Pukul sebelas malam Seno tiba di apartemen miliknya. Pria bermata tajam itu segera membuka pintu apartemennya, ia berjalan masuk ke dalam dengan diikuti oleh Hanum. Wanita berhidung mancung itu melangkah dengan diiringi rasa takut. Sementara Seno berjalan menuju dapur untuk mengambil air minum. Setelah itu ia kembali ke depan di mana Hanum berada.
"Sebaiknya sekarang kamu tidur, besok pagi kamu harus ikut denganku," titah Seno seraya melepas jasnya.
"Saya tidak mau, Tuan. Tolong bebaskan saya, saya janji akan .... "
"Berani kamu membantahnya, maka aku tidak segan-segan untuk menutup mulutmu dengan pistol. Aku tidak suka dengan penolakan, jadi turuti saja," potong Seno dengan cepat, matanya menatap tajam wanita di hadapannya itu.
Seketika tubuh Hanum bergetar hebat, baru kali ini ia bertemu pria sekejam dia. Hanum memilih untuk diam, rasanya lidahnya kelu, ia tidak bisa berkata-kata lagi. Hanum juga menundukkan kepalanya, ia tidak berani menatap wajah sangar Seno, yang tatapan matanya seperti seekor singa yang ingin menerkam mangsanya.
"Sekarang kamu tidur, ini sudah malam. Jangan buat kesabaranku habis, kamu tidur di kamar ini." Seno membuka pintu kamar yang bersebelahan dengan kamarnya.
"Baik, Tuan." Hanum menganggukkan kepalanya, selepas itu ia memilih masuk ke dalam kamar tersebut. Hanum takut jika Seno akan berbuat yang terbaik.
Tak terasa hari telah berganti, pagi ini Seno sudah siap untuk pergi ke rumah orang tuanya. Saat ini pria berkemeja biru itu tengah duduk di sofa sembari menunggu Hanum. Lima menit kemudian pintu kamar terbuka, seorang wanita dengan balutan dress berwarna biru langit berjalan keluar. Mata Seno beralih menatap wanita yang tengah berjalan menghampirinya.
"Kamu baca ini dulu sebelum kita pergi." Seno menyerahkan kertas yang berisi tulisan tersebut pada Hanum.
Hanum menerima kertas itu dengan hati yang sudah gelisah. Ia tidak tahu apa yang tertulis di kertas tersebut. Hanum menarik napasnya, setelah itu ia mulai membaca isi kertas itu dengan seksama. Setelah lima menit, Hanum baru selesai, ia meletakkan kertas itu di atas meja. Hanum tidak menyangka jika Seno akan membuat perjanjian seperti itu.
"Bagaimana? Kamu sudah paham apa isi perjanjian itu?" tanya Seno.
"Jadi, Tuan menyuruh saya untuk berpura-pura menjadi calon istri .... "
"Iya, dan kamu harus melakukan apa yang tertulis di kertas itu. Kamu mengerti," potong Seno dengan cepat.
"Tapi, Tuan .... "
"Tidak ada tapi-tapian, sekarang juga kita berangkat." Lagi-lagi Seno memotong ucapan Hanum. Pria berkemeja biru itu segera memakai jasanya dan menarik tangan Hanum untuk mengikuti langkahnya.
Hanum kembali pasrah, ia tidak ingin membangunkan seekor singa yang tengah tertidur. Wanita berhidung mancung itu mengikuti langkah Seno dengan sedikit kesulitan. Sementara Seno terus melangkah menuju lift, pandangan matanya lurus tanpa memperdulikan tatapan orang di sekitarnya. Ia tidak perduli dengan mereka yang mau beranggapan apa tentang dirinya.
***
Mobil Lamborghini Gallardo berwarna putih berhenti di sebuah pelataran rumah yang mewah dan juga megah. Hanum ternganga melihat rumah yang ada di depan matanya, halaman yang luas bak lapangan sepak bola. Tiba-tiba saja Hanum tersadar dari lamunannya saat mendengar suara Seno yang menyuruhnya untuk segera turun.
Dengan sedikit gugup Hanum bergegas turun, Seno berdiri di sebelah Hanum, sementara wanita itu terlihat begitu gugup. Hanum menarik napasnya dan membuangnya secara perlahan. Setelah itu Seno menggandeng tangan wanita di sebelahnya itu untuk segera masuk ke dalam rumah megah itu. Mereka pun melangkahkan kakinya menuju teras rumah.
Keduanya berjalan masuk ke dalam rumah megah tersebut, Hanum menatap takjub akan keindahan rumah milik orang tua Seno. Sementara itu Seni meraih tangan Hanum dan mengajaknya menuju ke ruang tengah. Hanum hanya bisa pasrah, toh tidak ada gunanya lagi untuk menolak. Nasibnya berada di tangan Seno, si pria kejam.
"Pagi, Ma, Pa." Seno menyapa kedua orang tuanya, sementara Hanum memilih untuk diam dan tersenyum.
Meski dalam hatinya ia merasa gerogi dan juga takut. Namun sebisa mungkin Hanum menepis rasa takut itu, ia tidak ingin membuat Seno kesal dan juga marah. Regina dan Akbar tersenyum saat melihat putra mereka datang dengan membawa seorang menantu. Seketika Regina bangkit dari duduknya dan berjalan menghampiri Seno dan Hanum.
"Pagi, Sayang. Akhirnya kamu datang juga, dia siapa?" tanya Regina.
"Kenalin, Ma. Dia Hanum calon menantu, Mama." Seno merangkul pundak Hanum dan menariknya agar semakin mendekat.
"Cantik banget." Regina tersenyum seraya memegang pipi mulus Hanum. Sementara Hanum hanya tersenyum.
"Iya dong, Ma. Seno pintar kan cari calon istri." Seno memuji dirinya sendiri, membuat Hanum tersenyum.
"Ehem, tapi beneran Hanum itu calon istrimu. Kamu nggak bayar dia kan buat pura-pura jadi calon istrimu." Perkataan Regina sukses membuat Seno terkejut, begitu juga dengan Hanum.
"Mama apa-apaan sih. Mama pikir Seno cowok apaan. Cuma cari calon istri aja nggak bisa," ungkap Seno yang merasa kesal dengan ucapan Regina.
Regina tersenyum. "Iya, iya. Mama percaya kok, tapi kalian pacaran kapan, kok mama nggak pernah tahu," selidik Regina. Ia merasa curiga dengan pengakuan putranya itu.
Seno terdiam sejenak. "Udah lama, Ma. Seno sengaja rahasiain ini dari, Mama."
"Lalu hubungan kamu dengan Cristie," sela akbar. Hal itu membuat semuanya menoleh ke arahnya.
"Sudah berakhir, Pa. Bukannya ini yang kalian inginkan, berpisah dengannya dan menjalin hubungan dengan orang lain," ungkap Seno. Seketika Regina dan Akbar diam. Memang yang Seno ucapkan itu benar adanya.
"Kamu benar, Nak. Kita lupakan saja itu, sekarang kamu ajak calon menantu mama duduk, mama mau ke dapur dulu." Setelah mengatakan hal itu Regina beranjak menuju ke dapur.
Sementara itu, Seno mengajak Hanum untuk duduk bersama dengan Akbar. Selang berapa menit Regina datang bersama dengan bi Irah asisten rumah tangganya yang membawa nampan di tangannya. Bi Irah meletakkan empat cangkir teh manis yang hangat, tak lupa beberapa kueh dan cemilan lainnya. Setelah itu perempuan paruh baya itu berlalu kembali ke dapur.
"Hanum, silahkan minumnya. Jangan lupa cicipin kuehnya, tante sendiri yang buat loh." Regina duduk tepat di sebelah suaminya.
"Iya, Tante, terima kasih." Hanum tersenyum sembari menganggukkan kepalanya.
Setelah itu, mereka saling berbincang. Meski Hanum merasa canggung, tetapi ia mencoba untuk bersikap tenang. Hanum tidak ingin membuat Seno murka, bisa-bisa setelah pulang ia ditelan bulat-bulat oleh pria kejam itu. Cukup lama mereka berbincang, dan kini Regina mempertanyakan kapan mereka akan menikah. Hal itu membuat Hanum terlonjak kaget.
"Kapan kalian akan menikah?" tanya Regina, sementara Hanum terdiam dengan pikiran yang semrawut.
"Secepatnya, Ma. Iya kan, Sayang." Seno menggenggam erat tangan Hanum, seketika Hanum mendongak dan memaksakan diri untuk tersenyum.
"Iya." Hanum menganggukkan kepalanya.
"Bagus, kalau begitu cepat tentukan tanggal pernikahan kalian. Jangan lupa sebar undangan juga, semua biaya papa yang akan menanggungnya," ucap Akbar dengan begitu antusias.
"Iya, Pa. Seno sudah menentukan kapan kami akan menikah," ujar Seno, hal itu membuat Hanum membulatkan matanya.
Setelah selesai, dan rencana kapan akan menikah, Seno pun berpamitan untuk mengantar Hanum pulang. Namun mereka tidak tahu jika Hanum tinggal di apartemen milik putranya. Selama ini Seno juga jarang pulang ke rumah orang tuanya, karena pria itu sudah memiliki rumah sendiri. Setelah berpamitan, Seno dan Hanum melangkahkan kakinya keluar dari rumah megah tersebut.
***
Pukul sebelas siang Seno dan Hanum baru sampai di apartemen. Keduanya bergegas masuk ke dalam, Seno berjalan menuju dapur untuk mengambil air minum. Sementara Hanum memilih untuk duduk di sofa sembari melepas high heels yang ia pakai. Kakinya terasa sangat sakit, mungkin itu efek karena tidak terbiasa menggunakannya.
"Tuan, berarti tugas saya sudah selesai?" tanya Hanum dengan hati-hati. Ia takut salah bicara.
"Siapa bilang tugasmu sudah selesai, justru ini adalah tugas utama kamu. Yaitu menikah denganku, aku akan menjadikan kamu istri sementaraku sampai Cristie kembali," jelas Seno.
"Tapi, Tuan .... "
"Tidak ada tapi-tapian, tidak ada penolakan, dan tidak ada bantahan. Lakukan apa yang sudah aku perintahkan, ingat aku sudah membelimu dengan harga yang mahal. Jadi turuti apa yang aku mau, kamu mengerti." Seno memotong ucapan Hanum, lalu menjelaskan apa yang harus Hanum lakukan.
Hanum memilih untuk diam, tidak ada pilihan lain selain menurut. Wanita berhidung mancung itu memilih untuk pasrah. Percuma juga Hanum melawan, jika itu sudah menjadi keinginan Seno, tidak ada yang bisa membantahnya. Lagi-lagi Hanum menunduk, ia tidak berani menatap wajah Seno yang tengah marah itu.
"Aku akan ke kantor, kamu tetap di sini sampai aku kembali nanti. Jangan pernah berpikir untuk kabur," ucap Seno. Ia meraih jasnya dan segera memakainya.
"Kalau kamu lapar di kulkas ada makanan," lanjutnya.
"Baik, Tuan." Hanum menganggukkan kepalanya.
Setelah itu Seno berjalan keluar dari apartemen miliknya. Selepas Seno pergi, Hanum memilih untuk masuk ke dalam kamar. Ia tidak tahu harus ngapain, Hanum pun memilih untuk merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Benaknya kembali memikirkan apa yang Seno minta, ia harus menjadi istri sementara pria kejam itu. Sanggupkah Hanum melakukan apa yang pria itu inginkan.
"Kenapa, tante tega nenjualku, apa salah aku. Bukankah selama ini aku selalu mengalah," gumam Hanum. Matanya menatap langit-langit kamarnya.
Setelah itu Hanum bangkit ia berniat untuk mengganti bajunya. Wanita berambut panjang itu membuka almari pakaian, matanya terbelalak saat melihat ada lebih dari satu lusin pakaian wanita yang lengkap. Mungkinkah Seno yang mempersiapkannya, Hanum tersenyum sendiri saat membayangkan jika seorang Seno datang ke toko baju lalu memilih dan membeli pakaian wanita.
"Mungkinkah ini semua dia yang menyiapkannya," terka Hanum. Setelah itu ia memilih baju yang akan ia pakai.
Hanum mengambil dress yang panjangnya di bawah lutut berwarna merah muda. Setelah itu ia berjalan masuk ke dalam kamar mandi untuk berganti pakaian. Selepas itu Hanum berniat untuk membersihkan apartemen tersebut, ruang tamu dan dapur masih berantakan, begitu juga dengan kamar Seno. Dengan penuh keberanian, Hanum akan masuk ke dalam kamar Seno untuk membersihkannya.
***
Senja telah hilang berganti dengan terangnya cahaya rembulan. Hembusan angin terasa sangat dingin menyentuh kulit, sementara waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam. Saat ini Hanum tengah duduk di sofa, tiba-tiba saja telepon berdering, dengan sedikit ragu Hanum mengangkatnya. Hanum takut jika itu bukan Seno melainkan orang lain.
[ Ha-halo ]
[ Hanum, malam ini aku lembur. Aku pulang terlambat, sebaiknya kamu makan setelah itu tidur ]
[ Maaf, Tuan. Persediaan makanan di kulkas sudah habis, hanya cukup untuk makan siang saja ]
[ Ya sudah, satu jam lagi aku sampai. Kamu mau makan apa ]
[ Terserah, Tuan saja ]
[ Ya sudah, sebentar lagi aku pulang ]
Setelah itu sambungan telepon terputus, Hanum kembali meletakkan telepon tersebut. Setelah itu ia menyenderkan kepalanya di punggung sofa. Benaknya kembali memikirkan rencana gila dari Seno, menikah dan menjadi istri sementaranya. Sungguh tak pernah terduga hal itu akan Hanum alami, ia berharap semoga itu hanya mimpi, tetapi semua itu nyata.
Selang beberapa menit, pintu apartemen terbuka. Terlihat seorang pria berjalan masuk dengan membawa satu kresek berukuran sedang di tangannya. Dia adalah Seno, seketika Hanum bangkit dari duduknya. Seno berjalan ke arah sofa dan meletakkan kresek itu di atas meja.
"Cepat makan, setelah itu kamu tidur. Besok kita harus fitting baju pengantin," ucap Seno. Hanum tersentak mendengar ucapan pria itu.
"Baik." Hanum membawa kresek itu menuju meja makan.
"Tuan sudah makan atau .... "
"Aku sudah makan," potong Seno dengan cepat. Pria itu bergegas masuk ke dalam kamarnya untuk membersihkan diri.
Saat Hanum sedang makan, tiba-tiba ia merasa ada hewan kecil yang melintas di dekat kakinya. Seketika Hanum memeriksanya, dan detik itu juga wanita berambut panjang itu menjerit histeris saat mendapati seekor tikus tengah mondar-mandir di bawah kakinya. Seno yang mendengarnya langsung keluar dari kamar.
Hal tak terduga pun terjadi, saat Hanum berlari tiba-tiba tidak sengaja menabrak tubuh tegap Seno. Alhasil Hanum jatuh menimpa tubuh Seno yang tengah bertelanjang dada. Seketika Hanum menjerit saat melihat dada bidang Seno.