RAY
Aku melihat jam di ponsel. Waktu sudah menunjukkan jam 3 sore. Kemudian aku mengedarkan pandangan, seorang pria tua duduk berseberangan bersama seorang wanita dan laki-laki muda. Mereka Mechala, Aran dan Dexter. Aku senang hasil DNA sudah selesai.
Seharusnya membutuhkan waktu sepuluh hari hingga dua minggu untuk mengetahui hasilnya. Namun, karena Dexter bersedia membayar jauh lebih mahal dari biaya reguler, hasil bisa diketahui hanya dalam tiga hari. Mereka bersedia mendahulukan antrian. Sesuai janjiku pada Dexter, aku mempertemukan mereka. Hasilnya positif, Aran anak Dexter.
Sebenarnya, aku masih bertanya-tanya. Bagaimana caranya aku mendapatkan sampel darah dan rambut Aran? Aku seperti amnesia. Aku hanya bisa mengingat hingga di bagian kami bicara santai saat aku kembali dari toilet. Selebihnya aku hanya ingat beberapa potongan memori tak utuh dan juga buram.
Sudah juga aku teman-teman, bagaimana caranya aku bisa mendapatkannya. Mereka juga tidak tahu. Saat aku melihat Aran, di keningnya ada perban yang menempel di sana. Aku semakin bingung. Apakah mungkin aku membenturkan kepalanya berkali-kali?
Hum ... kejam sekali! Sepertinya bukan diriku. Meski aku ingin sekali melakukan hal itu, tapi aku 'kan tidak boleh menyakiti klien.
Entah bagaimana ada sedikit potongan adegan terbayang dalam ingatanku. Aku menggigit Aran. Benarkah seperti itu? Entahlah. Aku sedikit yakin bayangan itu benar saat melihat luka Aran. Apa luka itu besar? Biasa jadi, sepertinya Aran dijahit. Ada kasa menempel di keningnya.
Sambil menyalakan rokok aku berpikir. Apakah aku selamat malam itu? Saat aku terbangun aku berada di rumah sakit bersama Jake dan Oscar. Teman-teman bilang, aku selamat. Aku juga yakin begitu, bahwa tidak mungkin teman-temanku membiarkan Aran memperkosaku, bukan?
"Kenapa keningmu?" tanya Dexter kepada Aran.
Aku menggeser kursi ingin mendengar lebih jelas.
"Ini? Oh, ini tidak masalah. Hanya terantuk meja," jawab Aran santai.
Aku berpikir lagi. Bagaimana bisa keningnya terantuk meja? Apakah meja setinggi keningnya? Atau dia terjatuh seperti aku malam itu? Atau seperti keinginan terdalamku. Membenturkan kepalanya ke meja puluhan kali saat dia menyentuhku.
Dexter membicarakan hal lain, aku tidak mendengarkannya lagi. Pikiranku melambung jauh. "Ah, baiklah! Lupakan saja. Entah bagaimana caranya aku mendapatkan darahnya."
Aku menyalakan laptop untuk memeriksa kasus baru yang kuterima dua hari yang lalu. Kemudian aku memeriksa lokasi teman-temanku berada.
Arlo dan Daniel masih di vila Dexter.
Jake?
Sepertinya dia berada di suatu tempat yang memang sangat diinginkannya. Dekat dengan Florence.
Oscar? Dia berada di area pusat perbelanjaan.
Aku menghubungi Arlo dan Daniel. Kami berkomunikasi melalui earphone dan laptop.
"Octopus dan Starfish. Ini teman baru kita." Aku mengirimkan foto.
"Siapa dia?" tanya Daniel si Starfish.
"Namanya Rossi Petrova. Dia tiba di Bandara dalam waktu dua jam lagi. Dia dari Italia. Klien kita mau tau Rossi pergi dengan siapa dan apa saja aktivitasnya." Aku menjelaskan kepada Arlo dan Daniel.
"Aku kirimkan format kartu identitas. Tolong print kartu itu di mesin pembuat kartu, ya?" Aku kembali mengirimkan file.
"Untuk Oscar dan Jake?" Arlo membaca file itu.
"Ya, itu untuk mereka dalam misi ini. Punya kalian juga. Tolong print sebentar sebelum kalian pergi dan bawakan padaku milik Oscar dan Jake. Aku akan membagikan lokasiku. Simpan milik kalian." ucapku sambil tersenyum.
"Oke. Jadi kami ke bandara dengan tugas seperti biasa, bukan?" Mata Daniel yang berwarna coklat terang terlihat jelas di layar laptopku.
"Yup! Betul sekali."Aku mengangguk pelan kepada kedua temanku.
"Cepat kemari! Antarkan kartunya. Satu lagi, bereskan barang-barang kalian. Nanti Oscar yang akan membawanya ke mobil angkutan menuju tempat tinggal kita yang baru
"Dan ... Hey, Buddy. Saat di sana nanti jangan lupa letakkan mataku paling depan. Aku ingin pemandangan yang sempurna." Aku memberikan kode rahasia.
"OK. Tentu, kawan!" Arlo tertawa. Dia menyentuh dadanya. Artinya dia akan meletakkan sebuah kamera mini tersemat di dada.
"Chop, chop!" ucapku bertepuk tangan menyuruh mereka segera bergegas.
Keduanya mengangguk. Kami pun memutuskan komunikasi. Sedangkan aku kembali sibuk dengan laptop. Aku sudah mempelajari kasus ini sejak dua hari yang lalu. Dengan keterangan yang kudapatkan dari klien kami yang bernama Giovanni , dia ingin pasangannya diawasi. Aku terlalu bersemangat saat mendengar kata pasangan. Sayangnya aku salah. Pasangan yang dimaksud Giovanni ternyata seorang lelaki.
Aku bosan berurusan dengan ini, tapi apa boleh buat. Saat ini hanya pekerjaan ini yang bisa kami dapatkan. Mengambil pekerjaan ini kami akan untung banyak. Karena kami masih berada di Thailand. Hemat waktu dan tenaga.
Hari ini kami harus keluar dari vila Dexter meski dia bilang tidak perlu pergi. Dia mengatakan, kami bisa tinggal selama apa pun yang kami mau. Tentu saja kami tidak bisa menerimanya. Urusan kami sudah selesai dengannya saat hasil DNA selesai.
Rossi berencana pergi ke kelab malam terfavorit di kota ini. Kelab malam khusus pecinta sesama gender. Aku harus menyusupkan teman-temanku ke sana.
Ugh! Aku yakin teman-temanku tidak akan senang berurusan dengan mereka. Seseorang yang mungkin membuat mereka marah tapi tidak boleh dilukai.
Aku tidak sabar menanti reaksi mereka. Aku tertawa gelak di dalam hati penuh kemenangan. Beginikah rasanya merasa menang bahkan sebelum semua dimulai? Maafkan aku kawan. Semua demi misi.
Setelah mendapatkan semua yang kubutuhkan, aku memasukkan data untuk keempat temanku secara online agar mereka bisa bekerja di kelab itu. Nasib baik sepertinya memang menyertai kami,ada beberapa lowongan pekerjaan di sana.
Aku mengisi berkas ini sebagai formalitas saja. Tentu saja mereka akan diterima. Aku punya teman saat aku belajar di Oxford University. Dia orang Thailand. Aku sudah mengirimkan uang yang cukup banyak agar dia bisa 'mengurus' teman-temanku bisa bekerja di kelab itu. Dan hal itu sudah kulakukan sejak semalam.
Tanpa bantuannya pun teman-temanku pasti bisa bekerja di sana. Anggota Tim Dark Ocean semuanya tampan. Syarat utama bekerja di klub itu harus memiliki penampilan yang menarik. Teman-temanku? Bukan hanya menarik, mereka juga mendorong. Pasti mendorong para pengunjung di kelab itu berbuat nekat kepada mereka.
"Hahahahahahaha!" tawaku lepas tanpa bisa kukendalikan. Pembalasan dendam ternyata manis, tapi aku ingin semua proses ini cepat karena itu aku mengirimkan uang.
Aku kesal pada mereka. Bisa saja mereka mencari para lelaki yang memang suka lelaki? Kenapa menyerahkan aku? Padahal jelas-jelas aku suka wanita.
Waktu berlalu, aku masih sibuk dengan pekerjaan dan sudah beberapa kali aku memesan minuman.Tidak lama kemudian, Arlo dan Daniel datang membawakan apa yang kuminta.
Mereka segera pergi ke bandara. Aku menghubungi Oscar agar dia mendatangiku. Aku juga akan minta Jake datang ke sini satu jam lagi setelah aku selesai dengan si Orca.
"Oscar, duduklah," ucapku tanpa mengalihkan pandangan dari laptop, "unggu sebentar. Sedikit lagi." Aku masih mengetik.
Oscar memesan minuman dan makanan yang dia suka. Dia menolehkan kepala ke sisi kanan.
"Mereka sudah bertemu, ya." komentar Oscar kepadaku.
"Hum..um." Aku mengangguk.
"Sepertinya gigimu menancap dengan kuat," ucap Oscar tertawa.
Aku terkejut mendengar komentarnya. Aku mengangkat wajah lalu menatapnya dalam-dalam, "Kalian bilang tidak tahu bagaimana aku bisa mendapatkan sampel darahnya."
"Iya memang tidak tahu. Kami tidak terlalu dekat denganmu. Kami hanya mendengar kau menjerit keras.
Waktu itu kami melihat kau mengecup keningnya. Kami kira kau sedang mendalami peran. Terlihat sangat manis.
Setelah itu kau terdorong mundur. Aran memegangi kepala lalu kau maju menyentuh keningnya. Hari ini aku melihat keningnya diperban. Besar kemungkinan kau mengigitnya. Kasa itu basah dengan darah. Sepertinya dia luka robek."
"A..pa? Aku mengecup keningnya?"
"Tidak tau, terlihat seperti itu. Mungkin kau mengecup sambil menggigitnya." Oscar tertawa gelak.
Astaga aku tiba-tiba merasa mual. Bibirku menyentuhnya? Aku menarik napas dalam-dalam.
"Tidak masalah. Semua demi misi," ucapku sambil tersenyum manis sekali. Sangat manis.
"Ada apa kau memanggilku?" tanya Oscar.
"Kita ada misi baru. Kali ini klien ingin kita mengawasi pasangannya. Arlo dan Daniel 'menjemput' tamu kita di bandara."
"Oke." Oscar mengangguk. Wajah tampannya menyimak setiap kata-kataku dengan serius.
"Klien kita curiga pasangannya bermain gila di belakang. Tagihan kartu kredit membludak. Pasangannya itu sering membeli barang-barang mahal yang bahkan tidak pernah terlihat dia memakainya.
Aku sudah masuk ke akun keuangannya, dia sudah memesan VIP room di sebuah kelab malam. Dipesan untuk besok malam. Kalian akan menyusup di sana. Ini ID card milikmu." Aku menyerahkan ID card atas namanya.
Si Paus Orca memperhatikan kartu itu, "Kenapa tak ada jabatannya di sini?" Oscar terlihat bingung.
"Karena jabatanmu istimewa." Aku tersenyum rumit.
"Apa itu?" Kening Oscar mengkerut.
"Kau akan segera tahu malam ini. Kau akan berlatih bersama Jake untuk menjalankan peran itu. Aku akan mencari tempat tinggal sementara kita sampai misi ini selesai. Aku sudah meminta Arlo dan Daniel menyiapkan barang-barang mereka.
Kau pulanglah, siapkan barang barangmu.
Punyaku sudah siap, kalian tinggal angkat saja koperku. Nanti akan ada mobil angkutan yang membawa barang-barang kita. Aku akan berikan alamatnya." Ray menjelaskan panjang lebar.
"Hey, Dolphin. Kau terlihat aneh. Kenapa tidak membicarakan ini bersama-sama seperti biasa?" Oscar menarik napas panjang. Kurasa dia curiga.
"Kita tidak punya waktu. Aku juga di sini sambil bekerja. Kita bicarakan lagi nanti di tempat tinggal kita yang baru untuk lebih detail. Tapi aku harus memastikan dulu. Kau setuju bukan mengambil misi ini? Jadi aku bisa persiapkan hal-hal lainnya. Oleh karena itu aku harus memastikan lebih dulu."
Oscar terdiam, sepertinya dia berpikir keras. Dia mengambil ID card itu memasukkan ke dalam saku.
"Ya, baiklah aku pulang untuk packing barang-barang." Oscar berdiri.
***
Jake
Aku tertegun memperhatikan seorang wanita dan seorang gadis kecil. Jarak mereka cukup jauh dariku. Aku memilih berada di sudut. Sementara wanita itu berada di sisi luar. Kami berada di kafe es krim.
Aku melihat Katherine menyuapi Florence. Gadis kecil itu tersenyum bahagia melihat tawa di wajah ibunya. Dia cantik sekali. Secantik ibu-nya. Dia memiliki senyuman hangat seperti seperti senyuman Florence. Rambutnya cokelat keemasaan.
God! She is little Florence.
Sesekali Florence mengusap kepala Bella penuh cinta. Aku melihat kebahagiaan di wajah mereka. Bibir dan tanganku gemetar. Perasaanku campur aduk. Antara sedih, haru dan bahagia.
Aku berharap mereka selalu saja begitu. Selalu bahagia. Pandanganku mengabur. Ada cairan yang menggenang di mataku. Aku segera menyapunya dengan cepat. Aku malu pada diriku sendiri. Dasar Lemah!
{Jake, kemarilah.} Ray mengirim pesan disertai peta online.
{Apa? Aku sedang sibuk} Aku membalas pesan Ray dengan cepat dan dia mengirimiku pesan lagi.
{Sibuk memperhatikan Florence dari jauh? Kemari atau aku beritahu Florence kau di sana!}
Ray mengancamku. Oh, God! Dia memang sialan!
{Ok. Aku ke sana.} Balasku pada Ray. Aku membayar tagihan lalu beranjak dari kursi. Dadaku berdebar! Aku melangkah di belakangnya, tepat di belakang kursi Florence. Aku menundukkan wajah dalam-dalam.
Aku menghirup dalam-dalam aroma bunga menguar lembut dari tubuhnya.
"Oh, Sweet Heart. I love you too." Kata-kata itu terdengar lembut keluar dari bibirnya. Dia membuka tangan lalu memeluk Bella.
Suara itu ... betapa aku merindukannya. Aku setengah mati menahan keinginanku agar tidak menghubunginya. Aku merindukan suaranya. Sangat-sangat rindu. Aku menyentuh ujung rambut Florence, tanpa dia sadari.
Sial! Aku lemah! Pandanganku kembali mengabur. Air yang menggenang di dalam mataku kembali menghalangi pandangan. Aku mempercepat langkah keluar dari tempat itu menuju tempat yang kami janjikan bersama Ray.