Ny. Zemira menyantap sup yang dibawa oleh Mona dan adik-adiknya dengan lahap, ia langsung memakannya ketika bangun, sampai ia tidak menjawab pertanyaan dari siapapun.
Sup itu membuat rasa kantuknya hilang dan ia pun akhirnya sadar sepenuhnya saat sup itu habis.
"Kenapa ibu tidak bangun-bangun? Ibu tidur jam berapa? Jam enam pagi?" tanya Bunga.
"Entahlah, ibu merasa sangat sulit untuk bangun, padahal ibu tidur sebelum ayahmu semalam, dan ibu rasa itu di jam sebelas kurang," ucap Ny. Zemira.
"Itu artinya ibu tidur selama hampir dua puluh jam. Apa yang terjadi?" Isa juga bertanya. "Dan yang lebih aneh, ibu bisa menjawab kami semua, tapi untuk membuka mata sangat sulit," lanjutnya.
"Ibu juga tidak mengerti apa yang terjadi, semuanya terasa seperti mimpi bagi ibu, sebab sejak pagi ibu berusaha untuk bangun, tapi tidak bisa, dan ibu tidak mengerti bagaimana hal itu bisa terjadi sampai belasan jam. Ibu tidur tapi ibu bisa dengar, dan ibu memiliki niat yang besar untuk bangun, tapi anehnya tidak bisa," papar Ny. Zemira.
"Sudahlah, sepertinya hal ini tidak perlu dibahas lagi. Bibi, lebih baik sekarang bibi minum obat," suruh Dina.
"Engh, sepertinya aku sudah sembuh, Dina," ujar Ny. Zemira. Mendengar hal itu, semuanya kecuali Ny. Zemira mengernyitkan dahi mereka.
"Tidur selama hampir dua puluh jam membuat ibu merasa sudah sembuh?" tanya Isa. Ny. Zemira lalu terdiam. "Ada apa, ibu?" lanjut Isa.
"Bisa ibu meminum obat yang baru? Maksud ibu, ganti obat," pinta Ny. Zemira.
"Ibu, ibu ini bicara apa? Itu adalah obat yang berikan oleh Dokter, ibu harus meminumnya sampai habis, obat-obat itu yang akan mengeluarkan racun yang ibu konsumsi," ucap Bunga.
"Bunga, obat itu membuat lidah ibu menjadi tidak enak."
"Hah?"
"Saat pertama kali ibu meminum obat-obat itu, semuanya terasa baik-baik saja, tapi kemarin ibu merasa kalau rasa obat-obat itu berubah menjadi aneh, ibu tidak bisa menjelaskannya secara detail, tapi rasanya benar-benar aneh. Ibu rasa, obat-obat itu membuat indra perasa ibu ini tidak bekerja dengan baik."
"Benarkah? Lalu kenapa ibu memakan sup itu dengan sangat lahap?"
"Entahlah, ibu hanya tidak ingin meminum obat-obat itu lagi."
Bunga dan Isa kemudian saling melirik.
"Aku punya ide. Bibi, bibi suka dengan supnya, kan?" tanya Dina.
"Sup itu adalah makanan terenak yang pernah kumakan, jadi, ya, aku sangat menyukainya," jawab Ny. Zemira.
"Mungkin sebaiknya bibi memakan sup itu saja setiap hari, baik sebelum meminum obat ataupun sesaaat setelah meminum obat untuk menghilangkan rasa aneh yang bibi rasakan. Karena wajar memang jika bibi merasa kalau rasa obat-obat itu setiap hari semakin aneh, mengingat jumlah yang harus bibi konsumsi dalam satu waktu lebih dari lima jenis."
"Itu ide bagus, sup memang sangat dianjurkan untuk orang yang sedang sakit, kan?" ujar Bunga.
"Baiklah, aku setuju, mungkin yang dikatakan Dina benar," kata Ny. Zemira.
"Mona, siapa yang membuat sup itu?" tanya Isa.
"Ibu mengatakan pada kita untuk tidak memberitahu mereka bahwa yang membuat sup itu adalah ibu, kan?" Fina berbisik kepada kakaknya.
"Maksud ibu, jika mereka tidak bertanya, kita tidak perlu memberitahu. Sekarang paman Isa bertanya, maka kita harus menjawabnya dengan jujur." Mona menjawab Fina dengan berbisik juga.
"Apa aku dibutuhkan dalam pembicaraan kalian?" tanya Zhani yang merusak acara bisik-bisik kakak-kakaknya. Mona dan Fina pun langsung menyipitkan mata mereka dan menatap adik mereka itu dengan tajam. "Hehe," sambung Zhani.
"Kak Karin yang membuat sup itu." Mona menjawab pertanyaan Isa. Mendengar jawaban Mona, seluruh orang dewasa yang ada di kamar itu tentu terkejut, namun keterkejutan mereka memiliki makna yang berbeda-beda.
Contohnya saja Tn. Farzin, ia terkejut karena yang ia tahu, Jhana kurang pandai memasak, namun sekarang putri angkatnya itu telah berhasil membuat Ny. Zemira menyebut sup buatannya sebagai makanan terenak yang pernah dimakannya. Tentu saja Tn. Farzin senang akan hal ini, karena setidaknya Karin akan memiliki poin positif di mata keluarganya.
"Karin?" ucap Ny. Zemira yang tidak percaya.
"Iya, dia menyuruh kami untuk mengantar sup buatannya ke Nyonya," kata Mona.
"Dia tidak menaruh racun lagi, kan?" tanya Tamara.
'Jadi ini nenek Tamara, yang dicurigai ibu sebagai orang sesungguhnya yang menaruh racun ke jus buah naga nenek,' batin Mona.
"Entahlah, aku yakin dia tidak pernah meracuni siapapun. Ada seseorang yang sok suci di mansion ini yang telah meracuni Nyonya Zemira, dan aku rasa orang itu selalu berusaha menutupi kedoknya dengan cara menyudutkan orang yang tidak bersalah. Seseorang membuat kita semua percaya kalau kak Karin yang telah meracuni Nyonya Zemira, tapi sekarang, aku tahu siapa pelaku sebenarnya." Mona menjawab Tamara.
"Hei, jangan kelewatan batas. Kau hanya anak kecil, jangan berlagak seolah kau sudah dewasa." Fina memperingati Mona.
"Setidaknya aku bukan yang paling muda di sini," ujar Mona.
"Aku yang paling muda pun sebenarnya ingin mengatakan hal yang sama denganmu," ucap Zhani kepada Mona.
"Anak-anak ini tinggal bersama Tantri, dan terkadang bersama Karin, kan? Jadi mungkin tidak salah jika kita sedikit berhati-hati kepada mereka, mereka pasti sudah dipengaruhi oleh Karin," kata Tamara.
"Kalian bisa keluar sekarang." Dina menyuruh anak-anak Jhana untuk keluar dari kamar itu.
"Tapi kami tidak dipengaruhi oleh siapapun," ucap Zhani pada Dina.
"Tentu saja. Kalian kan anak pintar, mana mungkin kalian dipengaruhi, kan? Yasudah, kalau begitu bawa mangkuk ini ke dapur," ujar Dina sembari memberikan mangkuk sup yang dibawa oleh Mona tadi kepada Zhani.
"Ayo." Mona mengajak adik-adiknya untuk keluar, dan ia memahami maksud Dina yang menyuruh mereka keluar, sebab gadis itu tidak ingin ada keributan sekecil apapun terjadi di kamar itu usai Ny. Zemira yang baru bangun.
"Ibu merasa sesuatu lagi setelah memakan sup itu?" tanya Isa yang terlihat khawatir mengetahui bahwa sup itu dibuat oleh Jhana.
"Untuk saat ini tidak, semoga saja dia tidak berusaha untuk meracuni ibu lagi," jawab Ny. Zemira.
"Ibu ingin aku memberikannya tugas khusus untuk selalu membuatkan sup itu untuk ibu?" ucap Bunga.
"Tidak, sebaiknya jangan." Tamara ikut bersuara. "Racun membutuhkan waktu untuk bekerja, kan? Sebaiknya jangan langsung bertindak untuk memberikannya tugas khusus itu, tunggu beberapa jam dulu, jika Zemira baik-baik saja, maka kurasa tak salah jika Karin diberikan tugas khusus," sambungnya.
"Itu ide bagus, tapi semoga saja dia tidak meracuniku lagi," ujar Ny. Zemira.
'Karin tampaknya tidak memiliki niat buruk sama sekali kepada Zemira, sup itu sepertinya benar-benar aman. Sup itu memiliki potensi besar untuk mempercepat proses penyembuhan Zemira, dan sepertinya sup itu bisa menjadi antibodi bagi Zemira, sehingga mampu mengurangi efek racun-racunku yang rutin dikonsumsi Zemira. Sebisa mungkin aku harus membuat Karin tidak mendapatkan tugas khusus itu, karena akan menjadi masalah bagiku jika dia mendapat kepercayaan hanya karena sup itu. Usulanku seharusnya bisa menyelamatkanku, jika Zemira meminum racun-racunnya beberapa menit lagi, maka efek yang ditimbulkan dari racun-racun itu bisa mereka asumsikan sebagai racun yang terkandung dalam sup buatan Karin, dan ini akan membuat Karin semakin terpojok, sementara kesempatanku untuk mendapatkan apa yang kumau akan menetap pada angka 100%,' batin Tamara.
'Dia adalah orang yang meracuni ibu Zemira, aku bisa membaca pikirannya dari pergerakannya sekarang,' pikir Raya yang memaksudkan Tamara sebagai orang yang telah meracuni Ny. Zemira.
***
Sementara itu, Jhana yang baru selesai mencuci mangkuk sup yang dibuatkannya untuk Ny. Zemira melihat tong sampah di dapur yang sudah sangat penuh, dan kebetulan ia sedang sendiri di dapur, jadi ia pun berinisiatif untuk membuang sampah-sampah yang ada di tong tersebut ke tong yang ada di sebrang gerbang, karena setiap 3 hari sekali, tukang pengangkut sampah akan lewat untuk mengambil sampah-sampah dari mansion itu yang 'diakumulasikan' ke tong sampah besar yang ada di sebrang gerbang.
Biasanya yang melakukan ini untuk sampah di dapur adalah antara Kania dan Indira, namun hati Jhana memaksanya untuk turun tangan dan peduli dengan apa yang sedang dilihatnya.
Jhana pun kemudian mengangkat tong sampah itu dan membawanya keluar ke sebrang gerbang. Wanita itu lantas menumpahkan semua isi tong itu ke tong sampah besar yang ada di sebrang gerbang. Namun, ada satu sampah yang menarik perhatian Jhana: sebuah kertas yang tampaknya adalah sebuah nota belanjaan.
Karena penasaran, Jhana pun mengambil nota itu, sebab mansion Dhananjaya menerapkan peraturan kepada para pekerjanya untuk tidak membuang nota belanjaan yang ada sangkut pautnya dengan anggota keluarga tersebut. Dan para pekerjanya sendiri memang jarang berbelanja barang untuk diri sendiri, jadi melihat nota dibuang seperti itu di mansion Dhananjaya adalah hal yang langka bagi Jhana.
Ia lalu membaca daftar barang yang dibeli oleh seseorang di mansion itu di nota tersebut.
Mengejutkan bagi Jhana sebab isi daftar belanjaan yang tercatat pada nota itu semuanya hanya beberapa jenis racun, yang tertulis jelas kata 'racun' di depan nama jenisnya.
"Apa-apaan ini?" gumam Jhana. Ia kemudian melihat jam yang tertera pada nota tersebut saat nota itu di print.
'Siapa kira-kira yang berbelanja pada jam segitu? Aku harus mengingatnya, karena tanggal di nota ini menunjukkan kalau racun-racun ini dibeli kemarin,' batin Jhana. Wanita itu lalu teringat saat Tamara datang ke dapur dan membawa beberapa barang belanjaan.
- 'Baru pulang berbelanja, Nyonya?' tanya Jhana.
'Hmh.' Tamara menjawab tanpa membuka mulutnya.
'Termasuk membeli racun juga?' sindir Jhana. Mendengar hal itu, Tamara pun menghentikan aktifitasnya.
'Apa maksudmu?' tanya Tamara sembari mengernyitkan dahinya.
Jhana hanya menjawab wanita tua itu dengan menunjukkan bekas luka di pipinya yang diakibatkan oleh tamparan Arvin. Ia lalu pergi dari dapur dan membiarkan Tamara berpikir banyak hal tentang Karin. -
"Astaga, sindiranku itu ternyata benar," gumam Jhana. "Lalu untuk apa dia membeli racun sebanyak ini?" sambungnya, ia berpikir untuk beberapa saat.
"Ibu!"
Siap-siap untuk bab 91+ ya, karena di bab 91 ceritanya baru 'dimulai' hahaha