"Mil?"
Salma menepuk pundak Emilia. Emilia yang sedari tadi mematung pun sedikit terkejut. "Eh? Ayo balik, Sal."
Emilia bahkan tak menarik lengan Salma. Gadis pirang itu berjalan mendahului sepupunya. Salma memandang punggung Emilia sebentar dan berbalik.
"Handphonenya! Gak usah modus mau ngambil lo!"
Salah satu siswi Kencana yang masih di sana menyerahkan ponsel berlogo apel tergigit sedikit itu kepada Salma.
Salma menerimanya dan berjalan mengikuti Emilia.
Sesampainya di parkiran SMA Antariksa, Salma dan Emilia berjalan menuju mobil putih yang tadi pagi di bawa Emilia.
"Eh, Lio?"
Salma dan Emilia berhenti begitu Salma menyapa Emilio yang baru saja keluar dari gerbang lorong sekolah. Emilia mendongak dan menatap Kakaknya itu.
Emilio mengernyit saat melihat Emilia memandangnya aneh. "Kenapa?"
Emilia segera berlari mendekati Emilio dan memeluknya. Ia terisak di dada Emilio. Salma mendekat dan ikut mengelus punggung sepupunya itu.
Emilio melihat Salma. "Kenapa?"
"Berantem sama Fakboi."
Emilio mengangguk dan mengelus kepala Emilia dengan sayang. Cowok berambut pirang itu meletakkan dagunya pada ujung kepala adiknya.
"Jangan nangis."
Emilio berbisik, dan hal itu justru semakin membuat Emilia terisak. Emilio menghela napas.
"Ehm, Li. Gue duluan deh, ya?"
"Naik apa?"
"Udah gampang itu mah. Lo tenangin aja adek lo!"
Emilio mengangguk dan Salma mulai meninggalkan Emilia berdua bersama Emilio.
"Cup, cup. Udah, Li."
"Hiks," Emilia menggeleng dalam dekapan Emilio. Emilio mengelus kepala Emilia sambil sedikit memainkan rambut pirang adiknya.
"Jangan nangisin cowok kalo gak mau lihat dia sakit besoknya."
Emilia mendongak dengan mata merahnya. Ia menatap Emilio yang juga menunduk menatapnya. "Maksud lo apa?"
"Gue yakin otak lo masih berfungsi dengan baik."
"Hiks ... Emilia kembali memeluk Emilio. "Sakit, Bang!"
Emilio mengecup kepala adiknya. "Jatuh cinta udah satu paket sama rasa sakit, Emilia. Kalo elo udah siap jatuh cinta, lo harus nerima konsekuensinya yaitu rasa sakit. Namanya hubungan gak bakal bisa berjalan mulus. Sama kayak hidup."
Emilio membawa adiknya itu untuk duduk di kursi yang tak jauh dari mereka. Ia membuka tas ranselnya dan mengeluarkan tisue dari sana. Emilio mencabut dua lembar tisue dan mengusapnya pada pipi adiknya.
"Jangan nangis lagi, hati gue juga sesak."
"Hiks ...," Emilia menunduk. "Dario bangsat, Bang!"
"Iya, namanya juga Fakboi."
"Tapi gue kesel, pengen aja gue remes-remes itu jantungnya!"
"Hm."
"Pengen gue kasih lada hitam otaknya!"
"Y."
"Hiks ... Pengen gue guntingin itu sel otaknya biar putus-putus."
"Y."
"Abang!!" rengek Emilia. "Pukul Dario, sih!"
"Nanti nangis, ngadu ke elo."
"Kan gue yang minta!" Emilia menyentuh lengan Emilio. "Pukul Bang, ubun-ubunnya!"
"Besok, kalo dia masih hidup."
***
Safna membuka matanya. Aroma bubble gum langsung memenuhi indera penciumannya saat sadar. Kamar yang di dominasi warna biru muda itu nampak luas dan nyaman.
Ceklek.
Pintu terbuka dan muncul Dario dengan pakaian santainya dan nampan di atas kedua tangannya. Ia tersenyum menatap Safna.
"Pusing?"
Safna mengangguk sambil memegang kepala. "Sedikit."
"Minum dulu," cowok berambut cokelat itu menyerahkan segelas air putih kepada Safna. Safna tersenyum canggung dan menerima gelas itu.
"Makan, ya?" tawar Dario.
"Eh. Nggak usah, Kak!"
"Udah gak usah malu-malu. Gue udah bawain dari bawah ke atas, capek loh."
"Hehe iya," Safna terkekeh canggung sambil mengusap tengkuk. Jujur saja ia masih blank.
Dario menyuapi Safna dan Safna menerimanya dengan kikuk. Beberapa menit kemudian Dario meletakkan piring itu di atas nakas. Ia memerhatikan Safna yang sedang meminum air putih dan gadis itu letakkan di atas nakas samping piring.
"Soal tadi," Dario menatap Safna. "Maafin Emilia, ya?"
Jujur saja Safna gugup di perhatikan intens oleh Dario. Tapi segera ia mengontrolnya.
"Jujur sih, Kak," suara Safna parau. "Gue gak tau kenapa, tadi gue lagi di depan gerbang sama temen-temen terus tiba-tiba cewek lo marah ke gue. Gue yang gak tau apa-apa bales dong? Eh dia malah mukul gue." Safna mengarang jawaban.
Dario mangut-mangut mendegarnya. "Maaf banget, Saf."
"Kenapa sih, Kak?" Safna mengangkat kepala, memandang Dario. "Kenapa gue gak boleh temanan sama elo?"
"Bukan gak boleh," Dario menggeser tempat duduknya sedikit. "Emilia memang cemburuan orangnya."
Really?
"Tapi dia keterlaluan, Kak."
"Maaf, Safna." Dario meraih tangan Safna dan meremasnya pelan. Ia menatap Safna dengan penuh permohonan.
"Kenapa lo gak putusin dia aja, sih? Gue tau, Kak elo gak nyaman sama dia, kan?"
Dario terdiam, ia perlahan melepaskan tangan Safna dari genggamannya. Cowok berambut cokelat itu tampak berpikir dan hal itu menimbulkan rasa senang di hati Safna.
"Kenapa, Kak? Lo masih ragu? Gue cuma mau kasih tau hal ini dari awal biar korban kayak gue gak semakin banyak."
Dario masih terdiam.
"Kak," Safna menyentuh bahu Dario. "Cewek bukan dia doang. Lihat sekeliling lo. Lo ganteng, lo lumayan pintar di sekolah, lo ketua basket, lo punya banyak teman di sekolah. Kenapa harus dia, Kak?"
"Emilia," bisik Dario. "She's my first love."
Safna kali ini diam. Ia memandang Dario dengan seksama. Cowok itu tampak ragu dan seharusnya ini kesempatan emas untuknya dan peluang besar.
"Gue," Dario melihat Safna. "Gue gak bisa!"
"Why?" suara Safna terdengar sedikit bergetar.
"Gue gak bisa giniin Emilia. Shit, Dario! What are you doing?!"
Safna memandang Dario yang kini berdiri sambil meremas rambutnya. "Gue ... Gue bodoh!"
"Kak," Safna mencoba menggapai Dario, tapi cowok itu menepisnya.
"Jangan ganggu gue!"
Brak!
***