Baixar aplicativo
52.17% Haters and Lovers of Rain / Chapter 12: Chapter 11

Capítulo 12: Chapter 11

Haaaaaah.

Rian menghela napas berat sambil memandang lurus ke depannya, dimana terbentang sebuah sungai dengan aliran air yang jernih dan cukup deras. Saat semua murid telah berkumpul tadi, Bu Freya segera memberi tugas untuk menyusuri sungai dan mencatat hal-hal yang menarik perhatian mereka, yang kemudian nantinya akan mereka jadikan sebagai bahan penelitian.

Haaah. Kembali, Rian menghela napas. Dadanya terasa sangat berat. Ia merasa sangat tersiksa. Harus kembali ke tempat yang paling ia hindari, tempat yang meninggalkan kenangan buruk padanya.

Teman-temannya yang lain sudah sibuk kesana-kemari mencari objek penelitian mereka, sedangkan Rian, untuk melangkah mendekat saja ia merasa tak sanggup.

"Ayo kita juga mulai nyari, Yan!" ajak Arga sambil berjalan terlebih dahulu.

Rian memejamkan matanya dan menunduk. Ia lalu berusaha menstabilkan pernapasan dan detak jantungnya yang sedari tadi tak karuan. Kedua tangannya yang sangat dingin ia tautkan, berharap bisa menghangat walaupun sedikit.

Setelah beberapa menit, ia mengangkat kepalanya dan menatap ke depan.

'Oke, tenang, Rian. Tenang. Jangan panik. Bersikaplah biasa saja,' batinnya.

Rian menghela napas singkat, lalu dengan ragu mulai mengangkat kakinya selangkah demi selangkah mendekat ke Arga yang sudah berada di pinggir sungai itu.

Rian dan Arga pun mulai menyusuri pinggir sungai. Tapi tak lama kemudian, Arga menghentikan langkahnya dan berbalik menatap Rian. "Eh, Yan, gue mau pergi ambil minum dulu, ya. Gue haus banget, nih," katanya.

"Lo mau nitip sesuatu, gak?" tanya Arga.

Rian menggeleng.

"Oke, deh. Gue pergi dulu, ya!"

Rian menatap punggung Arga yang semakin menjauh meninggalkannya. Ia lalu kembali menatap ke depannya dengan nanar. Aliran sungai yang begitu jernih dan damai itu terlihat begitu menyeramkan baginya. Gemericik air sungai pun terdengar sangat menakutkan untuknya.

Deg ... deg ... deg ...

Jantungnya kembali berdegup kencang. Rian menelan ludahnya susah payah.

"Wah, liat deh. Airnya jernih dan bersih banget!"

"Iya, ya."

"Kayaknya seger juga, deh!"

Ocehan teman-temannya itu seketika membuat sekelabat bayangan masa lalu Rian muncul kembali.

"Liat deh. kak. Airnya jernih banget. Agak dingin, tapi aku suka!"

"Ih, Kakak cepetan dong! Aku udah mau main air, nih!"

"Kak Rian!"

Haaaaaaaah.

Rian menarik napas panjang. Mengisi kadar udara di dadanya yang terasa semakin menipis.

Rian menarik dan membuang napas berkali-kali. Berusaha membuat dirinya kembali tenang.

Baru saja dirinya merasa bisa bernapas lebih lega, beberapa tetes air tiba-tiba menerpanya.

"Eh? Hujan?"

"Ah, kok pake ujan segala, sih?!"

"Duh, ujan, nih. Cepetan neduh!"

Para murid segera berlari meninggalkan area sungai untuk mencari tempat berteduh terdekat. Sedangkan Rian membeku di tempatnya. Keringat dingin mulai membanjirinya. Dadanya naik turun dengan cepat. Matanya bergerak gelisah.

Hah ... Hah ... Hah ...

Sesak. Nafasnya tercekat. Udara yang masuk ke dadanya terasa sangat kurang.

"Kakak! Kakak! Kak Rian!"

"Kak Rian, cepetan!"

"Kak, tolong aku!"

"Tolongin Caca, Kak!"

"Kakak!"

"Kak Riaaaaannnn!!!!!"

Brugh

Rian berlutut. Tubuhnya terasa lemas. Rian menutup kedua telinganya dengan tangan yang gemetaran. Berharap suara-suara yang didengarnya itu bisa menghilang. Tapi percuma. Suara itu masih terdengar dengan sangat jelas olehnya.

Sekitar sungai itu sudah sepi. Hanya tinggal beberapa murid yang juga sudah bergegas untuk pergi berteduh. Hujan yang tadinya hanya berupa gerimis kecil, kini mulai semakin deras.

Sementara itu, Raina yang juga berada di dekat sungai masih enggan untuk beranjak dari posisinya. Gadis berambut panjang itu masih menikmati setiap tetes hujan yang mengenainya. Secara tak sengaja, pandangannya tertuju pada Rian. Raina mengeryitkan dahinya.

"Kak Rian?" gumamnya sambil menajamkan matanya.

Raina melangkah pelan mendekat ke arah Rian yang terus menunduk dengan mata tertutup juga tangan yang menutup kedua telinganya. Badannya bergetar hebat.

"Kak? Kak Rian! Kakak kenapa?!" tanya Raina cemas melihat keadaan Rian yang terlihat tak baik-baik saja itu.

Rian tak bereaksi apa-apa terhadap Raina. Tubuhnya malah semakin bergetar. Kedua tangannya meremas rambutnya.

"Aaaaaaagggggghhhhh!"

"Aaaaaaagggggghhhhh!"

Rian berteriak kencang. Bukan hanya sekali, tapi berkali-kali. Raina sontak terkejut dan tak tahu harus melakukan apa melihat Rian.

"Ka--Kak Rian! Kakak kenapa?!"

Raina kemudian berjongkok di depan Rian dan memegang kedua bahu Rian dan mengguncang-guncangnya. "Kak! Kak Rian, Kak Rian! Kakak! Tenanglah, Kak!"

Rian terdiam sejenak dan menatap Raina, lalu dengan tiba-tiba memeluknya dengan erat.

"Maaf ... maaf ... maaf ...."

"Maafin Kakak, Ca. Maaf ...."

"Kakak bersalah ... seharusnya ... seharusnya ... kamu bisa selamat ... tapi karena Kakak ... kamu ... kamu ...."

Gumam Rian berkali-kali sambil menangis. Raina yang awalnya terkejut, berusaha untuk tenang dan menepuk-nepuk punggung Rian dengan lembut.

Rian melepas pelukannya dan menatap Raina dengan jarak wajah yang hanya beberapa sentimeter. Napasnya yang memburu bisa dirasakan oleh Raina. Rian mengusap lembut pipi Raina dengan tatapan sendu.

"Kakak ... bener-bener minta maaf. Maaf ... karena gak bisa ngejagain kamu dengan baik. Maaf ... karena gak bisa selamatin kamu. Maaf ... karena menjadi Kakak yang gak becus ... maaf ... harusnya Kakak yang pergi ... bukan kamu, Ca ... maafin Kakak Ca ... maaf ...."

Tuk.

Kepala Rian terkulai di bahu Raina. Ia akhirnya kehilangan kesadarannya. Raina menjadi sangat panik.

"Kak Rian?! Kak Rian, bangun Kak!" teriaknya sambil berusaha mengguncang tubuh Rian. Tapi tak ada respon apapun dari cowok yang wajahnya telah menjadi pucat pasi itu.

Raina memandang sekelilingnya dengan gelisah. Berharap ada orang yang bisa dimintainya pertolongan. Saat itu juga, mata Raina mendapati Arga yang berlari-lari kecil tidak terlalu jauh dari mereka.

"KAK ARGA! KAK ARGA! TOLONG! DI SINI! BANTUIN KAK RIAN!" teriak Raina sekuat tenaga.

Arga yang mendengar itu menoleh dan membelalak. Segera saja, ia berlari dengan cepat menghampiri Rian dan Raina.

"Raina! Rian!"

"Apa yang terjadi?!" tanya Arga panik.

"Jelasinnya nanti aja. Sekarang ayo bawa Kak Rian pergi dari sini dulu!"

Arga mengangguk. Ia dengan cepat mengangkat Rian ke punggungnya dan berlari menerjang hujan yang semakin deras. Raina juga ikut berlari mengikuti Arga.

"Bu Freya! Bu Freya! Tolong!" teriak Arga yang baru saja tiba di sebuah penginapan kecil tempat teman-temannya berteduh.

Bu Freya yang melihat Rian dalam keadaan tidak sadar segera menghampiri Arga. "Astaga. Apa yang terjadi?!" tanya Bu Freya kaget.

"Itu ... saya juga kurang tahu, Bu. Cuma tadi, Kak Rian tubuhnya bergetar hebat dan tiba-tiba teriak. Dia juga nangis dan terus ngucapin kata maaf. Abis itu, dia pingsan," jelas Raina, yang juga masih belum bisa menghilangkan kepanikannya.

"Arga, cepat bawa Rian masuk ke dalam. Ganti bajunya dan buat dia sehangat mungkin. Ibu akan menelepon walinya," perintah Bu Freya.

"Baik, Bu."

⛈️🌧🌦

To be continued


next chapter
Load failed, please RETRY

Status de energia semanal

Rank -- Ranking de Poder
Stone -- Pedra de Poder

Capítulos de desbloqueio em lote

Índice

Opções de exibição

Fundo

Fonte

Tamanho

Comentários do capítulo

Escreva uma avaliação Status de leitura: C12
Falha ao postar. Tente novamente
  • Qualidade de Escrita
  • Estabilidade das atualizações
  • Desenvolvimento de Histórias
  • Design de Personagens
  • Antecedentes do mundo

O escore total 0.0

Resenha postada com sucesso! Leia mais resenhas
Vote com Power Stone
Rank NO.-- Ranking de Potência
Stone -- Pedra de Poder
Denunciar conteúdo impróprio
Dica de erro

Denunciar abuso

Comentários do parágrafo

Login