adalah pertemuan pertama mereka berdua, ya?"
"Bukan Wa."
"Terus?"
"Mereka dulu satu sekolah semasa SMA, Wa."
"Seriusan?"
"Iya."
"Mereka juga sekelas bersama selama 3 tahun."
"Ini seriusan?"
"Iye, Dewa."
~~~~~
Sembari menunggu matahari terbenam, kelima pemuda duduk berjejer di atas pasir pantai Parangtritis, Jogjakarta. Juna telah meminta tolong kepada salah satu penjual untuk memotret moment ketika langit telah berubah menjadi orange kemerahan.
"Gimana kalau kita ngelakuin pose kedua tangan terangkat sambil berteriak?" ajak Dewita.
"Buat apaan Wit?"
"Kenang-kenangan Ra, mau ya?"
"Gue sih oke-oke aja, kalau para cowok gak tahu deh."
"Gimana kalian?"
"Boleh lah Wit," ucap Dewa.
"Kalau kalian?" tanya Ara ke Juna dan Dito.
"Oke," ucap Juna dan Dito berbarengan.
~~~~~
Tepat jam 10 malam, sebuah mobil van putih telah sampai di depan lobby hotel. Seluruh penumpang yang telah menggunakan jasa mobil dan sang sopir satu persatu keluar sambil mengucapkan terima kasih dan memberikan sedikit tips kepada pak Saidi.
Walau terlihat melelahkan, tapi sepertinya mereka puas dengan perjalanan hari ini. Berangkat pagi dan berakhir dihampir tengah malam. Mereka memutuskan untuk langsung rehat, karna esok nanti mereka akan kembali ke Jakarta.
"Akhirnya ketemu kasur juga, Ra."
"Iya."
"Hari ini gue bener-bener puas dan bahagia Ra," ucap Dewita sumringah.
"Karna Dito, ya?"
"Hehehe, iya Ra."
Tring… bunyi notifikasi chat.
###
"Ra, bisa ketemu sebentar gak? Gue di cafe yang semalem, jangan bilang Dewita kalau gue ngajakin elu ya!" tulis Dito.
"Siapa Ra?"
"Temen kerja Wit."
"Ohh."
"O iya, gue keluar bentar ya."
"Mau ke mana?"
"Mau telfon manager cafe dulu buat ijin besok pindah shift kerja."
"Oh, oke deh Ra."
Ara bergegas menuju pintu kamar hotel dan tak lupa membawa ponsel agar Dewita tidak curiga.
"Ra, sini!" ucap seseorang, sambil mengangkat tangan kanannya.
Ara membalas panggilan tersebut dengan melambaikan tangan kanannya dan mengangukkan kepala sambil tersenyum.
"Kenapa Dit?" ucap Ara, sambil menarik sebuah kursi dan mendudukinya.
"Kamu mau minum apa?"
"Hot choco aja Dit."
"Oke," ucap Dito, sambil memanggil pengawai cafe.
"Aku mau nggomong sesuatu Ra."
"Soal apa?"
"Kamu ingat gak? Di mana pertama kali kita ketemu?"
"Di kelas kan?"
"Bukan Ra."
"Terus di mana dong?"
"Di jalanan Ra, waktu itu kamu minta tolong ke gue untuk mengecek sepeda motor lu yang mogok."
"Seriusan?"
"Iya, lu lupa ya?"
"Gue ingat soal motor gue yang mogok, dulu pernah ada yang ngasih saran untuk selalu cek aki dan manasin mesin dulu sebelum dipakai buat jalan."
"Nah, itu lu inget Ra."
"Tapi gue gak ingat orang yang pernah ngomong itu siapa Dit, ternyata elu toh."
"Iya Ra. Mungkin karna udah terlalu lama juga, jadinya lu lupa."
"Sorry ya, Dit?"
"It's oke, gak papa kok Ra."
"Silahkan minumannya kak."
"Makasih ya mbak."
"O iya, kita cuman mau ngomongin ini aja?"
"Hmmm, enggak sih Ra."
"Terus?"
"Sebenernya…hemm"
"Sebenernya apa Dit?"
"Hmmm, sebenernya gue suka sama lu setelah pertemuan kita yang pertama kali Ra."
"Hah? Maksudnya gimana Dit?" ucap Ara, sambil menghentikan sesapan bibirnya di pinggiran mug berisi hot choco.
"Gue suka Ra sama lu."
"Bentar Dit bentar! Elu gak salah orang?"
"Salah orang gimana Ra?"
"Bukannya, lu lagi pdktan sama Dewita? Kalian sering jalan bareng kan?"
"Gue deketin Dewita karna gue pengen tahu banyak soal diri lu Ra."
"Haduhh, lu gak tahu ya Dit?"
"Tahu soal apa Ra?"
"Dewita itu suka sama lu, dari awal dia ngeliat lu di kampus. Kalau sampai dia tahu alasan lu yang selalu ngajak dia keluar hanya untuk nyari tahu soal gue, dia pasti bakalan ngerasa sakit hati banget, Dit."
"Tapi Ra?"
"Coba lu pastiin lagi perasaan lu yang sekarang, apakah benar karna suka gue atau hanya perasaan sesaat? Karna terkadang, perasaan yang lu rasain sekarang bukan perasaan lu yang terdalam."
"Gue beneran suka sama elu Ra."
"Dit, bukannya gue meragukan perasaan lu, tapi ada seseorang yang jauh lebih menyukai diri lu ketimbang perasaan lu ke gue."
"Siapa? Dewita?"
"Iya, gue ngeliat ketulusan dia buat elu Dit. Jujur, gue gak ada rasa lebih ke elu kecuali sebatas teman dan sahabat. Gue yakin, lu bakal jatuh cinta sama Dewita jika lu tahu pribadi dia lebih dalam."
"Ra,"
"Lu berhak bahagia dengan orang yang jauh lebih baik dari gue Dit. Gue lebih tua 4 tahun lho sama elu. Cobalah lebih dekat lagi dengan Dewita! Maka lu akan nemuin seseorang yang benar-benar bisa membahagiakan elu."
"Usia gak masalah buat gue Ra."
"Dit, kita lupain tentang pengakuan lu tadi! Sekarang, gue harus buru-buru masuk kamar. Gue gak mau Dewita salah paham soal ini. Thanks untuk minumannya ya? Gue masuk duluan."
"Tapi Ra?"
"Night Dit? ucap Ara, sambil menepuk dua kali bahu kanan Dito lembut.
"Night Ra," ucap Dito lirih.
Tring… notifikasi pesan masuk.
"Dit, udah tidur?"
~~~~~
--> Dito
Akhirnya gue ungkapin juga perasaan ini. Walau tak terbalas, tapi hati tidak terlalu sakit menerimanya. Gue malah teringat akan kata-kata Ara, tentang perasaan gue yang sebenarnya.
"Dit? lu tadi dari mana?"
"Oh… gue ke cafe Wa."
"Kok gak ajak-ajak gue sih? Dasar."
"Hehee, sorry bro."
"Yaudah, sekarang istirahat! Besok kita harus berangkat pagi."
"Iya kak."
Lalu suasana kamar menjadi hening dan menyisakan sinar lampu tidur yang bersinar temaram.