Chris menatap dengan sangat tajam. Sorot matanya seolah seperti pisau yang siap menebas. Sesekali ia melihat ke arah Dimas. Melihat ada anaknya, Hans segara menarik tangannya dari pundak Dimas. Ia bersikap seolah – olah tidak terjadi apa – apa.
"Lagi apa Chris disini?". Kalimat yang diucapkan oleh Hans seakan ingin menutupi kebusukan dirinya. Hans mencubit Dimas. Sebuah kode yang mengisyaratkan agar dirinya segera pergi.
"Papah kenal dengan pria tadi?" Tanya Chris. Sekali lagi ia menatap dengan penuh kecurigaan.
Dengan terba – bata Hans pun menjawab pertanyaan tersebut.
"E…E, Enggak. Tadi hanya kebetulan ketemu didalam terus ngobrol". Hans menggigit bibirnya, seolah berharap Chris tidak mencurigai hubungannya dengan Dimas.
"Kalau gitu papah pergi dulu".
"Mau aku antar?"
"Gak perlu, papah bisa naik Taksi".
Chris lalu masuk dalam cafe dengan pikiranya yang masih diselimuti oleh tanda tanya besar. Ia lalu membalikan badan, dan melihat sang ayah masuk kedalam mobil bersama pria tersebut. Kecurigaan yang tadinya hanya sebatas tanda tanya, kini seolah menemukan jalan terang. Namun Chris mencoba menghalau pikirannya tersebut. Ia tidak ingin berburuk sangka pada ayahnya sendiri.
….
PERJALANAN MENUJU APARTEMEN..
Sepanjang perjalanan Dimas melihat gerak – gerik Hans yang nampak begitu gelisah.
"Hai, ada apa. Apa ada masalah?"
"Tidak". Jawab Hans dengan sangat datar.
Diperempatan lampu merah, sebuah tanda tanya yang menghantuinya selama perjalanan mu seolah tidak bisa dibendung lagi. Ia memberanikan diri bertanya kepada Hans tentang sosok laki – laki tersebut.
"Pria yang tadi itu siapa?" Tanya Dimas dengan rasa penasaran.
Hans hanya terdiam. Dimas mencoba mengulangi pertanyaannya, namun Hans seakan tak mendengar. "Hans!!". Bentakan keras yang keluar dari bibir Dimas seolah membangunkan Hans dari khayalannya.
" Ada apa, maaf ?"
"Kau tidak seperti biasanya".
Dimas lalu menatap Hans sembari memegang tangannya. Dengan suara yang agak lembut ia kembali mengulangi pertanyaannya.
"Tadi aku bertanya, siapa pria tersebut?"
"Di…dia, anak ku".
"Lalu, apakah dia curiga dengan kahadiran ku tadi?"
"Sedikit… tapi aku bisa mengatasinya, kau tidak perlu khawatir". Ujarnya, sembari mengelus rambut Dimas.
….
Setelah menempuh perjalanan kurang lebih satu jam, mereka pun sampai di apartemen. Seorang security yang berjaga pada malam itu menyapa mereka dengan sangat ramah. Saat berada didalam lift kegelisahan kembali menyelimuti Hans. Dimas ingin sekali menegurnya, namun karena ada beberapa orang, ia mencoba menelan tanda tanya tersebut.
Sesampainya di dalam kamar Dimas segera bertanya kepada Hans perihal kegelisahannya tadi. Namun belum juga bibirnya berucap, Hans memeluknya dengan sangat erat.
"Jangan pernah pergi meninggalkan ku"
"Kau kenapa?"
Dimas lalu meminta Hans untuk duduk sembari menenangkan pikirannya. Ia lalu membuatkan segelas teh hangat untuknya.
"Diminum dulu"
"Dim, sejujurnya aku sangat bingung tentang hubungan kita ini. Apalagi aku takut jika pada akhirnya anak dan istri ku akan mengetahuinya".
"Lalu, kau ingin hubungan ini bagaimana?" Dimas bertanya balik kepada Hans.
"Entahlah, aku juga tidak tahu".
….
VERA MULAI MENARUH CURIGA
Sejak menjalin hubungan dengan terlarang dengan Dimas, Hans seakan berubah. Ia kini lebih banyak menghabiskan waktunya diluar. Tak ada lagi makan malam atau pun sekedar menonton TV di ruang keluarga Bersama - sama. Padahal dulu, hampir setiap minggu Hans mengajak keluarganya untuk sekedar makan malam diluar. Namun, kini hal itu seakan hanya tinggal kenangan. Jangankan seminggu sekali, bahkan sebulan sekali pun sudah tak pernah . Tak hayal hal ini menimbulkan kecurigan bagi Vera. Sudah cukup lama ia memantau gerak – gerik Hans. Meski ia mencoba menghalau pikiran negatif tersebut, namun hati kecil seorang istri seakan tidak bisa dibohongi.
Dengan keraguan yang mendalam, pagi itu Vera mencoba menanyakan tentang apa yang menjadi keraguannya. Ia menghampiri sang suami yang tengah duduk di sofa sembari menonton acara TV.
"Mas, aku boleh duduk sini" tanya Vera.
Hans nampak tak memperdulikan pertanyaannya. Ia seakan acuh.
Vera pun mencoba mendekati suaminya. Menaruh kepala di pundak Hans. Namun Hans seperti tidak menginginkannya.
" Aduh, pundak ku lagi sakit." Rintih Hans.
Vera mengangkat kepalanya. Wanita setengah paruh baya itu mencoba terlihat tegar, meski matanya berlinang air mata. Dengan tertatih – tatih Vera pun memberanikan diri menanyakan kegelisahannya pada sang suami.
" Mas." Ujar Vera. Namun Hans seolah tak memperdulikan ucapannya. Vera mengulangi ucapanya lagi, sampai bentakan keras ia lontarakan dan akhirnya membuat Hans berucap.
" Kenapa sih!!!" Jawab Hans dengan nada membentak.
" Kamu lagi apa sih, aku dari tadi panggil gak jawab?"
" Aku lagi tidak ingin diganggu. Cukup jelas".
Hans lalu beranjak pergi, namun hal tersebut dihadang oleh Vera. Ia memegang tangan Hans. Seraya tidak merelakan suaminya pergi begitu saja tanpa jawaban yang jelas. "Lepaskan". Vera tidak mengidahkan perintah Hans. Hans membentak dengan nada yang lebih keras "Aku bilang lepaskan!". Namun, Vera seakan tidak mau kalah.
Lalu sebuah tamparan keras menghantam pipihnya. "Aku rasa hal tersebut sudah cukup jelas". Hans lalu pergi meninggalkanya, ia seakan tidak peduli dan merasa bersalah sedikit pun.
Sembari memegang pipihnya, Vera membasuh air matanya yang jatuh. Sakit. Pedih. Namun rasanya tidak sebanding dengan apa yang ia rasakan. Tamparan itu memang menyakitkan, namun lebih menyakitkan lagi jika sang suami acuh dan tak peduli. Vera, wanita setengah paruh baya itu seperti tersambar petir di siang hari. Ia tak pernah membayangkan, bahwa sang suami yang dulu sangat penyayang, kini bisa berubah layaknya seorang macam liar ditengah hutan.
…
Tangis seorang istri
Adalah kepedihan paling mendalam
Takala melihat sang suami seakan acuh dan tak peduli
…
Benar saja pepatah mengatakan, lebih baik tertusuk pisau daripada hati yang tersakiti. Jika tertusuk pisau, diobati maka akan segera sembuh. Namun jika hati tersakiti, rasanya sulit untuk mencari penawarnya. Derai air mata terus mengalir membahasi pipihnya. Air mata yang seakan adalah kepedihan yang begitu mendalam.
Sebuah klakson mobil terdengar di depan pagar rumahnya. Ia lalu mengintip dari jendela. Dilihatnya mobil sedan berwarna merah yang dipakai oleh anak semata wayangnya. Vera segera mengusap air matanya, ia lalu bergegas ke depan untuk menyambut kedatangan anaknya.
Vera nampak tersenyum menyambut kedatangan Chris, ia lalu memeluk anak semata wayangnya tersebut. Mencoba menahan air matanya yang hampir tumpah.
"Mama kenapa?" Tanya Chris dengan sangat lembut.
Vera hanya menggelengkan kepala seraya berkata tidak. Ia pun mencoba mengalihkan pembicaraan.
" Oh ya, udah makan belum. Mama udah masak kesukaan kamu tuh"
Meski Chris tahu bahwa Ibunya berbohong, namun ia tidak ingin melanjutkan pertanyaan itu. Tanda tanya besar itu pun akhirnya menjadi misteri yang seakan ingin dipecahkan oleh Chris. Apakah tangisan Ibunya berkaitan dengan sosok pria yang ia temui pada malam waktu itu.
Bersambung….