Baixar aplicativo
46.66% Domestic Girl: Antibody of The End World / Chapter 7: Chapter 7: Perpisahan Terakhir

Capítulo 7: Chapter 7: Perpisahan Terakhir

Di antara jalanan hutan yang gelap, kami tiba tiba melihat sebuah cahaya senter yang terlihat dari balik semak semak, Ayah mencoba berjalan mengecek dengan muncul cepat yang rupanya itu adalah seorang militer.

"Hah! Jangan bergerak!!" Dia langsung waspada menodongkan senjatanya dengan senter.

"Hei, untunglah ada pihak militer, apa kau bisa mengevakuasi kami?" Ayah mencoba berbicara dengan tenang dan aku tampak hanya bisa ketakutan.

"Apa kalian terinfeksi?" Tanya dia.

Begitu mendengar pertanyaan itu membuat Ayah langsung membalas. "Tidak, kami tidak terinfeksi, tolong evakuasi kami, putriku terluka" Dia sedikit memohon.

Baru kali ini aku mendengar seorang Ayah meminta bantuan seperti itu, apalagi dia mengutamakan aku yang terluka.

Militer itu juga menjadi terdiam sebentar, bahkan menurunkan senjatanya, tanpa membalas Ayah, dia bicara di walkie talkie dan sepertinya bicara pada atasan nya.

"Pak, aku menemukan dua orang di sini.... Apa?! Tapi, ada gadis yang dia bawa" Dia bicara tampak ragu membuat Ayah dan aku juga terdiam menunggunya.

Setelah itu di akhiri bahwa dia mengerti. "Baik, baik, aku... Mengerti" Bahkan masih dengan rasa ragu.

"Apakah semuanya baik baik saja?" Ayah menatap ke arahnya, tapi dia sadar bahwa tentara itu menodongkan senternya ke arah nya yang artinya juga menodongkan senjatanya ke arah mereka.

Ayah yang memiliki insting militer nya langsung berbalik dan tiba tiba saja terdengar suara tembakan berulang kali membuatku terkejut dan langsung melihat ke wajah Ayah yang berwajah kesakitan.

"Ugh..." Bahkan dia langsung berlutut tanpa melepaskan ku dalam pegangan eratnya, aku tahu, dia berbalik badan untuk melindungi ku dan tentara itu masih terus saja menembak punggung nya.

"Ayah!!" Aku terkejut langsung memegang kedua pipinya. Dia masih berlutut dan bahkan dia memeluk ku sangat erat.

Tentara itu terus menembaki punggung nya.

"Hentikan!! Hentikan!! Hiks.... Hentikan!!" Aku berteriak di pelukan Ayah sambil menangis berharap tentara itu menghentikan tembakan nya, tapi ketika ia menghentikan tembakan, dia berjalan mendekat dan menodongkan senjatanya ke kepalaku membuat pandangan ku kosong, tidak mungkin, aku akan mati.

"Selamat tinggal" Tatapan tentara itu tampak kosong juga, tak ada belas kasihnya, tapi siapa sangka, Ayah mendorong ku pelan untuk melepaskan ku dan langsung memukul tentara itu dengan siku nya yang keras membuat tentara itu hampir tumbang, tapi ia dengan tanpa kendali menembakan banyak peluru dan mendadak satu peluru mengenai kaki ku. "Akh!!" Aku terkejut dan langsung memegang kaki ku, rasanya seperti tersetrum dan tersuntik sangat lama, ini sakit, di tambah luka yang tadi.

Ayah yang melihat ku tertembak menjadi tanpa kendali, juga dia seperti langsung marah dan mencekik tentara itu yang berusaha untuk kembali menodongkan pistol padanya.

"Fuck! Kau hampir membunuh satu satunya yang berharga di dunia!! Gunakan perasaan mu itu!!" Dia berteriak dan membunuh tentara itu dengan hanya mencekik nya, setelah itu, tentara itu lemas dan menjatuhkan apa yang dia bawa termasuk senjatanya.

Aku menatap sangat takut, Ayah baru saja membunuh orang di depan mataku, bahkan tanpa sadar, luka di kaki ku semakin banyak keluar darah membuat ku lemas tak berdaya, aku masih bisa memikirkan berapa banyak peluru yang telah masuk di tubuh Ayah. Tapi aku salut karena dia langsung berlutut mendekat padaku.

"Biarkan aku melihat" Dia membuka paha ku dan melihat peluru itu tertancap tidak terlalu dalam di sana.

"Ayah, ini sakit...." Aku merintih dan mengeluarkan air mata. Tapi pastinya Ayah juga kesakitan, dia tampak mencoba menahan nya.

Dia hanya mengatakan semuanya baik baik saja. "Ini baik baik saja, mari kita pergi secepatnya" Ketika akan membawaku lagi, dia tampak tidak kuat dengan lukanya membuatnya masih tetap berlutut di depan ku.

"Ayah, Ayah... Kenapa?" Aku menatap cemas kembali memegang kedua pipinya. Melihat kedua tangan nya yang tanpa kendali menahan tubuh di tanah juga menahan nya di pahanya agar dia tidak tumbang ke depan mengenai ku.

"Ini.... Baik baik saja..." Dia membalas dengan berusaha menjawab, tapi mendadak saja dia tumbang ke belakang membuatnya terbaring.

"Ayah!!" Aku terkejut dan langsung mendekat. "Ayah, tidak... Bangunlah, aku mohon, Ayah!!" Aku berteriak histeris.

Tapi mendadak ada yang datang membuatku terkejut dan menoleh ke belakang yang rupanya itu John yang perlahan berlari mendekat.

"Clarina..." Aku juga mendengar Ayah memanggil pelan membuatku menatap ke arahnya dan terus meneteskan air mata. "Ayah.. Hiks.... Kenapa.... Kenapa dia menembak mu... Apakah dia tidak tahu bahwa kau juga militer... Kenapa dia sangat jahat! Hiks...."

"Hei, ada apa?" John langsung mendekat dan melihat Ayah dari kejauhan dia berdiri menatapnya. Dia menyadari bahwa Ayah sudah tidak bisa bernapas.

"Hei, Clarina.... Dia sudah pergi" Dia menatap juga sedih, seketika aku terdiam kaku. "Ayah.... Ayah... Aku bersumpah dia memanggil nama ku tadi!" Aku berteriak tak percaya padanya.

"Tak ada yang bisa bertahan pada peluru menyakitkan"

"Tidak.... Tidak!!" Aku masih tak percaya, Ayah telah pergi, bahkan dia tidak menitipkan pesan apapun padaku, kenapa?! Kenapa harus begini!? Kenapa harus dia!? Aku masih membutuhkan nya.

"Hiks... Paman.... Lakukanlah sesuatu, buat dia bangun... Aku mohon.... Dia hanya satu satunya yang tersisa di hidup ku, dia bisa memahami ku, dia sangat mendukung apa yang aku lakukan... Kenapa harus pergi, hiks" Aku terus mengusap air mataku dengan sangat berantakan.

"Mau bagaimana lagi, aku tak bisa melakukan apapun, kau masih memiliki aku, aku akan mencoba melindungi mu dan menjelaskan apa yang terjadi di sini, kecuali, kau bisa berhenti dari menangis mu dan biarkan aku membalut luka mu" Dia berlutut mengeluarkan perban, entah dari mana dia dapat tapi dia langsung memperban luka goresan dalam dan tembakan peluru tadi.

"Aku tak mau meninggalkan Ayah" Aku menatap. Tapi John terdiam sebentar dan menghela napas panjang. "Dengar nak, kita tidak punya banyak waktu, begini saja, aku akan menguburnya" Dia melihat ke sekitar dan kebetulan melihat sebuah sekop tua yang terbuang di sana, dia langsung mengambilnya dan membuat lubang kuburan membuatku menatap ke arahnya.

Dia kemudian mengangkat jasad Ayah di kedua bahunya kemudian menjatuhkan nya perlahan masuk ke dalam lubang. Sebelum dia benar benar akan mengubur, aku menghentikan nya. "Tunggu!!" Entah kenapa aku melakukan itu yang sekarang membuat nya terdiam menatap.

"Jika di kubur seperti itu, dia tidak akan bisa bernapas" Aku menatap. Tanpa sadar aku melupakan hukum kehidupan.

"Hei nak, dia memang sudah tidak bernapas, jangan khawatir..." John langsung menguburnya, entah kenapa aku masih merasa Ayah bisa terbangun. Tapi mustahil orang mati akan bangun lagi.

"Baiklah, sudah, sekarang bisa kita pergi?" John menatap, dia menancapkan sekop itu di kuburan Ayah. Kemudian menepuk tangan membersihkan nya dan berjalan mendekat ke arahku, dia langsung menggendong ku di dada.

"Ini pertama kalinya aku menggendong gadis... Jangan protes jika tidak nyaman" Tatapnya mencoba mencairkan suasana, tapi aku tampak membuang wajah sedih mengingat Ayah, tanpa sadar aku melupakan kesakitan yang ada di kakiku.

"Kenapa dia membunuh Ayah?" Aku bertanya perlahan.

"Hm? Apa? Bisa ulangi?" Paman menatap bingung.

"Kenapa dia mencoba membunuh kami, apakah mereka tidak punya hati..."

". . . Mungkin dia militer baru, jadi lupa menjelaskan dan lupa memeriksa bahwa kau dan Ayahmu tidak terinfeksi, jadi dia memilih menembak saja..."

"Terinfeksi?" Aku menatap bingung.

"Aku akan menjelaskan nanti" Balasnya sambil terus berjalan melihat ke sekitar, tapi aku masih memikirkan Ayah.

Ayah, mungkin ini tidak akan terjadi jika kau tidak pergi dari militer itu, sialan, aku jadi benci militer sekarang.

Aku terus memendam kekesalan ini di tengah perjalanan kami, bahkan tanpa sadar aku mulai terpucat karena dari tadi kehabisan darah sangat banyak, kepalaku pusing, tubuhku panas dingin, rasanya seluruh tubuhku kaku dan aku tak bisa mendengar apapun.

"Hei, Clarina!" Paman memanggil ku agar tidak menutup mata. "Kendalikan dirimu, jangan menutup matamu, aku akan mengobatimu jika kita sudah aman, jadi jangan khawatir!! Jangan menutup mata!"

Aku hanya membalas. "Mm..."

"Berjanjilah!" Tambah Paman membuat ku terganggu.

"He em... Baiklah!" Aku berusaha membalas dan dengan mata yang tidak berkedip, aku masih bisa membuka mata.

Kemudian Paman melihat beberapa orang yang berlarian ke sebuah tempat evakuasi, tanpa pikir panjang dia langsung mengikuti mereka dan rupanya mereka menuju ke sebuah gerbang kampus yang tampak sudah lama di tinggalkan, di sana ada beberapa militer menjaga gerbang memastikan mereka satu satu dari tampak luar.

Dari penglihatan penjaga itu, dia beberapa kali terlihat menarik orang untuk tidak masuk ke dalam sana dan berteriak. "Dia terinfeksi" Hanya karena dia melihat bekas luka di wajah, leher maupun tangan.

Ketika bagian kami, dia melihat Paman membawaku. "Hei, berhenti, ada apa di kaki gadis ini?" Dia menatap pada Paman.

"Dia terluka karena kecelakaan mobil, aku pastikan dia tidak terinfeksi" Paman menatap serius, dia benar benar membela ku.

Setelah di pikir pikir, penjaga itu ternyata tidak percaya. "Aku akan membukanya untuk memastikan"

"Kau tidak bisa membukanya, dia akan kehabisan darah!" Paman menatap kesal.

"Hei dengar! Jika aku tidak mengecek nya, bagaimana kita percaya, aku tahu sulit melepaskan ini kawan...." Kata penjaga itu, dia menyentuh pahaku dan melepaskan perban tersebut, seketika darah langsung mengalir meneteskan di ujung kaki ku dan aku hanya bisa terdiam lemas. Setelah melihat bahwa itu adalah luka goresan yang sangat panjang juga ada satu tembakan peluru, dia tampak tercengang dan bahkan langsung menatap ke Paman yang memasang wajah khawatir.

"Sekarang kau percaya?"

Dengan wajah tidak nyaman, tentara itu membuat perban terbuka tanpa menutup kembali dan mempersilahkan kami masuk sambil mengatakan sesuatu. "Akan ada beberapa perawat langsung mengobatinya, aku minta maaf telah membukanya" Dia menatap, tapi Paman hanya menatap kesal dan berjalan pergi untuk masuk.

Ketika masuk, langsung ada tandu di bawa beberapa pria yang mendekat padanya, Paman langsung meletakan ku di sana.

"Paman..." Aku memanggil untuk terakhir kali.

"Clarina, bertahanlah, aku akan menunggumu, jangan khawatir" Tatapnya, terkadang dia sama seperti Ayahku, dia mungkin bisa menjagaku.

Tapi, aku tak mau merepotkan....


next chapter
Load failed, please RETRY

Status de energia semanal

Rank -- Ranking de Poder
Stone -- Pedra de Poder

Capítulos de desbloqueio em lote

Índice

Opções de exibição

Fundo

Fonte

Tamanho

Comentários do capítulo

Escreva uma avaliação Status de leitura: C7
Falha ao postar. Tente novamente
  • Qualidade de Escrita
  • Estabilidade das atualizações
  • Desenvolvimento de Histórias
  • Design de Personagens
  • Antecedentes do mundo

O escore total 0.0

Resenha postada com sucesso! Leia mais resenhas
Vote com Power Stone
Rank NO.-- Ranking de Potência
Stone -- Pedra de Poder
Denunciar conteúdo impróprio
Dica de erro

Denunciar abuso

Comentários do parágrafo

Login