Ditangan Guin sudah ada bunga yang siap dilemparkan untuk para tamu. Eve juga tidak mau kalah dengan yang lain. Eve berdiri paling depan. Gavin sudah memegang bunga itu bersama Guin.
1... 2... 3...
Bunga sudah melayang ke udara. Saat itu, Ralio tidak tahu kalau sedang ada sesi pelemparan bunga sehingga Eve yang tidak tahu dengan kedatangan Ralio yang tiba-tiba, tidak sengaja menabrak Ralio.
BRUKKK...
Eve terjatuh di atas tubuh Ralio dengan tangan mereka yang sama-sama memegang bunga. Guin terkejut dengan kejadian yang menghebohkan.
"Eve!" teriak Guin.
Guin berjalan mendekati Eve yang masih belum beranjak dari Ralio. Langkah Guin yang panik disusul Gavin.
'Ehhh, kenapa tidak sakit?' batin Eve.
"Bisakah kau berdiri, Nona? Anda mau sampai kapan menindihku?" ucap Ralio.
"Kyaaaa... Mesum!" teriak Eve.
Ralio kesal mendengar Eve meneriakinya mesum. Sudah jelas siapa yang menindih siapa. Sudah jelas juga tangan siapa yang menggenggam tangan siapa tapi namanya juga wanita, spesies langka yang tidak bisa diprediksi keinginannya.
"Eve, kau tidak kenapa-kenapa?" tanya Guin yang terserang kepanikan.
"Guin, lihat, Tangan!" tanpa sadar, tangan Eve dan Ralio masih berpegangan.
"Kyaaa, mesum!" untuk kedua kalinya Eve meneriaki Ralio. "Lepasin tangan saya," pinta Eve.
"Hah? Nona, saya rasa Anda tidak buta."
"Apa maksudmu?" tanya Eve tidak mengerti.
"Anda lihat. Sebenarnya yang tidak mau melepaskan tangan itu siapa?" Ralio mengangkat tangannya yang memegang bunga.
'Hah? Kenapa bisa begini? Jadi sebenarnya yang mesum itu aku?' batin Eve.
Eve menoleh ke arah Guin dan memberikan kode mata supaya Guin membelanya. Eve malu karena sudah salah paham pada Ralio. Mereka menjadi tontonan sehingga Eve yang ingin meminta maaf jadi enggan.
"Guin, Ralio juga mau menikah seperti kita," ucap Gavin manja.
"Hsssttttt... Gavin tidak boleh mengejek mereka," bisik Guin.
Ralio baru menyadari kalau dirinya menjadi pusat perhatin. Tidak ada cara lain untuk meluruskan salah paham yang terjadi kecuali satu cara.
'Kalau Nona ini marah, urusan nanti. Sekarang selesaikan dulu masalahnya,' batin Ralio.
Ralio berlutut didepan Eve dan memberikan bunga itu pada Eve dengan kata-kata manis. Ekspresi Ralio yang selama ini datar, malam ini berbeda. Ralio tersenyum, membuat wajahnya terlihat semakin menggemaskan.
"Kita sedang bertengkar tapi coba kau lihat, Tuhan sepertinya mau mempersatukan kita dengan bunga ini," ucap Ralio.
'Siapa nama Nona ini?' batin Ralio.
Eve hanya diam seperti wanita bodoh. Tindakan Ralio benar-benar membuat Eve syok. Bukan rasa malu atau tidak paham dengan situasi tapi Eve takut kalau ada rekan bisnis Keluarganya yang mengenal dan mengetahui kejadian ini.
"Maukah kau memaafkanku? Bisakah kita mengulang semuanya dari awal?"
Sempurna. Aktingnya terlihat begitu alami. Andai saja Ralio adalah artis, mungkin dia akan menjadi Raja film di dunia hiburan.
"Berdirilah!"
Eve tetap bisa konsentrasi walaupun pikirannya terpecah belah dengan tindakan Ralio yang sembrono.
Tepuk tangan kembali terdengar riuh. Siapa yang mengawalinya? Tentu saja Aland dan tunangannya, Sellia. Suasana yang tadinya damai, menjadi ricuh kembali.
"Sejak kapan seorang supir berani memiliki hubungan dengan Nona besar Keluarga Hafsyah?" tanya Aland dengan kepercayaan diri yang tinggi.
"Anda siapa ya? Tuan muda dari mana?" balas Eve.
"Apa Nona tidak mengenal siapa saya?"
"Saya rasa Anda tahu kalau saya terlalu sibuk. Saya tidak memiliki waktu untuk mengenal Tuan muda yang tidak memiliki sopan santun seperti Anda!"
Eve, gadis yang berumur 23 tahun. Bersikap sangat dewasa dan juga bijak. Eve bukan gadis ceroboh. Eve gadis yang cerdas sehingga selalu menggunakan akal sehatnya untuk melawan orang yang tidak tahu diri.
"Wahhh, nyali Nona besar sekali ya," ledek Aland.
"Bukan nyaliku yang besar tapi nyalimu yang terlalu kecil!"
Malas meladeni Aland, Eve menarik tangan Ralio pergi karena jika tidak membawa Ralio bersamanya, pertanyaan baru akan muncul dari para tamu.
Gavin mengenggol lengan Guin karena Guin menatap kepergian Eve dengan serius. Tamu undangan kembali fokus pada acara.
"Wahhh, wanita bodoh mana yang mau menikah dengan pria cacat?" tanya Sellia dengan nada suara mengejek.
'Orangtua Gavin sedang sibuk dengan tamu. Aku harus bisa lindungi Gavin dengan baik,' batin Guin.
"Guin, jangan!" cegah Gavin dengan wajah yang tertunduk lesu.
"Serahkan saja padaku," bisik Guin.
Peperangan seperti akan terjadi jika melihat tatapan mata Guin dan Sellia seperti memiliki aliran listrik bertegangan tinggi.
Guin sudah terbiasa menghadapi orang-orang seperti Aland dan Sellia yang penuh dengan tipu muslihat. Guin sudah tidak terkejut lagi. Beberapa hari yang lalu hatinya masih lunak tapi sekarang hatinya sudah mengeras karena percuma baik pada orang yang tidak menerima kebaikan itu.
"Nona dari Keluarga mana ya? Apa Tuan muda mengambil seorang pengemis untuk dijadikan Istri?" ejeknya.
"Gavin, acara selesai jam berapa?" Guin mengabaikan Sellia yang tengah mengejeknya.
'Pelajaran yang paling mudah adalah tidak memperdulikan orang yang ingin menjatuhkan,' batin Guin.
"Heh Nona! Apa kau tuli?" Sellia kehilangan kesabarannya dan memanggil Guin dengan suara yang cukup keras.
"Nona berbicara denganku?" tanya Guin santai.
"Kau pikir dari tadi aku berbicara dengan siapa?" bentak Sellia.
"Pffftttt... Anda sangat lucu, Nona. Anda tidak memanggil nama saya, ehhhh... Emmmm, atau jangan-jangan Anda tidak tahu nama saya dan sok kenal lalu mengajak saya bicara?" balas Guin dengan nada suara yang tetap terkontrol.
"Beraninya wanita kotor sepertimu berbicara denganku!" amarah Sellia semakin memuncak.
"Pantas saja Tuan muda Aland mendekatiku, ternyata Anda memiliki sikap yang sangat memalukan. Bukankah begitu, Tuan Aland?"
"Jangan memfitnahku! Siapa yang menggoda wanita sepertimu?" bentak Aland
"Bawa tunanganmu pergi atau aku akan membongkar betapa busuknya dirimu," bisik Guin pada Aland.
Aland mengepalkan tangannya karena tidak dapat melawan Guin. Padahal Aland belum melakukan apa-apa untuk memikat Guin jadi bukti yang dimiliki Guin sudah jelas hanyalah ilusi.
Sellia tidak ingin pergi tapi Aland memaksanya dengan rayuan manis yang membuat Guin mual mendengarnya. Guin menghela nafasnya beberapa kali.
Guin berusaha menutupi kekurangannya yang lemah dengan berpura-pura menjadi wanita yang berani melawan ketika sedang ditindas.
"Guin takut?" tanya Gavin.
"Tidak. Aku hanya sudah merasa sangat lelah," jawab Guin mengelak.
Gavin mengernyitkan alisnya yang tebal karena Guin mengelak untuk bicara jujur dengan apa yang dirasakannya.
'Guin, terimakasih terus membelaku disaat Mommy tidak ada,' batin Gavin.
"Gavin, setelah acara selesai kita mau ke mana?" tanya Guin.
"Ke rumah kita."
"Hah?" pekik Guin.
"Iya, rumah kita. Ingat, rumah aku sama Guin berarti rumah kita."
"De—dengan si—siapa kita tinggal?" kegugupan Guin sangat terlihat.
"Hanya kita berdua," jawab Gavin manja.
"Ke—kenapa hanya berdua?"
Gavin tertunduk lesu mendengar pertanyaan Guin yang secara tidak langsung, tidak ingin tinggal dengannya. Perasaannya berkecamuk, apalagi perasaan yang hampir membuat dada Gavin meledak seperti hanya dirasakan oleh Gavin seorang.
"Aku ingin menghabiskan malam yang panjang bersama Guin."