"Damian?"
"Ya, Bu. Ini aku." Jawab Damian. Akhirnya dia menelepon ibunya.
"Kau meneleponku. Aku terharu. Kupikir kau melupakan aku sebagai Ibu kandungmu."
Damian memutar matanya pada ucapan sarkatis Ibunya. "Aku sibuk, Bu."
"Kesibukanmu membuatku kesepian."
Damian mendengus. Dia sudah tahu ujung dari pembicaraan Ibunya. Itulah mengapa dia tidak ingin berbicara panjang lebar dengan Ibunya.
"Damian, kau sehat?"
"Ya." Jawab Damian singkat. Damian menatap langit-langit kamarnya. Dia memutuskan untuk tidak masuk kantor. Kondisi tubuhnya yang tiba-tiba tidak enak, membuatnya ingin sekali berbaring.
"Ah, ya, kebetulan kau meneleponku, aku ingin memberitahukanmu sesuatu." Nada suara Ibunya terdengar sangat bersemangat.
Damian memejamkan mata. "Apa?" tanya Damian tidak bersemangat. Dia yakin Ibunya ingin menjodohkannya lagi.
"Karena kau tidak ingin pulang, jadi aku mengunjungimu. Kubawakan kau calon istri. Kau ada di kantormu? Karena aku sedang dalam perjalanan ke kantormu, Damian."
Damian menggeram. Dia tidak menyangka Ibunya sampai sejauh itu. Calon istri? Itu artinya menikah, bukan? "Bu, aku tidak ingin menikah dengan siapapun!" Damian membentak Ibunya.
"Damian," ada nada kecewa pada suara Ibunya, "Ibu hanya ingin yang terbaik untukmu, Nak."
Damian menghela nafas. Kepalanya yang tiba-tiba pusing tidak membantu sama sekali. "Yang terbaik untukku hanya Ibu tidak perlu mencarikanku istri."
Damian menutup teleponnya sepihak. Dia benar-benar tidak ingin menikah. Dia tidak ingin menjalin hubungan pada siapapun. Dia tidak ingin menyentuh wanita manapun. Setelah apa yang dia lakukan pada Tara, dia hanya ingin sendiri.
Damian memejamkan matanya. Kepalanya pusing dan perutnya yang sakit membuatnya tidak sanggup untuk berdiri. Dia memilih untuk memejamkan mata. Menunggu Hendrik yang sebelumnya sudah dia telepon, memanggil dokter datang ke rumahnya.
***
Samar-samar Damian melihat wanita yang selama ini berusaha dibencinya. Wanita itu duduk di sampingnya. Damian tersenyum. Dia senang dapat melihat wanita itu lagi. wajahnya tidak berubah. Sama seperti dulu.
"Tara? Kau datang? Aku senang kau datang."
Karla menatap putranya kasihan. Suhu tubuh Damian yang panas membuatnya panik. Damian meracau dalam tidurnya. Memangil nama Tara berulang kali. Dokter mengatakan Damian harus banyak istrirahat. Kerjanya yang diforsir membuat tubuhnya tidak sanggup lagi menopang kinerja otaknya yang tetap tidak ingin istirahat. Dia menatap Hendrik yang berdiri di sampingnya.
"Siapa Tara?"
Hendrik mengangkat bahu. Bukan kapasitasnya untuk mengatakan pada Ibunya Damian mengenai wanita masa lalu anaknya.
Alis Karla berkerut. "Kau sahabatnya. Bagaimana bisa kau tidak tahu?"
"Aku memang tidak tahu, Bu." Jawab Hendrik.
Hendrik mengalihkan pandangannya pada wanita yang duduk di samping Damian. Wanita itu memakai gaun musim panas berwarna kuning. Sangat serasi dengan kulitnya yang putih. Rambut panjang hitam wanita itu kontras sekali dengan warna matanya yang biru terang. Sekejap saja Hendrik terpesona. Hendrik menggelengkan kepalanya berusaha mengenyahkan pikirannya yang tidak pada tempatnya.
Damian tersenyum. Dia memanggil wanita itu dengan nama Tara lagi. Alis wanita itu mengernyit. Dia mengalihkan pandangannya pada Karla dan Hendrik. "Siapa Tara?"
Hendrik diam sedangkan Karla menggeleng. Hendrik memilih untuk keluar dari kamar Damian lalu duduk di salah satu kursi di dapur. Rumah Damian kali ini kecil. Malah menurutnya lebih mirip apartemen. Hendrik menuang teko berisi air putih ke dalam gelas lalu meneguknya cepat. Seharusnya Damian datang saja menemui Tara dan mengatakan bahwa dia menyesal. Dengan begitu mungkin hidup sahabatnya itu tidak merana selama lima tahun ini.
Hendrik memerhatikan gelas yang ada dalam genggamannya. Dia teringat Tara yang sedang hamil saat dibawa pergi ke Indonesia. Hendrik memperkirakan pasti Tara sudah melahirkan. Itupun jika wanita itu mau mempertahankan anaknya.
"Hendrik." Panggilan Karla membuat Hendrik melirik Karla dari balik bahunya. Wanita setengah baya yang masih cantik itu mengampirinya kemudian duduk di hadapan Hendrik.
"Ke mana wanita itu?" tanya Hendrik. Damian tidak boleh ditinggalkan sendirian dalam kondisi berhalusinasi.
Alis Karla naik. "Maksudmu Serena?"
Hendrik mengangkat bahu. Dia tidak hapal nama wanita cantik tadi. "Ya itu." gumam Hendrik.
"Serena ada di kamar Damian," Karla tersenyum, "Damian membutuhkan Serena."
Hendrik berusaha untuk tidak memutar matanya. pemikirannya tadi membayang lagi. Bisa gawat. Damian sedang dalam tahap berhalusinasi akibat suhu tubuhnya yang tinggi dan itu membuatnya melihat Serena sebagai Tara.
Hendrik berdiri. "Aku ingin melihat bagaimana Damian." ucapnya. Dia tidak ingin Damian melakukan sesuatu yang akan disesali sahabatnya itu saat sembuh nanti. Hendrik mempercepat langkahnya tanpa menghiraukan panggilan Karla padanya.
Hendrik dengan cepat membuka pintu kamar Damian dan benar saja, Damian sedang terlibat ciuman panas dengan Serena. Menggeram, Hendrik memisahkan Damian dengan Serena secara paksa.
Damian menatap Hendrik garang. "Apa yang kau lakukan?" geram Damian.
Hendrik mengepalkan tangannya lalu memukul wajah Damian hingga pria itu jatuh pingsan. "Lebih baik kau seperti itu." Hendrik menahan marahnya kemudian menatap Serena. Dia memelototi wanita itu. Bibir Serena masih basah oleh saliva dan wanita itu hanya membiarkannya. "Kau," tunjuk Hendrik pada Serena, "seharusnya kau tidak memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan. Dia sedang berhalusinasi dan kau memanfaatkannya!"
Serena berdiri lalu menunduk. "Maafkan aku."
Hendrik mengepalkan tangannya. "Aku tidak peduli jika kau akan dinikahkan dengan Damian. Aku tidak peduli. Yang kupedulikan hanya perasaan Damian ketika tahu orang yang dia pikirkan ternyata bukan orang yang dia harapkan!"
Serena mendongak mendengar ucapan Hendrik. "Kau tahu siapa Tara?"
Hendrik ingin memaki karena mulutnya yang tidak sengaja mengeluarkan kalimat rahasia itu. Hendrik mendengus. "Aku tidak tahu." Jawabnya kemudian menarik tangan Serena keluar dari kamar Damian. Dihentakkan tangannya ketika sudah keluar dari kamar Damian. Hendrik menutup kamar Damian lalu menatap Serena marah. "Kau jangan mendekati Damian! Tunggu sampai dia sembuh. Jika tidak, kau akan menyesal akibatnya nanti!"
Suara ancaman itu membuat Karla menghampiri Hendrik dan Serena. "Kalian ada apa?"
Hendrik menatap Ibunya Damian kesal namun tidak mengatakan apapun.
"Serena harus bersama Damian. Damian membutuhkan itu."
Ucapan Ibunya Damian membuat Hendrik menggeram. "Apa? Bu, Damian sakit! Dan yang dia butuhkan hanya ketenangan! Bukannya kalian yang tiba-tiba datang dan mengacaukan semuanya!"
Karla berkacak pinggang. Dia memelototi Hendrik. "Kau berani-beraninya membentakku!"
Hendrik berusaha mengendalikan kemarahannya. Tidak heran jika Damian tidak begitu dekat dengan Ibunya. Karla selalu mementingkan diri sendiri. Tidak pernah menanyakan bagaimana perasaan Damian selama ini. Karla tidak berusaha dekat dengan Damian.
Begitu pula mendiang Ayahnya Damian. Ayahnya Damian hanya ingin anaknya superior tanpa memikirkan apa keinginan anaknya. Hasilnya Damian tumbuh menjadi pria yang tidak berperasaan. Dingin dan kaku. Pertemuan Damian dan Tara telah berhasil mengubah Damian. Damian mau repot-repot mencari perampok itu dan mengancam jika tidak mengembalikan ponsel dan uang Tara. Sikap ceria Tara berhasil menular pada Damian. Damian sering tersenyum bahkan tertawa. Hal yang jarang ditemui oleh Hendrik. Damian berusaha menyukai masakan apapun yang dibuat Tara walau tidak sesuai dengan lidahnya. Damian menyembunyikan pekerjaannya yang sesungguhnya pada Tara hanya demi wanita itu tetap di sisinya.
Bagi Hendrik, Damian sudah dianggapnya sebagai saudaranya sendiri. Damian bukan hanya sahabat, Damian adalah saudara baginya. Dia menyayangi Damian seperti dia menyayangi adiknya yang kini tinggal di New York bersama Ibu dan Ayahnya.
"Kurasa kau harus pulang, Hendrik. Sudah ada kami." Ucapan Karla membuat Hendrik menatap Karla dan Serena. Pemikiran menjengkelkan bermain di dalam otaknya.
"Aku tinggal di sini." Ucap Hendrik bersidekap. Dia tidak mungkin meninggalkan Damian bersama dua wanita yang tidak ingin ditemui Damian. Hendrik memiliki rumah sendiri namun kali ini dia harus berbohong demi Damian agar sahabatnya itu tidak murka ketika sembuh.
Karla menghela nafas menyerah. "Terserah." Gumam wanita tua itu. Matanya menatap berkeliling. "Di mana aku dan Serena tidur?"
Hendrik menyeringai. "Damian hanya punya satu kamar. Kalian berdua bisa tidur bersamaku di ruang tamu."
Serena memelototi Hendrik kemudian menginjak kaki Hendrik namun pria itu tidak kesakitan. Sebaiknya Hendrik memelototi balik Serena. "Kalau kalian tidak mau, kalian bisa tinggal di hotel."
Karla menggeleng. Dia menarik lengan Serena. "Ayo, Sayang. kita cari hotel saja." katanya kemudian membawa Serena keluar dari rumah Damian.
Hendrik tertawa. Rumah Damian memiliki dua kamar tidur namun satu kamar tidur dipergunakan Damian untuk ruang kerja. Ruang kerja Damian nyaman. Memiliki sofa tidur yang sering digunakan Hendrik jika ingin menginap di rumah Damian.
***
Tara menguap. Hari ini dia pulang terlambat. Tara melihat ponselnya, memerhatikan alamat yang diberikan Elis padanya. Waktu sudah menunjukkan pukul tujuh tiga puluh malam. Hari ini hotel tempatnya bekerja mempersiapkan maksimal kedatangan pemilik hotel namun ternyata pemilik hotel tidak datang. Ada kepentingan keluarga, katanya.
Elis harus pulang dan tidak mungkin Raja ditinggalkan, jadi Elis memberi kabar pada Tara bahwa Raja dibawa oleh Elis ke rumah gadis itu. Tara tidak masalah selama Raja ada yang menunggui.
Kaki Tara berhenti di deretan rumah kontrakan sederhana. Bibir Tara bergumam menghitung nomor rumah kontrakan. Kontrakan Elis nomor delapan. Rumah-rumah kontrakan itu masih ramai oleh banyaknya anak-anak kecil yang bermain. Salah satunya Raja. Anaknya sedang bermain dengan anak-anak kecil sebaya dengannya di jalan setapak depan rumah-rumah kontrakan itu. Tara tersenyum lebar. Dia senang Raja memiliki banyak teman.
Tara melihat Akbar menepuk-nepuk bahu Raja demi mendapat perhatian anak itu. Akbar menunjuk ke arah Tara yang membuat Raja menoleh tidak berminat. Tatapan itu begitu mirip Damian. Sejenak Tara tertegun.
Raja yang melihat Ibunya datang serta merta ceria. Dia meninggalkan permainannya dengan teman sebaya untuk menyongsong Tara. Tara tertawa. Dia memeluk Raja lalu menggendongnya. Akbar berjalan menghampiri Tara.
"Raja enggak nakal, 'kan?" tanya Tara pada Akbar.
Akbar menggeleng. Elis berlari tergopoh-gopoh menyambut Tara. "Maaf, Bu. Raja saya suruh Akbar momong. Saya lagi masak." Kata Elis. Dia merasa bersalah dan takut Tara marah.
Tara mengangguk. "Enggak apa-apa, Lis." Lalu seorang anak kecil perempuan seusia Raja menghampiri mereka. Tatapan anak itu begitu sedih dan ingin menangis.
"Tante Ibunya Raja, ya?" anak itu bertanya. Ucapannya sudah sangat jelas. Berbeda dengan Raja yang belum lancar berbicara.
Tara mengangguk. Elis menatap anak kecil perempuan itu gugup sedangkan Akbar memilih untuk pergi.
"Raja nakal, Tante." Ucap anak kecil perempuan itu menunjuk Raja yang digendong Tara. "Dia kejar-kejar aku terus mau cium aku."
Alis Tara naik. Dia tidak pernah mendapati anaknya berperilaku seperti itu pada siapapun. Tara menatap Elis demi mendapat jawaban. Elis tersenyum gugup. Tara menatap Raja yang sedang menatap anak kecil perempuan itu. Tatapan Raja begitu gemas, tangan Raja ingin sekali menggapai anak kecil perempuan itu.
Tara berdecak. "Mama bilang apa sama Raja? Main sama-sama. Raja 'kan anak baik."
Raja tidak mendengarkan apa yang Tara ucapkan. Tangan kecil Raja masih saja ingin menggapai anak kecil yang menurut Tara sangat imut dan manis. Anak kecil perempuan itu mundur tiga langkah demi menjauh dari gapaian Raja.
Tara menghela nafas. Dia menatap Elis yang juga bingung harus berbuat apa. Akhirnya Tara menurunkan Raja. Dia membisikkan sesuatu di telinga anaknya. "Ayo, minta maaf. Raja anak baik."
Hal yang mengejutkan terjadi; Raja memeluk erat anak perempuan itu hingga menangis ketakutan. Tara segera menarik Raja. Ibu dari anak perempuan itu menghampiri anaknya. Tara tersenyum merasa bersalah.
"Maaf, ya, Bu. Anak saya nakal."
Ibu tersebut tersenyum. "Namanya juga anak-anak, Bu. Enggak apa-apa. Mungkin Raja gemas."
Tara tersenyum masih merasa bersalah. Dia menggenggam lengan kanan Raja erat-erat karena anak itu masih saja ingin menggapai-gapai anak perempuan yang kini menangis digendongan ibunya.
"Mari, Bu, mampir ke rumah saya." Ibu dari anak perempuan itu menawarkan. Tara menggeleng. Hari sudah malam dan Tara tidak ingin Raja tidur larut.
"Terima kasih. Sebaiknya saya pulang."
Elis mengantarkan Tara hingga majikannya itu menaiki motor yang diparkirkan diujung gang deretan rumah kontrakan.
***
Tara terbangun dari tidurnya. Air mata mengalir tanpa dia sadari. Waktu masih menunjukkan pukul dua dini hari. Tara mengusap air matanya. Tara duduk di atas termpat tidur. Dia memerhatikan anaknya yang tidur nyenyak dengan mulut terbuka. Tara mengusap kepala Raja dengan sayang.
Tara mengikat rambutnya yang sudah mulai panjang. Matanya tertuju pada jam tangan Rolex yang ada di atas meja kemudian menghela nafas lega. Jam tangan itu masih ada di meja riasnya. Tidak ada yang mengambil seperti dalam mimpinya.
Tara bermimpi, ada seorang wanita cantik yang secara paksa meminta jam tangan yang masih dipakainya. Bahwa jam tangan itu tidak berhak dimiliki oleh Tara yang miskin. Tara menangis dalam mimpi itu. Berusaha mempertahankan jam tangannya yang hendak direbut paksa. Tara sangat menyukai jam tangan itu hingga dia tidak rela siapapun mengambilnya.
Tara menelan ludah. Dia bermimpi buruk. Mimpi yang menandakan bahwa orang yang dia sayang dan cintai akan diambil orang. Tetapi siapa? Mata Tara memerhatikan anaknya. Dia kemudian merebahkan diri lalu memeluk Raja erat. Dia takut jika Raja diambil oleh orang atau mungkin celaka.
***
Kisah mereka belum berakhir. Terima kasih untuk semua yang menyempatkan diri membaca cerita ini. Kuharap kalian semua tidak bosan menunggu cerita ini. Cerita receh dari saya yang bukan siapa-siapa.
Creation is hard, cheer me up!