"Apa maksudmu, Stefan? Kau sudah menjalani hubungan ini selama hampir 6 Tahun, dan kau baru mengatakan yang sebenarnya?!"
Falley, seorang teman satu sekolahnya terdahulu sedikit protes dengan sepenggal cerita kehidupan rumah tangga Stefan selama ini. Sebab ia memang tidak pernah menceritakan apapun tentang itu pada siapapun. Termasuk sahabatnya sendiri.
Setahu mereka, selaku teman-teman Stefan dan juga rekan sekerja di perusahaannya, kehidupan Stefan selama ini baik-baik saja. Tak pernah ada masalah sekalipun.
"Apa ada yang tahu soal ini selain aku?" tanya Falley.
"Tidak. Hanya dirimu,"
"Mengapa begitu?"
"Karena hanya kaulah satu-satunya seorang sahabat yang bisa kupercaya, Falley,"
Pria kurus berkacamata itu gedek setelah mendengar perkataan sahabat lamanya. Sembari menghirup secangkir kopi latte yang khas dari Cafe ini, ia pun memberikan saran untuknya.
"Stefan, sebelumnya mohon maaf jika aku tidak bisa membantu banyak soal ini. Kau juga tahu, aku masih belum punya pengalaman apapun soal rumah tangga. Tapi, sebagai sahabat, aku hanya mengingatkanmu, kawan. Hati-hati dalam berkata. Sebab kau tidak bisa lagi seperti dulu. Posisimu berbeda sekarang, kau orang penting sekarang, Stefan. Jangan sampai kau salah memilih jalan,"
Mengingat dia adalah seorang kepala perusahaan tambang mineral yang sudah membuka cabang di berbagai pulau saat ini. Minevan Corp.
"Apapun masalahmu, cukup ceritakan padaku saja, ok? Karena aku tahu hidupmu tidak semudah itu, kawan. Meski beberapa dari mereka hanya memandangmu dari sisi luarnya saja," lanjut Falley.
Bahkan Stefan baru menikmati kopinya yang sudah hampir dingin. Bibir tipis manisnya berbisik umpatan. Seolah terpaksa menikmati kopi yang susah tidak panas lagi.
Sepanjang perjalanan pulang dari Cafe, ia terus memikirkan masalah rumah tangganya yang begitu rumit. Sampai ia hampir menabrak seseorang yang sedang menyeberang di rambu lalu lintas persimpangan empat. Ia mengerem mendadak dan terkejut. Detak jantungnya berdetak sangat kencang dan Stefan memilih untuk menepikan mobilnya sejenak.
Malam hari yang hampir larut ini justru membuatnya dilema, antara ingin istirahat di rumah atau lanjut untuk bepergian ke suatu tempat. Ia merasa harus istirahat sejenak dari situasi rumah tangganya yang selalu memanas. Namun disisi lain ia harus istirahat untuk aktifitas kerjanya esok pagi.
Akhirnya, Stefan memilih pulang. Sebuah rumah mewah dengan tema minimalis ini seharusnya membuat Stefan nyaman untuk tinggal. Terlebih lagi kolam renang indoor yang sangat melengkapi kemewahan tempat tinggalnya itu.
"Baru pulang, sayang?" sapa Maya, sang istri.
"Ya." singkat Stefan sambil memasak sesuatu di dapur.
"Salin pakaian dahulu, aku juga sudah memasak sesuatu untukmu. Kau sedang memasak apa?"
"Aku sedang ingin spagheti," jawabnya tanpa ekspresi.
"Istirahatlah, Maya. Karena besok kita ada janji dengan pihak panti asuhan Foster," menatap istrinya yang terkesan menunggu suaminya selesai memasak.
"Baiklah, aku tunggu di kamar, sayang," balas Maya dengan senyuman.
Sementara Stefan gedek perlahan.
Saat mereka bercinta pun, hanya Maya yang sangat bergairah di ranjang. Stefan hanya meresponnya, seolah berpura-pura senang menerima sentuhan dan kecupan lembut dari istrinya. Tidak ada lagi perasaan cinta yang muncul dari benak Stefan, meski sentuhan sensual yang ia rasakan di sekujur tubuhnya itu kerap menggerayangi.
"Maafkan aku, Stefan," ujar Maya seusai bercinta.
"Untuk apa?" tanya Stefan.
"Sampai saat ini aku tidak bisa memberikanmu buah hati,"
"Itu bukan masalah besar bagiku. Aku hanya minta, kau menghargaiku sebagai suamimu."
Maya pun merasa tersinggung dengan ucapannya. Padahal selama ini memang benar, ia tidak pernah menghargai Stefan dari tutur katanya yang terkesan kasar.
Pertengkaran kecil pun terjadi seusai bercinta. Stefan lebih sering memilih untuk mengalah padanya dan keluar dari kamar untuk tidur di sofa ruang keluarga.
Keesokan harinya pun perseteruan itu masih terjadi. Mereka tak saling sapa satu sama lain. Hingga akhirnya, Stefan berangkat ke panti asuhan Foster sendirian tanpa Maya karena sudah ada janji dengan pihak terkait.
"Tuan Maroni, benar?"
"Benar, Stefan Maroni. Sebelumnya saya mohon maaf istri saya tidak bisa hadir karena..., ada kesibukan lain,"
"Tidak masalah, Tuan Maroni. Setidaknya kami sudah tahu posisi tuan dan nyonya Maroni," ucap kepala panti asuhan dengan ramah tamah.
Setelah itu, Stefan pun tak sengaja melihat gadis kecil yang sedang duduk menyendiri diantara kawan-kawan sebayanya yang sedang bermain dengan riang gembira. Gadis itu hanya duduk termenung seperti memikirkan sesuatu yang berat dengan tatapan matanya yang melemah sayu tertunduk seperti melamun.
"Ada apa dengan gadis kecil itu?" tanya Stefan.
"Oh, dia namanya Carissa. Dia memang seperti itu, suka menyendiri. Tapi dia tidak bermasalah, anak itu sangat ramah apabila seseorang sudah mengenalnya." jelas salah satu perawat disana.
Kemudian, Stefan mencoba untuk mendekati anak itu.
"Hei, Carissa. Itu benar namamu, kan?"
Gadis itu menoleh ke arah Stefan, tapi hanya diam tak menjawab. Dan mengedipkan matanya sekali dengan lembut perlahan. Stefan sedikit heran dengan anak itu jika ia melihat dari tatapan matanya. Seolah kedua mata anak itu berbicara padanya.
"Kau baik-baik saja, kan?" tanya Stefan.
Dan pandangan gadis itu pun kembali seperti sedia kala.
"Mengapa kau tidak ikut bermain dengan teman-temanmu?"
Gadis itu hanya menggelengkan kepalanya.
Stefan merasa kasihan dengan gadis kecil itu. Gadis kecil yang kurus dengan rambut coklat bergelombang itu sedaritadi hanya menatap kawan-kawannya bermain di lapangan. Namun, Stefan sama sekali tidak mengabaikannya. Justru ia sangat tertarik untuk mengadopsinya.
Setelah mengurus pembuatan surat dan akta kelahiran Carissa, Stefan sudah bisa membawa pulang Carissa. Sepanjang perjalanan pun Carissa juga seperti itu, hanya diam seribu bahasa dan menatap ke arah jendela mobil.
"Carissa? Bagaimana kalau kita makan siang di restoran? Aku tahu, kau pasti sangat lapar," ujar Stefan sambil menyetir.
Carissa hanya menggelengkan kepalanya.
"Baiklah, bagaimana kalau kita beli pakaian untukmu di Mall, setelah itu kita makan siang? Aku juga akan membelikanmu sesuatu yang kau inginkan selama ini,"
"Mengapa?" tanya Carissa untuk pertama kalinya ia bersuara.
"Karena kami tidak pernah punya baju anak-anak. Kami tidak pernah memiliki anak sebelumnya," jawab Stefan.
"Maksudku, mengapa kau memilihku?"
Pertanyaan sederhana itu Stefan merasa ragu untuk menjawabnya. Entah mengapa?
"Kau belum mengenalku dengan baik. Aku yakin setelah kau mengenalku, kau pasti akan mengusirku dari tempat tinggalmu. Aku sangat yakin itu,"
Stefan sangat terkejut mendengar perkataannya dan langsung menepikan mobilnya.