Suara sirine mulai memenuhi langit di kampus harvard, kerumunan yang penuh dengan orang egois yang hanya ingin menjadi penonton terdepan tanpa bertindak perlahan terbuka. Tampak sosok dua orang pemuda dan seorang wanita yang membawa kotak putih berisi peralatan medis.
Meri menjelaskan keadaan pria itu, setelah mengantar pria itu ke ambulance meri mohon izin untuk mengambil jam tangannya dan berbalik untuk kembali ke apartemen.
Hari demi hari terlewati dengan begitu menyenangkan. Di sibukkan dengan jadwal perkuliahan dan berbagai kegiatan di komunitas climbing nya, perhatian meri mulai teralih dari mengingat andre. Dia hanya bisa menghubungi andre sesekali dalam sepekan. Bukan hanya dirinya, andrepun mulai kewalahan mengatur waktu karena urusan bisnis dan pekerjaannya di kantor.
Mereka hanya akan sesekali berkirim pesan selamat tidur atau meri yang selalu mengirim pesan mengenai plat nomor kendaraan taksi yang dia tumpangi tanpa ada perasaan curiga hanya sebatas terbiasa melaporkan hal tersebut kepada suaminya.
Andre yang setiap kali menerima pesan itu hanya bisa tersenyum. Seorang laki-laki akan lebih teesentuh saat wanita pujaannya melaporkan hal sepele dalam hidupnya daripada saat wanita itu berbagi sesuatu yang besar dengan pasangannya.
Saat waktu libur semester di mulai, meri berfikir akan ke omaha untuk menemui suaminya itu dan menghabiskan banyak waktu bersama. Namun, randy mengabarkan bahwa pernikahannya akan dilakukan dalam waktu satu minggu lagi. Dengan berat hati dia harus kembali ke indonesia tanpa bisa menghabiskan waktu bersama andre.
Meri begitu kecewa. Selama menjalani jadwal padat kuliahnya, satu hal yang membuatnya semangat adalah hari libur akan tiba dan memikirkan menghabiskan waktu bersama andre. Sudah lima bulan andre tak pernah mengunjunginya, meri terkadang meminta andre untuk datang walau cuma sehari, lagi-lagi pekerjaan dan bisnis yang dia bangun selalu menghambat pertemuan mereka.
Dia sudah begitu rindu kepada suaminya itu. Melihat wanita di kelasnya yang hampir semuanya adalah orang yang serius dan kutu buku dan pendiam, meri semakin tak bersemangat membayangkan dia tak memiliki teman. Satu-satunya teman yang dia miliki ada moe yang berasal dari cina. Dia wanita cantik, ramah dan ceria. Kulitnya yang putih dan tipis hampir membuat meri merasa takut jika menyentuhnya. Dia terlihat terlalu rentan dengan sentuhan. Moe termasuk wanita yang banyak di dekati lelaki karena sikap ramah dan supelnya. Berbeda dengan meri yang terkesan kasar dan tidak suka didekati.
Tak banyak yang menyukai gadis cuek, keras dan tegas seperti meri. Akan tetapi, pengagum rahasia meri bukanlah orang sembarangan. Tak banyak yang mendekatinya karena terdapat isu bahwa pria misterius yang selalu mengirim bunga ke mejanya adalah salah satu dari 3 anak pejabat di kota cambridge yang juga kuliah di kampus yang sama.
Hal yang paling di jaga oleh meri adalah nilai yang baik serta menjaga jarak dari para lelaki. Dia tak ingin mengecewakan andre yang sudah berstatus sebagai suaminya. Saat dia mengatakan sudah menikah kepada pria yang dia tolak, mereka langsung mundur dan hanya satu yang tak mau menyerah dan selalu mengirim bunga dan hadiah lain ke mejanya saat kelas dimulai.
Walaupun sering membuang hadiah itu ke tempat sampah, pengirimnya tetap tak berniat berhenti. Misteriusnya adalah meri bahkan tak tahu siapa yang selalu mengirimkan bunga itu, dia hanya tahu semua hadiah itu sudah ada saat ia masuk ke ruang kelas. Meri tak ingin membuat andre khawatir jadi dia tak pernah memberitahukan perihal orang misterius itu.
Malam itu terlalu dingin, meri mengenakan mantel bulunya yang berwarna putih dan segera menuju lantai basement dengan koper di tangannya. Seorang penjaga keamanan menghampiri meri untuk membantunya membawa kopernya dan meletakkannya di bagasi mobil BMW merah sesuai dengan warna kesukaan meri. Meri memutuskan akan ke omaha malam itu juga dengan mengendarai mobil yang di berikan andre namun tak pernah ia gunakan untuk ke kampus.
Parkiran mobil yang tidak terlalu luas membuat meri malas menggunakan mobil ke kampus. Dia lebih senang jika menggunakan taksi karena tak perlu memikirkan mencari tempat parkir.
Meri sudah bersiap untuk mendapat omelan dari andre karena menyetir sendiri dengan jarak tempuh hampir sehari semalam. Baginya tak masalah mendengar satu atau dua paragraf omelan suaminya karena akan terbayar dengan kebersamaan mereka di menit selanjutnya. Dia tak ingin ambil pusing dan memilih fokus pada kemudi.
Jika orang lain akan singgah selama 4 atau 5 kali selama perjalanan 22 jam menuju ke omaha, meri hanya berhenti saat dia butuh makan. Dan itu artinya dia hanya singgah sebanyak tiga kali dan itu menghemat waktunya di jalan. Dia membeli roti dan kopi untuk menemaninya menyetir.
Apartemen andre memiliki akses pengaman yang ketat, namun penjaga keamanan sudah mengenal meri sebelumnya jadi tidak sulit baginya. Meri juga menyimpan satu kartu pemilik apartemen yang dulu di berikan andre saat pertama kali bertemu.
Di berjalan menuju lorong di mana unit apartemen milik suaminya itu berada. Sudah hampir jam 8 saat meri menekan bell apartemen andre. Beberapa kali namun tak ada jawaban. Dia mengetahui pin apartemen itu, namun kejutannya akan rusak jika dia langsung masuk. andre akan tahu jika itu dirinya karena selain andre hanya dia yang tahu pin itu.
Tak juga ada jawaban, meri memutuskan masuk dengan pin yang dia ketahui. Tak butuh waktu lama, pintu itu sudah bisa di buka, suasana yang tampak adalah gelap. Tak ada cahaya lampu sama sekali.
Meri mencari saklar lampu dan menyalakannya. Tak menemukan andre di ruang tamu maupun kamar, meri berpikir kemungkinan andre sedang lembur karena semua lampu mati kecuali ruang kerja namun tak ada siapapun di sana. Meri memutuskan menunggu di sofa ruang nonton sambil menatap jam tangan yang sudah dia matikan karena tak ingin andre mengetahui kalau dia berada di omaha.
Sekitar satu jam menunggu, meri mendengar suara pintu terbuka di ikuti dengan suara andre. Dia sedang berbicara dengan seorang wanita dan mengajak wanita itu masuk. Meri mendongakkan kepalanya dari sandaran sofa agar bisa melihat siapa yang datang bersama andre.
Tak ada yang bisa meri katakan saat melihat suaminya pulang dengan seorang wanita yang dia kenali sebagai rekan andre yang dia temui di depan berkshire dan saat pesta perayaan. Bukan hanya meri, andre tak kalah terkejut melihat istrinya itu sudah berada di dalam rumah.
Pandangan mereka bertemu sesaat meri dan andre yang sama berdiri kaku, mematung dan hanya melempar tatapan terkejut satu dan yang lain. Meri melihat tatapan andre yang terkejut bercampur rasa takut seakan dia kucing yang ketahuan mencuri oleh majikannya. Ekspresi itu membuat hatinya seakan digilas oleh ban mobil hingga tak berbentuk.
"besok aku berangkat ke Indonesia jadi ku pikir akan mampir dulu sebentar" hanya kalimat itu yang bisa terlontar dari bibir meri yang mulai gemetar menahan kemarahan dan tangisnya.
Rasanya dia ingin meledak atau menghilang saat itu juga, dia tidak ingin pria dan wanita di hadapannya itu tahu betapa terluka hatinya mendapat kejutan seperti ini.
"aku akan ke kamar, kalian silahkan lanjutkan" meri tak ingin lagi memandang andre, dia hanya ingin pergi secepatnya dari tempat yang membuatnya merasa menginjak bara api. Setiap langkahnya seakan membakar dan begitu mendidihkan otaknya. Dia tidak ingin kehilangan kewarasannya dengan menampar salah satu di antara dua makhluk memuakkan di hadapan matanya itu.
Meri membanting pintu kamar dengan keras kemudian menguncinya. Apa yang dia lihat terasa seperti mimpi, dan itulah harapannya. Dia berharap terbangun dari mimpi buruk ini.
Tak ada yang lebih sakit dari apa yang dia dapat hari ini. Terlalu sakit hingga air matanya bahkan tak bisa mengalir. Begitu ingin berteriak dan menangis histeris tapi lagi-lagi pikirannya menuntunnya untuk bersikap tenang dan memilih menghindar sementara waktu.
Terdengar andre mengetuk pintu ketika dia sudah terlebih dahulu meminta margaret untuk pulang.
"meri, bisa kita bicarakan ini baik-baik? Kau hanya salah paham" bujuk andre yang tak juga mendapat respon dari meri.
Meri mengambil mantel bulunya dan membawa kopernya kemudian membuka pintu.
Menatap wajah suaminya itu dari dekat semakin membuat emosinya sulit untuk di kendalikan. Jika pria di hadapannya ini belum menikahinya, dia akan dengan senang hati memukulinya tanpa ampun. Mulut yang mengatakan dia salah paham, rasanya ingin sekali ia merobek mulut itu dengan tangannya sendiri.
Andre menatap wajah meri yang merah padam menahan kemarahan. Dia semakin cemas melihat istrinya itu sudah memakai mantel dan memegang kopernya. Andre memeluk istrinya itu dengan erat, berharap kemarahannya sedikit memudar. Tapi itu sama sekali tak bekerja untuk wanita seperti meri.
Dia bukan wanita yang akan luluh hanya dengan pelukan, ciuman, uang atau sebuah hadiah. Saat dia marah, bahkan jika pria di hadapannya ini gantung diri, hal itu masih belum bisa meredakan emosinya sedikitpun.
"menjauhlah. Kau menghalangi jalanku" ujar meri datar masih di pelukan andre.
"tidak akan. Sayang, aku dan margaret tidak ada hubungan apapun. Kami hanya sedang mengerjakan proyek bersama dan ada berkas yang dia butuhkan. Dia ke sini hanya untuk mengambil berkas itu" andre masih memeluk istrinya itu untuk menenangkannya.
"aku tidak perduli kalian akan melakukan apa. Menyingkirlah sekarang. Aku hanya ingin pulang saat ini" meri masih tenang mengucapkan kata demi kata dengan nada datar tanpa emosi sedikitpun. Namun hal itulah yang membuat andre begitu ketakutan.
Saat meri marah besar dan meluapkan emosinya, itu artinya dia masih memberi kesempatan kepada lawannya untuk bercermin dan memperbaiki diri. Dan masih ada peluang baginya untuk di maafkan. Sikap tenang dan dinginnya saat ini lebih mengerikan dari saat dia memukul andre tanpa belas kasihan.
"meri, aku sudah bilang kau salah paham" ujar andre melepaskan pelukannya dan menatap mata istrinya itu. Tak ada air mata yang dia temukan, tatapan itu begitu kosong. Tak ada emosi, cemburu ataupun cinta di dalamnya. Begitu dingin hingga seorang lulusan psikologi bingung mengartikannya.
"aku salah paham, aku yang salah melihat, aku yang berhalusinasi dengan melihat sosok wanita di sampingmu tadi, aku yang salah tak memberi tahumu kalau aku akan datang, jadi aku minta maaf. Sekarang menyingkirlah dari hadapanku. Aku akan pulang. Kita bisa bicara nanti"
Meri mendorong andre agar menyingkir dari jalannya, yang dilakukan andre bukan menyingkir tapi menarik meri mendekat dan mencium bibir wanitanya itu. Tak ada penolakan yang dilakukan meri, namun dia juga tak menyambutnya. Dia hanya diam, menatap tajam ke mata andre yang hampir tak berjarak.
Andre melepaskan ciumannya itu. Istrinya itu masih menatapnya tajam seakan siap membunuh. Awalnya meri berfikir malam ini, telinganya yang akan di penuhi kemarahan suaminya itu tapi hal di luar dugaan selalu terjadi dalam hidupnya.
Andre merebut koper meri dan membawanya masuk kembali ke kamar, maninggalkan meri yang mematung di depan pintu. Hanya sejenak andre merasa situasi membaik karena meri tak berusaha merebut kembali kopernya dan menit kemudian meri tak berbalik menatap andre atau melangkah mendekat untuk mengambil kopernya kembali. Meri melangkah keluar kamar meninggalkan andre yang terlambat menyadari hal itu. Saat dia berbalik melihat meri, pintu apartemen sudah tertutup dan meri pergi tanpa membawa apapun.
Angin topan menerjang rumah tangga andre dan meri.
Semoga mereda di chapter berikutnya