"Si—siapa yang mau telanjang didepan Gavin?" pekik Guin gugup.
"Guin malu? Tapi aku tidak malu," ucap Gavin.
"Berhentilah bicara. Gavin bantu saja," ucap Guin.
'Gavin, bisa-bisanya dia berbicara seperti itu. Bikin deg-degan,' batin Guin.
Tangan Gavin yang besar, otot-otot jarinya terasa ketika tangan itu menyentuh pundak Guin. Guin memejamkan matanya karena sentuhan itu terasa menggelitik.
Perlahan, tangan itu turun untuk melepaskan tali pita pengait gaun. Tidak membutuhkan waktu lama, gaun itu sudah terasa longgar.
CUP...
Satu kecupan dari Gavin mendarat di tengkuk Guin. Guin hanya terbelalak tanpa bisa menolak karena sekali bergerak, gaun yang dipakainya akan merosot jatuh.
"Pakai ini kalau Guin malu," Gavin memberikan handuknya pada Guin.
"Ah, terimakasih!"
Guin kembali masuk ke dalam kamar mandi dengan wajah yang tersipu. Gavin berkaca diri dan memperhatikan bibirnya.
"Hmmmm... Rasanya tidak buruk," gumam Gavin.
***
KEDIAMAN KELUARGA GRISSHAM
Nyonya Calista berjalan mendahului Tuan Grissham. Kebenciannya selalu berkobar dan tidak pernah redup seperti api yang terus disulut hingga menjadi besar.
"Sangat tidak menghargai. Ayah saja belum masuk rumah, bagaimana bisa Bibi berjalan meninggalkannya?" ucap Aland.
"Ini adalah rumahku, atas namaku, uangku, hartaku, milikku. Kalau tidak menyukai pemilik yang tidak sopan, kau boleh pergi dan tidak menumpang hidup lagi denganku!" balasan dari Nyonya Calista jauh lebih pedas.
"Seharusnya kau yang pergi ikut dengan Putramu," ucap Nyonya Amber.
"Kau benar Amber, kalau aku sebaiknya ikut dengan Putraku."
"Jadi pergilah kalau kau tahu diri."
"Baiklah! Kalian hanya memiliki waktu malam ini untuk berkemas. Rumah ini akan aku kosongkan besok karena aku akan ikut dengan Putraku," ucap Nyonya Calista dengan tatapannya yang tajam.
"Aku tidak akan pergi dari rumah ini karena rumah ini juga terdapat hak Putraku!" teriak Nyonya Amber.
"Grissham, sekarang kau tahu bukan, Istri seperti apa yang kau nikahi?" ucap Nyonya Calista.
"Aland, bawa Ibumu pergi dari hadapanku sebelum ku jatuhkan talakku," ucap Tuan Grissham geram.
Tuan Grissham menyusul Nyonya Calista yang sudah menahan amarahnya. Sayangnya, pintu kamar Nyonya Calista sudah dikunci sebelum Tuan Grissham masuk.
"Li, buka pintunya. Aku tahu kalau aku salah. Apa tidak cukup kau menghukumku selama ini?"
Tidak ada jawaban. Tuan Grissham hanya menyandarkan tubuhnya di pintu. Suara tangisan terdengar begitu lirih bahkan jika tidak didengar dengan saksama, tangis itu tidak akan diketahui oleh orang lain.
"Calista, untuk ribuan kalinya kau menangis dan semua itu karena aku," gumam Tuan Grissham.
Aland menghampiri Tuan Grissham setelah mengantarkan Nyonya Amber masuk ke dalam kamarnya.
Aland seperti orang asing dimata Tuan Grissham karena tidak ada tatapan hangat yang Tuan Grissham berikan. Tuan Grissham hanya memberikan kehidupan yang layak dalam segi materi tanpa ada kehangatan cinta yang mengiringi.
"Aland, bagaimana dengan Ibumu?" tanya Tuan Grissham.
"Ayah, bisakah kau bersikap lebih baik pada Ibu?" pinta Aland.
"Apa menurutmu aku tidak baik?" bantah Tuan Grissham.
"Ayah, lebih dari 20 tahun aku hidup, Ayah sama sekali tidak pernah bersama Ibu. Menyapa Ibu dengan tatapan hangat, apa Ayah pernah melakukannya?"
"Aland, kau tidak akan mengerti dengan kerumitan masalah ini," jelas Tuan Grissham.
"Kerumitan? Jika Ayah bisa adil, apa akan ada kerumitan? Ibu juga tidak akan serakah seperti sekarang kalau Ayah adil," teriak Aland.
Aland seperti kehabisan kesabaran hingga berbicara dengan nada suara tinggi. Tuan Grissham sedikit tersentak namun ekspresinya kembali terkontrol.
"Kau fokus saja dengan proyek yang aku percayakan padamu," ucap Tuan Grissham sembari menepuk pundak Aland.
"Ayah, apa semua kerumitan ini terjadi karena aku? Apa aku bukan Putra?"
***
Guin duduk manis dengan memakai baju tidur yang sudah disiapkan oleh Keluarga Gavin. Guin sedang mengeringkan rambutnya yang indah dengan handuk.
Guin menoleh setelah mendengar teriakan Gavin yang heboh. Guin yang panik langsung melemparkan handuknya ke sembarangan arah.
Glek... Glek... Glek...
Guin menelan air liurnya saat melihat wajah Gavin yang bersinar. Rambut basah yang berantakan, juga piyama yang tidak dikancing dengan benar. Otot ditubuh Gavin terlihat, apalagi bentuk tubuhnya yang sangat sempurna.
"Guin, bagaimana cara pakainya?" rengek Gavin dengan manja.
Guin mengambil kembali handuk yang tadi dipakai untuk mengeringkan rambutnya. Guin lalu berjalan mendekati Gavin dan menutupi rambut Gavin dengan handuk yang dibawanya.
"Keringkan dulu rambutnya, nanti masuk angin," ucap Guin.
"Ini pakainya bagaimana?"
"Biar aku yang kancingkan ya."
Teriakan Gavin yang membuat Guin panik, ternyata hanya karena Gavin kesal tidak bisa mengancingkan piyama yang akan dipakainya.
Malam semakin larut dan mereka belum memejamkan matanya. Acara besar membuat tubuh keduanya sangat kelelahan. Guin masih harus mengurus Gavin meskipun sebenarnya rasa kantuk sudah menyerang.
"Duduklah! Aku mau membantumu untuk mengeringan rambut biar Gavin bisa cepat tidur," ucap Guin.
Gavin seperti anak kucing yang begitu penurut. Mungkin saja jika Guin memintanya untuk terjun dari angkasa, Gavin akan melakukannya.
Tangan lembut dan jari jemari yang lentik mulai menyentuh kepala Gavin. Tangannya bergerak-gerak, sesekali jari jemari Guin memijat lembut kepala Gavin.
"Guin sudah mau tidur?"
"Iya. Ayo kita tidur. Rambutnya juga sudah kering."
Guin percaya kalau Gavin tidak akan mengerti apa yang seharusnya dilakukan oleh Suami Istri dimalam pertama, jadi Guin dengan tenang tidur disebelah Gavin.
Mata Guin belum terpejam tapi Gavin sudah tertidur pulas seperti seorang bayi setelah meneguk sebotol susu. Tangan Guin membelai wajah Gavin dengan pelan. Matanya tak berhenti menatap Gavin dan buliran airmata jatuh tanpa bisa ditahan.
"Gavin, hanya kau dan Eve yang menerimaku. Aku sudah dibuang dan tidak memiliki siapa-siapa. Apa kau juga memiliki kehidupan yang sulit sepertiku?" gumam Guin lirih.
Tangan kekar Gavin merangkul Guin. Dengan mata yang masih terpejam, Gavin seperti ingin memeluk Guin untuk memberikan kenyamanan.
Guin mendekat tanpa sungkan karena memang sedang membutuhkan sebuah pelukan hangat. Lambat laun tangisnya hilang dan tertidur.
Gavin membuka matanya dan menatap Guin yang tidur dilengannya. Tangan Gavin membelai lembut pipi Guin. Waktu seperti bergantian membuat Gavin dan Guin saling melakukan hal yang sama tapi dengan waktu yang berbeda.
Gavin semakin misterius, berubah-ubah dan tidak bisa ditebak. Terkadang tersenyum licik seperti bos sombong, terkadang berbicara seperti anak-anak dan terkadang diam dengan seribu arti.
Apakah karena efek penyembuhan yang selama ini dijalani olehnya sehingga Gavin terkadang normal dan terladang sangat terlihat kekurangannya? Semuanya seperti menjadi rahasi.
Hidup Guin juga tak kalah dengan seribu misteri didalamnya. Tuan Garmond tidak mungkin mengadopsi Guin tanpa alasan, apalagi cara mereka memperlakukan Guin tidak layak jika disebut dengan Orangtua asuh.
Tubuh Guin yang kurus sangat memperlihatkan bagaimana malang hidupnya selama ini. Nyonya Calista tahu kalau pengantin wanita ditukar, hanya saja pernikahan tetap dilaksanakan. Hal itu menambahkan bumbu rahasia didalam sebuah hubungan yang cukup rumit.
Gavin mengecup kening Guin lama. Guin bergerak dan Gavin melepaskan bibirnya dari kening Guin. Wajahnya tetap cantik meskipun dia tertidur.
"Selamat tidur, Guin!" bisik Gavin