Baixar aplicativo
93.75% GEN / Chapter 15: BAB 15. TERTIDUR (RENGGANIS)

Capítulo 15: BAB 15. TERTIDUR (RENGGANIS)

"Kita berangkat agak sore saja, mbak." Begitu pesan Aron dalam chatnya. Pertimbangan dia, jika berangkat sore, sampai di Inessya resort yang berada di daerah Pantai Kukup tempat Wa Welia menginap tidak akan kemalaman dan kami akan lebih punya banyak waktu untuk mengobrol.

Maka senja ini, dengan menyewa mobil kami melaju menuju pantai Kukup. Aku sengaja memilih rute yang melewati kampus ISI dan pasar seni. Maksud hati kalau ada sisa waktu ingin mampir sebentar, mencuci mata dengan melihat benda-beda artistik, namun Aron menolaknya.

"Kita akan kemalaman nanti, mbak. Jalan menuju pantai kan agak sepi karena melewati sedikit hutan Gunung Kidul. Jalanan juga berkelok-kelok. Selain itu, kita bawa Donya, kan?!"

Benar juga kata Aron, membawa Donya akan sedikit merepotkan jika harus mampir kemana-mana. Akhirnya, hanya puas melihat Pasar seni dari jalanan sambil menyetir. Mungkin lain kali, batinku.

Setelah melalui jalanan dengan pemandangan hutan kecil yang dipenuhi jenis-jenis pohon meranggas, cocok dengan jenis tanah perbukitan gunung kidul yang berkapur dan berkarang saat mendekati pantai Kukup, kami memasuki pintu gerbang hotel dan resort Inessya. Hotel Inessya tidak terletak tepat di pinggir pantai, namun berada di atas bukit yang jendela, pintu, teras serta kolam renangnya langsung melongok ke arah jurang yang merupakan garis pantai sepanjang Kukup. Indah dan menenangkan.

Kami berjalan menuju meja kursi yang ada di ujung kolam renang dan bersampingan dengan jurang yang hanya dibatasi pagar besi, tepat saat dari kejauhan samar terdengar suara Adzan Maghrib. Donya tampak berlarian senang di atas rerumputan tidak jauh dari sudut pandangku ditemani pengasuh yang aku sewa untuk beberapa hari selama di Yogyakarta.

"Bagus juga menginap di sini dalam beberapa waktu untuk memeras ide-ide. Untuk melahirkan tulisan." Kataku penuh semangat sambil mataku tidak lepas memandang suasana alam yang menakjubkan ini.

Aron duduk tepat di depanku di seberang meja, kulihat matanyapun mulai nanar takjub dengan kemegahan sisi lain dari Gunung Kidul yang dahulunya pernah dikenal sebagai daerah yang tidak memiliki apa-apa bahkan miskin air bersih. Butuh waktu cukup lama untuk menemukan harta karun dan kemegahannya.

"Sudah lama tidak menulis, ya, mbak?"

"Yahhh… semenjak Donya lahir. Baru menulis beberapa sebelum kemarin mendengar cerita Donya di kelasnya yang menggegerkan itu."

Seorang gadis bertubuh semampai dengan rambut diikat ekor kuda membawa nampan melangkah cepat ke arah meja yang berada tidak jauh dari meja kami dengan dua orang dewasa lelaki perempuan dan dua gadis remaja duduk mengelilingi meja. Tergambar jelas bahwa mereka adalah sebuah keluarga bahagia yang sedang berlibur dengan senyum dan sesekali tawa renyah menghiasi pemandangan meja mereka.

"Mau kopi?"

Tergagap aku mengalihkan pandanganku ke arah Aron. Pertanyaan darinya di sela-sela perhatianku kepada keluarga itu dan di sela angan-anganku yang entah kemana membuatku terdiam beberapa saat bingung mau jawab apa.

"Sewaktu aku telepon tadi, Welia bilang baru bisa menemui jam 19.00 wib nanti. Aku kan sudah pernah cerita ada yang berbeda dengan penglihatannya."

Tentu aku tidak lupa, bahwa Welia yang diceritakan Aron berbeda dan special, entah memiliki kesamaan apa dengan anakku.

"Bolehlah. Aku mau Esspreso."

"Hmmm… masih selera yang sama ya?!" seloroh Aron diiringi tawa kecil.

"Aku tidak gampangan lah… apalagi soal selera… terutama lelaki.. ha… ha… ha !!"

"Mengapa suka pahit, padahal hidup ini sudah pahit ha… ha… ha… !"

"Loh… Justru kopi pahit untuk mengkamuflase hidup kita yang pahit." Di sela tawa kami, tiba-tiba terlintas sesuatu yang janggal. Sebuah perasaan bahwa aku pernah berbicara tentang kopi pahit ini, tapi dengan siapa ya?! Dengan Bantarkah? Kenkah? Perlahan namun berat nafasku keluar masuk dalam dada yang bisa ditangkap insting Aron.

"Apalagi, mbak? Kalau tidak salah dugaanku, pastinya kalau tidak dia ya dia."

"iihhh… sok tahu kamu" kembali tawa Aron pecah mengisi udara Gunung Kidul yang mulai dingin.

"Mbak! Mbak!" teriak Aron memanggil pramusaji tersebut sambil melambaikan tangan kanannya. Gadis pramusaji yang cukup manis dengan rona kulit langsat di wajahnya tersebut berjalan mendatangi kami.

"Ada yang bisa saya bantu?"

"pesan Capuccino 1 dan Espresso 1."

Dengan cepat gadis tersebut mencatat pesanan Aron.

"Sudah? Itu saja pesanannya, mas?"

"iya. Itu saja."

"Baik. Mohon ditunggu ya?!"

"Ya. Terimakasih." Gadis pramusaji tadi berlalu dan dalam waktu kurang lebih 10 menit kemudian kembali lagi dengan membawa baki yang berisi dua cangkir yang permukaannya berhias kepul asap kopi panas dengan aroma yang selalu membangkitkan adrenalinku untuk segera mengambil sebatang rokok.

"Kalau sudah seperti ini nih, aku harus mempersiapkan otakku untuk menerima obrolan berat."

"he… he…. he… sebenarnya tidak juga sih ya… kamu saja yang terlalu lebay." Kataku sambil mencibirkan mulutku ke arahnya. Walau sebenarnya ketika beberapa saat waktu berlalu, prasangka Aron terbukti ketika rokokku mulai terhisap setengah batang. Perlahan namun pasti obrolan kami semakin berat seiring dengan bertambah dinginnya udara yang dihantarkan dari arah laut.

"Sudah pukul delapan malam, nih… sepertinya kita akan menginap di sini. Tunggu sebentar, ya. Aku akan memesan kamar dulu."

"Ok."

Aku menyetujui begitu saja keputusan Aron, karena memang tidak mungkin menyetir mobil di medan Gunung Kidul yang naik turun serta berkelok-kelok juga ditambah lagi kalau kabut turun. Apalagi, aku tidak bisa memastikan Welia akan menemui kami pukul berapa. Di meja seberang, Donya sedang menyantap makan malamnya dan tampak mulai kelelahan.

Pada saat yang sama, seorang gadis dengan rambut sepinggang dikepang ke belakang, mendekati Donya. Seketika aku tersihir dalam suasana mereka di mana tampak Donya yang tiba-tiba mematung dan hanya matanya bergerak-gerak saling pandang dengan gadis itu. Seakan-akan mata mereka sedang berbincang-bincang menggantikan suara. Itu terjadi sekitar 2 menit sebelum kemudian terpecah oleh suara Aron dari kejauhan dan mendekati gadis itu.

"Welia!"

Oh, rupanya gadis itu Welia. Aku yang masih tersihir pesona suasana antara gadis itu dengan Donya masih belum bisa menyeimbangkan kesadaran bahwa Welia hanyalah gadis remaja, bukan gadis dewasa seperti dalam pikiranku. Namun dari jauh aku sudah bisa merasakan aura tua yang terpancar dari dalam dirinya.

Ada perbincangan singkat antara Welia dengan Aron sambil sesekali jemari Aron menunjuk kepadaku, yang tidak lama kemudian mereka berjalan ke arahku. Aku berdiri menyambut mereka.

"Ini Welia, mbak. Dan ini mbak Rengganis yang aku ceritakan kemarin." Kata Aron sambil bergantian menujuk kami. Dengan kerendahan hati khas suku Buton, Welia mengulurkan tangannya lebih dulu sebagai bentuk hormatnya kepadaku yang lebih tua, dan aku segera menyambut tangannya. Setelah kami bertiga duduk saling berhadapan, Aron memulai perbincangan.

"Bagaimana Wel? Kemarin aku kan sudah cerita tentang Donya dan kamu tadi juga sudah melihat sendiri bagaimana Donya. Mungkin kamu bisa menjawab kebingungan Mbak Rengganis."

Welia menelengkan kepalanya kepadaku.

"Apa yang membuat mbak Rengganis bingung?" tanyanya.

"mmm…. Apakah Aron belum bercerita kepadamu?" ada rasa tidak nyaman dengan pertanyaan Welia, karena jika aku harus menjawab, jawaban itu terasa terlalu pribadi untukku. Aku tidak terbiasa bercerita hal yang menurutku terlalu pribadi pada orang yang baru kukenal, apalagi pada gadis remaja yang umurnya jauh dariku.

Welia tampak mulai merasa tidak enak dengan pertanyaan sendiri yang membuatku tidak nyaman. Itu dia tunjukan dengan sedikit menggeser duduknya sebagai upaya menutupi perasaanya, namun aku bisa menangkap itu dan diapun tahu.

"Oh iya…. Soal bagaimana Donya bisa mendapat kekuatan supranatural itu. Menurut yang saya tahu, supranatural bisa dicari oleh orang awam sekalipun, namun ada yang memang sudah memiliki bakat alam yang biasanya diturunkan." Welia berhenti sejenak, dan aku memakai kesempatan itu dengan mengambil sebatang rokok dan kusulut cepat-cepat.

"Maaf, tidak apa-apa aku merokok, kan?"

Welia mengangkat tangannya pertanda tidak mempermasalahkannya.

"Menurut cerita Aron, selain mbak Rengganis sebagai ibu biologis dan suami mbak sebagai bapak biologis, ada lelaki lain yang... maaf." Welia menghentikan kalimatnya, merasa tidak enak untuk melanjutkan. Aku segera mengangkat tanganku sebagai pertanda bahwa aku mengijinkannya berbicara bahkan jika tentang hal-hal pribadiku.

"Ya. Bahwa ada lelaki lain yang berhubungan dengan mbak dan kemungkinan menurunkan bakat supranatural kepada putera mbak."

Welia sejenak berhenti, dan aku juga mulai berpikir, apakah tidak apa-apa gadis seumurannya berbicara tentang hal-hal yang sifatnya terlalu dewasa ini. Sepertinya Welia bisa membaca pikiranku.

"Tidak apa-apa mbak. Meski seumuran belia begini, aku cukup bijak loh.. ha ha ha." Katanya sambil berseloroh. Kamipun tertawa sesaat.

"Sebenarnya bakat supranatural itu bisa disalurkan melalui kontak tertentu. Jika bakat itu memang berasal dari lelaki tersebut. Siapa namanya, mbak?"

"Ken."

"Ya, Ken. Kemungkinan sewaktu mbak berhubungan dengan Ken, tanpa di sadari, dia juga mengalirkan sebagian energi kekuatannya kepada mbak. Jika itu diturunkan kepada Donya yang bukan anak biologisnya, itu artinya mbak juga…"

Aaaaaaaaaaaaaa!!!!!!!! Prang.. prang… pyarrr!!!

Kami yang sedang asyik mengobrol dikagetkan oleh keributan dari suara jeritan yang asalnya dari meja Donya dan suara kaca-kaca berserakan yang berasal dari suara pecahan kaca gelas dan jendela kaca yang berada tidak jauh dari Donya. Welia segera berlari ke arah Donya dan segera memeluknya sambil tangannya mengusap kepala juga wajahnya hingga membuat Donya terdiam tenang dan kemudian tubuhnya luruh terjatuh dipelukan Welia. Tertidur.

Keesokan harinya, kami telah bersiap hendak kembali ke kota, setelah menyelesaikan urusan dengan manager hotel terkait insiden yang disebabkan oleh Donya. Sebelum masuk ke mobil, sesaat aku dan Welia berdiri berhadapan untuk berpamitan.

"Saat ini, hingga Donya agak besar nanti, kekuatannya tertidur mbak. Donya masih terlalu kecil untuk bisa mengendalikan miliknya. Saya telah menutup mata batinnya untuk sementara."

"Iya. Terima kasih. Aku berharap kita bisa terus berkomunikasi meskipun terbentang jarak. Ke depan aku akan sangat membutuhkanmu." Welia mengangguk setuju sambil meraih tanganku untuk bersalaman. Aku tidak menyambut tanganya namun berusaha meraih tubuhnya untuk memeluknya. Dan kamipun berpisah untuk sementara.


next chapter
Load failed, please RETRY

Status de energia semanal

Rank -- Ranking de Poder
Stone -- Pedra de Poder

Capítulos de desbloqueio em lote

Índice

Opções de exibição

Fundo

Fonte

Tamanho

Comentários do capítulo

Escreva uma avaliação Status de leitura: C15
Falha ao postar. Tente novamente
  • Qualidade de Escrita
  • Estabilidade das atualizações
  • Desenvolvimento de Histórias
  • Design de Personagens
  • Antecedentes do mundo

O escore total 0.0

Resenha postada com sucesso! Leia mais resenhas
Vote com Power Stone
Rank NO.-- Ranking de Potência
Stone -- Pedra de Poder
Denunciar conteúdo impróprio
Dica de erro

Denunciar abuso

Comentários do parágrafo

Login