Sellia gemetar kala melihat benda pipih di genggamannya menunjukkan dua garis merah. Azzam yang membelikan. Karena dia tidak tahu tentang alat-alat seperti itu. Usianya yang kini baru empat belas tahun, belum paham alat untuk pengecekan kehamilan. Sellia yang masih polos, dengan mudahnya mengikuti keinginan Azzam yang sudah satu tahun ini menjadi pacarnya.
Sellia awalnya menganggap Azzam sebagai kakak yang dewasa. Mereka sering bertemu di rumah Arka. Karena Sellia banyak masalah di rumah, dia sangat bahagia ketika bertemu Azzam yang bisa dia jadikan teman curhat. Dan sudah seperti abang buatnya.
"Bagaimana ini, kak? Aku takut."
"Maafkan aku Sel, Aku pikirin dulu jalan keluarnya ya. Kamu tunggu aja ya."
"Tunggu? lalu bagaimana denganku, Kak? bagaimana aku harus menghadapi kedua orangtuaku?" Sellia menangis. Dia tidak tahu akibat dari perbuatannya. Dia yang begitu cinta dengan Azzam, rela menyerahkan semuanya pada pemuda itu saat mereka hanya berdua di rumah Azzam. Ya Abizar dan Salma selalu sibuk. Tidak memperhatikan pergaulan anak-anaknya.
"Aku akan memikirkannya lagi. Kamu tenang saja. Bersikaplah biasa saja."
"Bagaimana aku bisa biasa saja, Kak? aku masih sekolah. Akhir-akhir ini saja aku sering muntah di sekolah. Bagaimana kalau pihak sekolah sampai tahu, Orangtuaku pasti akan marah."
"Ya udah kamu sabar aja, Sel. Aku pasti akan tanggung jawab. Tapi aku ga tahu kapan Sel."
"Kak, tolong bantu aku. Mami akan syok kalau mendengar aku hamil. Kamu tahu dia depresi berat kan, Kak. Bisa-bisa aku dikurung lagi kayak waktu itu, Kak."
"Kamu tenang aja ya. Semoga Mamamu tidak akan tahu."
"Bagaimana bisa? cepat atau lambat Mami akan tahu, Kak." Sellia terlihat pucat. Dia tidak tahu harus menghadapi semua ini.
"Yuk ku antar pulang. Sudah sore. Nanti aku pikirin lagi jalan keluarnya ya."
"Bener ya Kak. Kakak harus tanggung jawab."
"Iya.. Aku akan tanggung jawab. Tidak usah khawatir. Tapi kasih aku waktu buat mikirin semuanya."
**
Sudah satu minggu berlalu sejak Azzam mengetahui Sellia hamil. Pemuda itu sudah bertukar pikiran dengan Syila. Namun sampai saat ini dia belum punya nyali untuk menghadapi kedua orangtuanya. Padahal dia sudah berstatus sebagai mahasiswa semester tiga. Tapi pola pikirnya belum bisa dewasa. Dia belum berani mengambil sikap.
Sesuai saran Syila, Azzam diminta untuk mengatakan yang sebenarnya pada kedua orangtuanya. Bagaimana dia bisa bicara dari hati ke hati dengan kedua orangtuanya, bahkan untuk bisa bertemu saja susahnya minta ampun. Azzam memang tidak bisa terbuka dengan kedua orangtuanya.
"Dek, Mama pulang kapan?" tanya Azzam pada adik perempuannya Shafiya. yang kini sudah kelas dua SMA.
"Entahlah, Kak. Biasanya jam segini udah pulang." Shafiya masih asyik belajar di depan televisi. Azzam dan Shafiya tergolong anak yang pintar. Tapi sayang mereka jarang bercengkrama dengan kedua orangtuanya.
Azzam duduk di samping Shafiya. Dia melihat adiknya yang lebih tua dari Sellia. Dia membayangkan jika adiknya berada di posisi Sellia. Sebagai kakak dia pasti tidak akan terima. Tiba-tiba merasa bersalah pada Sellia. Dia menyesal karena tidak bisa menahan diri waktu itu. Harusnya dia bisa menahan hawa nafsunya.
'Azzam, kamu harus bisa menjaga kehormatan seorang wanita. Jangan pacaran ya, Nak. Pacaran itu mendekati zina.' Azzam mengacak rambutnya. Dia ingat nasehat almarhumah omanya. Almira sering menasehati Azzam setiap kali dia tidur di rumah Almira. Namun dia tidak pernah memperdulikan nasehat Omanya. Akhirnya sekarang kejadian. Di usia yang sangat muda, Sellia kini sudah berbadan dua karena ulahnya.
"Kak, itu kayaknya Mama udah pulang." Azzam mendongak saat ditegur oleh adiknya.
"Oh ya Dek. Makasih ya." Azzam beranjak. Dia segera membukakan pintu untuk mamanya.
"Assalamualaikum,"
"Waalaikumsalam, Ma."
"Tumben kamu di rumah Zam? biasanya ada acara ini itu. Sampai mau ketemu kamu aja susah banget." Ucap Salma sambil merangkul pinggang anaknya.
"Ma, nanti Azzam mau bicara sama Mama. Bisa ga, Ma?"
"Aduh besok pagi saja ya, Zam. Mama capek banget nih. Ada hal yang serius?"
"Iya, Ma. Ya udah besok saja, Ma."
"Eh Zam, Masa tadi anak temen mama ada yang hamil di luar nikah sama pacarnya. Mama ngelus dada, Zam. Zaman sekarang pergaulan anak muda mengkhawatirkan ya? tapi Alhamdulillah anak-anak Mama Insyaallah sholeh sholehah semua. Kamu hati-hati ya Zam kalau bergaul. Lebih baik kamu menikah dari pada pacaran." ucapan Salma membuat Azzam kaget. Baru saja dia akan cerita kalau dia sudah menghamili anak gadis orang. Tapi tiba-tiba Mamanya malah bicara seperti itu.
"Iya Ma." Azzam mengurungkan niat untuk bercerita dengan Salma. Dia takut Mamanya akan sedih jika tahu masalah yang sedang dia hadapi.
Salma masuk ke dalam kamarnya. Sedangkan Azzam berdiri mematung. Pikirannya sudah melayang entah kemana. Dia berkeringat dingin saat mengingat dia harus segera mengambil keputusan segera. Belum lagi kelak dia dan Sellia akan hancur masa depannya. Padahal Azzam sedang digadang-gadang untuk mengikuti pertukaran mahasiswa di Australia. Kalau pihak kampus sampai tahu tentang masalah ini, bisa jadi dia akan gugur untuk mengikuti program itu.
Azzam mengambil rokoknya. Dia merokok di balkon kamarnya. Badannya bersandar dengan kepala mendongak ke atas, menatap langit hitam di langit. Cahaya bulan dan kerlip bintang menemani dia malam ini. Namun dia sama sekali tidak bisa menikmati keindahan itu.
Berfikir dan terus berfikir. Tapi dia belum juga menemukan jalan keluar. Dia butuh teman untuk berbagi. Tapi sayang dia tidak bisa berbagi dengan kedua orangtuanya.
Dering ponsel terdengar olehnya. Panggilan dari nomor yang tidak dikenal. Azzam mengangkatnya.
"Halo, ini siapa?"
"Kamu Azzam?" terdengar suara berat diujung telepon sana.
"Iya saya Azzam."
"Kamu kenal Sellia?" Deg.. jantung Azzam berdegup kencang.
"Tidak saya tidak kenal."
"Tidak usah bohong. Dasar laki-laki brengsek. Kamu tahu kamu sedang berbicara dengan siapa? dari jawabanmu saja saya tahu. Kamu laki-laki yang tidak punya tanggung jawab."
"Maaf anda salah sambung."
"Tut tut tut.." Azzam mematikan sambungan telponnya sepihak. Dia ketakutan. Dia menduga kalau yang baru saja telepon adalah ayah Sellia.
Azzam mematikan rokoknya. Dia masuk ke dalam kamarnya. Saat matanya mulai terpejam, sayup-sayup dia mendengar suara mobil berhenti di depan rumahnya. Tapi dia kembali terlelap. Dia tahu itu Papanya yang baru pulang.
Tok tok tok!!!
"Azzam bangun, Nak. Azzam, bangun." Salma mengetuk pintu kamar Azzam. Azzam yang kaget mendengar ketukan pintu yang keras sekali, membuatnya terbangun.
Ceklek..
"Ada apa, Ma?"
"Ayo turun. Jelaskan semuanya di bawah." Azzam yang masih setengah sadar, mengikuti langkah Salma tanpa pikir panjang. Sampai di anak tangga paling bawah, dia melihat laki-laki kekar dengan bekas tato di lengan. Menatapnya dengan tajam Laki-laki itu seperti ingin menghajarnya.
"Kamu yang namanya Azzam?"
"Iya, Om ada apa ya?"
"Bug!!" Azzam tersungkur setelah mendapat pukulan tiba-tiba di bagian perutnya.