Hendrick tidak tahu mengapa baru kali ini ia kebobolan. Ia tidak pernah menyangka akan membuat Sera hamil di waktu yang tidak tepat. Bahkan setelah bertahun-tahun melakukan itu, kenapa baru sekarang? Pikirnya.
Ia butuh Mayleen. Bukan untuk melampiaskan emosinya melalui seks. Hanya membutuhkan Mayleen dan memberikannya nasihat ataupun masukan. Tapi keadaan tak mendukungnya sebab Mayleen tak menjawab-jawab panggilannya setelah terakhir kali ia memberitahukan berita itu.
"Damn it!" rutuknya.
Ia sendiri siap jika harus menikahi Sera. Walau tanpa cinta. Ia siap segala hal. Baik diri maupun finasialnya. Hanya sayangnya, Sera yang ternyata tak siap untuk menuju hubungan yang lebih serius.
Jika waktu bisa diputar, ia berharap segera mengakhiri hubungannya dengam Sera. Tapi ia memiliki pikiran bahwa ini adalah kesengajaan Sera menjadikan dirinya hamil.
Setelah beberapa jam di luar dengan putus asa, Hendrick kembali ke rumahnya. Sera sudah pulang dari sana dan ia bisa menghela napasnya walau sedikit. Bukannya ia tidak bertanggungjawab, hanya saja ia merasa terkejut. Sebab di saat seperti ini, ia berencana untuk menyudahi hubungannya sementara Sera ingin ia tetap tinggal.
"Apa kau menemukan yang kau cari?" tanya Olive.
Hendrick menggelengkan kepalanya. Yang ia cari dan ia butuhkan adalah Mayleen. Bukan angin atau hiburan semata.
"Kau sudah besar, Hendrick. Kau memang salah, begitu juga Sera. Tapi sebaiknya jangan menggunakan emosi untuk menyelesaikan masalahmu," kata Olive.
"Bukankah kau tidak menyukainya, Mom?" tanya Hendrick.
"Memang. Tapi seperti yang kubilang tadi, di rahimnya ada cucuku. Aku tidak bisa tidak menyukai cucuku, kan?"
Ia menundukkan kepalanya dan Olive menariknya ke dalam pelukannya. Seorang Ibu tentu tahu apa yang anaknya butuhkan di saat keadaan terdesak seperti ini.
"Maafkan aku mengecewakanmu," ujar Hendrick.
"Sudahlah, sebaiknya kau ubah segala rencanamu untuk anakmu mendatang. Jika ia memang tidak mau menikah, maka kau harus memikirkan masa depan anakmu."
Hendrick mengangguk dan ia melepaskan pelukan Olive. Ia menyandarkan tubuhnya di sofa dengan kepala mendangak ke atas. Olive meninggalkannya dan kini gantian Rob yang datang duduk di hadapan putranya.
Hendrick meliriknya dan menghela napasnya. "Oh, Dad ... kau akan memberiku petuah-petuah khasmu, kan?"
Rob tertawa dengan suaranyanyang menggelegar. Rambutnya yang sudah sedikit memutih dengan tubuhnya yang besar dan tinggi menatap anaknya dengan lembut.
"Kau sangat tahu apa yang akan kukatakan, Nak?"
"Tidak. Tapi aku tahu pastinya khasmu seperti apa."
"Well, begini ... satu pertanyaan sederhana dengan jawaban tanpa embel-embel."
Hendrick menelengkan kepalanya hingga ia mengerti maksud Ayahnya. "Katakan."
Rob berdeham dan tertawa sebelum ia mengajukan pertanyaan pada putranya. Membuat Hendrick merasa terhibur dengan tawa Ayahnya.
"Apa yang lucu, Dad?"
"Hanya saja, aku sudah melihat sejak lama tapi tidak pernah benar-benar bertanya padamu," katanya menjawab.
Satu alis Hendrick terangkat. Ia tak sabar dengan apa yang akan ditanya oleh Rob. Tapi ia bisa menunggu sembari laki-laki tua di hadapannya itu menyalakan cerutunya.
Rob mengepulkan asap dari cerutunya membentuk bulatan-bulatan yang lalu tidak berbentuk lagi. Kemudian ia menatap Hendrick lagi.
"Siapa yang kau cintai? Sera atau Mayleen?" tanya Rob pada inti.
"Dad ... kenapa kau mendadak bertanya itu? Kupikir-"
"Itulah pertanyaannya, Nak. Sederhana dan kau hanya tinggal menjawabnya."
"Dad, tapi-"
"Jadilah laki-laki dewasa yang berani pada kejujuran, Hendrick."
Selama hubungannya bersama Sera berjalan, Rob tidak pernah bertanya seperti itu padanya. Tapi kenyataannya Rob tahu siapa yang anaknya itu cintai. Hanya tinggal pengakuan dari Hendrick.
"Aku mencintai Mayleen, Dad."
Dan Rob pun tahu bahwa ia memang benar mengenai siapa yang putranya cintai.
***
Berkebun tidak selalu menjadi hal buruk bagi yang tak suka berkebun. Seperti halnya Mayleen, ia tak suka berkebun, tapi ketika Audrey mengajaknya ke halaman belakangnya, mau tak mau ia mengikutinya. Rupanya, melihat hijau-hijau tumbuhan dengan bunga berwarna-warni membuatnya tentram dan mengalihkan pikirannya.
"Ternyata menyenangkan juga," kata Mayleen berjongkok melihat Audrey sedang berkebun.
"Yeah. Rasanya tenang, bukan?"
Mayleen mengangguk dengan senyuman dan suara mobil berhenti tepat di depan rumah Audrey. Ia menatap sebentar mobil itu dan merasa sangat tidak asing. Lalu ketika seorang laki-laki keluar dari mobil itu, matanya membelalak.
"Holly shit! Audrey! Kenapa dia ada di rumahmu?" tanya Mayleen berbisik seraya memberiksn gesture pada sosok yang ia lihat.
Audrey ikut terkejut lalu ia menolehkan kepalanya. Lalu ia berdecak dan menggeleng-gelengkan kepalanya. "Well, sepertinya aku belum memberitahumu kalau dia adalah sepupuku. Apa kau mengenalnya?"
Bukan hanya mengenal, tapi juga Mayleen bahkan sudah bercinta dengannya beberapa kali. Yang dilihatnya adalah Ken. Yang ternyata adalah sepupu Audrey.
Mayleen mengangguk ragu. Ia tidak tahu, haruskah bertemu dengan Ken yang saat ini sedang di rumah Audrey, atau memilih tidak bertemu dengannya.
"Wow! Keren! Dia orang yang sangat sulit ditemui. Bagaimana kau bisa mengenalnya?" tanya Audrey.
"Errr ... ceritanya panjang," jawab Mayleen masih tak fokus.
"Ayo, kita bertemu dengannya. Dia pasti mengenali mobilmu, kan?"
Dan benar, ketika Mayleen mengusulkan ingin sembunyi dari Ken, karena ia sedang tak ingin bertemu dengan laki-laki yang dekat dengannya, ia tahu ia tak bisa. Sebab Ken mengenali mobilnya. Itu sudah pasti.
Mayleen mengikuti Audrey masuk ke dalam rumahnya. Temannya itu langsung memeluk Ken begitu mereka bertemu. Sementara tatapan Ken tertuju pada Mayleen dengan satu matanya terkedip padanya.
"Kudengar kau mengenal Mayleen. Jadi, aku tak perlu memperkenalkanmu padanya, kan?" ujar Audrey.
"Ya. Aku mengenalnya. Apa kabar Mayleen?" tanya Ken dengan sopan.
"Aku baik. Trims. Kau sendiri bagaimana?"
Audrey menuju dapurnya untuk menyiapkan suguhan untuk sepupunya sambil menunggu orang tua Audrey kembali dari bepergian.
Ken duduk di sisi Mayleen. Sangat dekat hingga membuat Mayleen merasa tak keruan. "Kau seperti biasa, wangi. Dan aku tak menyangka bahwa kau adalah teman Audrey," kata Ken dengan suara sensualnya.
Mayleen tersenyum dan menatap Audrey yang tengah sibuk di dapur. "Jangan memujiku. Aku ke sini untuk berpiknik. Padahal aku tak ingin bertemu denganmu," ungkap Mayleen.
Ken terkekeh dan mengacak-acak rambut Mayleen. "Well, tapi kita bertemu. Apa kau menyesal bertemu denganku?"
"Sedikit. Tadinya aku ingin bersembunyi, tahu."
"Kenapa kau jujur sekali memberitahuku, Mayleen?"
"Sebaiknya memang begitu. Karena aku tak ingin lagi membohongi diriku sendiri yang membuatku merasa tersakiti," jelasnya.
Ken tersenyum. Ia senang mendengar kejujuran Mayleen. Ia juga tahu sedikit banyak mengenai permasalahan wanita di sampingnya itu.
"Well, aku akan menetap beberapa blok dari rumah Audrey. Salah satu rumah mungilku. Jika kau-"
"Aku akan mampir. Aku tak mungkin melewatkanmu jika kita sudah bertemu seperti ini, kan?" potong Mayleen dengan intonasi yang tiba-tiba membuatnya bergairah.