"Bangsat!" desis Rachel.
Mitha, Ibu dari Lena menatap Rachel dengan pandangan merendahkan. "Tolong jaga cara bicara Anda, Nyonya Alfaro. Anda sama sekali tidak menunjukkan rasa hormat," sinisnya.
"Dih!" Rachel berdecih dan memandang Mitha dengan pandangan mencemooh. "Gila hormat, ya? Ora sudi gue hormat sama elo!"
Sedangkan Emilia, gadis itu hanya diam dengan pandangan kosongnya. Pikirannya bercabang. Entah apa yang di pikirkan yang jelas akan sulit untuk di jelaskan.
"Tolong sopan santunnya!" geram Mitha.
"Sampe gue mati gak bakal gue hormat sama elo!" Rachel mennggebrak meja dengan tangan kanannya. Marchel kini menangkup bahu Rachel dan mengelus lengan atas Istrinya. "Rachel, udah. Biar aku yang ngomong."
Rachel mendengkus. "Baiklah, apakah tidak bisa kita berdamai saja?"
Mitha kembali dalam mode nyinyirnya. "Memangnya Anda kira kami tidak bisa membayar pengobatan untuk anak kami? Kami punya uang! Kami hanya minta keadilan di sini!"
"Tolong jangan salah mengartikan ucapan saya, Nyonya Prandhika." Marchel mengucapkan itu dengan nada dinginnya. Bahkan aura mengintimidasi mendominasi ruangan saat ini. Mitha menelan ludah. "Pa, dia tau kita dari keluarga Prandhika?"
Surya Prandhika, Papa Lena mengangguk. "Dia Marchelino Alfaro, rekan bisnis Papa, Ma."
Mitha menelan ludah. Tapi ia berusaha menebalkan wajah untuk meminta keadilan yang sudah berjalan.
"Saya ingin membayarkan pengobatan anak kalian karena saya ingin bertanggung jawab, bukan untuk merendahkan keluarga Prandhika. Tolong cerna baik-baik ucapan saya sebelum menyela." Rachel tersenyum miring.
Suaminya bisa di andalkan di saat seperti ini. Dan lihatlah sekarang wajah Mitha pucat pasi mendengar ucapan yang mengandung sindiran dari Marchel.
Surya tampak memijit pelipisnya. Ia memberi peringatan kepada Mitha saat Istrinya itu membuka mulut, akan menjawab. Karena ia tahu, apapun yang Istrinya katakan, akan menjadi bumerang lagi bagi Istrinya.
"Bagaimana, Tuan Prandhika?" kepala sekolah akhirnya berbicara saat beberapa saat hening. Emilia sendiri masih duduk diam dengan mata kosong kedepan.
"Baiklah, kami ijinkan damai."
Dan saat Surya berkata seperti itu, Emilia berdiri dan sedikit membungkuk -tanda hormat- kepada orangtuanya, orangtua Lena dan kepala sekolah.
Gadis itu berlalu dengan santai dan menatap lurus, tujuannya kali ini bukan untuk kembali ke kelas. Melainkan rooftop untuk mencoba menenangkan pikirannya.
***
"Kamu mau balik ke Itali minggu depan?"
Frisca mengelus lengan atas Derano yang kini duduk di kursi belakang rumah dan ikut duduk di sebelah anaknya itu.
Derano mengangguk.
Frisca terkekeh, anaknya itu memang diam terus, bahkan ia sendiri heran melihatnya. Gen patung arca Derano, menurun dari siapa?
"Derano," panggil Frisca lembut. Derano sendiri hanya menoleh menatap Mamanya tanpa ekspresi. "Kamu udah punya pacar?"
Derano menggeleng.
Frisca menatapnya. "Kenapa?"
Anaknya itu tak menjawab, mungkin jika yang mengajaknya ngobrol Emilia atau Dario, mereka akan langsung berteriak sambil mendumal dua jam. Tak jarang juga Dario menjambak rambut Abangnya dan Derano hanya diam sambil menatap adiknya itu datar dan mengelus rambutnya.
Tapi saat Dario lengah, Derano balik menjambaknya. Pelan.
"Di kampus kamu gak ada yang bikin kamu tertarik, Rano?"
Derano menggeleng.
Uh, gue gregetan sama Derano! 😣
Frisca terkekeh lagi. Ia menatap figur anaknya itu dari samping. "Padahal kamu gak pernah pacaran loh, gak mau coba cari pengalaman?"
Derano kali ini mengernyit. "For?"
Akhirnya bicara, batin Frisca.
"Ya seenggaknya kamu coba cari pengalaman masa muda. Jangan kayak Mama yang cuma ketemu Papa kamu doang. Untungnya kita satu pemikiran jadinya jodoh, kalo nggak mungkin gak tau Mama gimana." Frisca terkekeh.
Derano mengamati Mamanya, ia perhatikan sedari tadi Mamanya itu mencoba mengajaknya ngobrol, Mamanya itu sering terkekeh.
Derano berdeham. "Anak Mama kan ganteng," Frisca membawa kepala anaknya itu ke arahnya. Derano memeluk bahu Frisca dan kepalanya bersandar pada bahu Mamanya. "Banyak cewek yang mau sama kamu, Mama yakin. Ih Dario aja udah punya Emilia yang cantik tapi galak. Masa kamu gak pernah punya pacar dari lahir."
Derano mendengkus. "Ribet."
"Mama cuma bercanda, Derano." terdengar suara tawa yang merdu. "Mau punya pacar atau nggak, Mama cuma bisa dukung anak Mama yang terbaik. Mama sayang sama Derano, Dario. Doa Mama jalan buat anak-anak Mama yang ganteng."
Frisca mengelus rambut halus Derano dan mengecupnya. Dagunya bersandar pada kepala Derano dan mendekap anaknya itu dengan sayang.
Rasa syukur tak henti ia panjatkan.
***
"Ketebak banget, gak sih. Kalo anak gadis gue larinya pasti ke rooftop? Ngerokok lagi! Yaampun anak gue bandel banget, ck ck ck."
Tolong berikan kaca.
Emilia tak menghiraukan ucapan Mamanya. Ia kembali menghisap rokoknya dan menatap dingin ke depan. Bisa dirasakan Rachel duduk di sebelahnya yang kini duduk di pinggiran gedung dengan kaki menggantung ke bawah gedung empat lantai itu. Dari sini terlihat jalanan ramai sekitar sekolahnya.
"Enak ye," Rachel menumpukan kedua tangannya ke belakang. "Jaman gue mana ada rooftop-rooftopan. Paling kalo gabut gue ke belakang sekolah. Di sana sejuk si, kalo di sini mah kalo mendung sama sore doang enak. Kalo siang kan panas."
Emilia tak menyahut. Melihat itu Rachel terkekeh dan merangkul pundak anaknya. "Udeh, gue maklumin gimana anak muda. Tapi gue akuin lo nekat si, gue kayaknya pernah bikin anak orang masuk rumah sakit, dulu."
"Bukan pernah lagi!" sahut Emilia ketus. Rachel tertawa mendengarnya. "Papap elo aja pernah gue bikin opname."
"Iyalah!" Emilia menghisap benda itu lagi. "Kalo kata takdir mah, belom afdol jadi jodoh Mama kalo belum di bikin opname!"
Rachel tertawa lagi. Mereka melihat ke arah parkiran dimana Mitha serta Surya yang sempat berdebat entah apa dan kemudian masuk ke dalam mobil. Emilia mendengkus, "Anaknye sok gaul, Ma. Giliran digaulin koma."
"Emang yang ngusik tu sape si?" tanya Rachel.
"Mereka, nyelengkat kaki Lia di kantin pas lagi bawa bakso. Padahal Lia kalem aja gak bertingkah. Lagi badmood juga pas itu, eh dia jual, yaudah Lia beli!"
"Terus?"
"Kawannya ada yang Lia tonjok perutnya, masuk UKS. Nah si Lena ini, yang koma, lagi itu Lia tampar sampe bibirnya berdarah. Lagian apaan coba? Dia dateng-dateng maen gaplok Lia. Sok mantep banget, anjing!"
Rachel mendengarnya tertawa dan mengacak rambut anaknya. "Ko bisa si lo jadi troublemaker?"
"Namanya buntut mah, ngikutin badan!" jawabnya.
Rachel tertawa lagi, Emilia mengernyit. "Tawa mulu, menang lotre, Ma?"
"Idih sori," jawab Rachel. "Punya ATM berjalan ngapain main lotre, bukan gaya gue."
"ATM berjalan?" heran Emilia.
Rachel tak menjawab, melainkan menggedikkan bahunya ke arah bawah. Lebih tepatnya ke arah parkiran sekolah. Di sana terlihat Marchel yang sempat salim ke guru piket di sana dan berjalan ke arah mobil.
"OI!" teriak Rachel. Marchel pun mencari asal suara. Sampai Rachel memanggil namanya dari atas rooftop baru lelaki dengan setelan jas warna abu-abunya itu menengadah. Ia mengernyit.
"Rachel, Emilia. Awas jatuh!"
"Kan ada kamu, bisa tangkep. Anggap aja bidadari turun dari rooftop!"
Ibu dan anak itu tertawa. Dan Marchel yang mengamati dari bawah hanya bisa geleng kepala sambil tersenyum kecil melihat dua badgirl cantiknya di atas sana.
Ia bergumam, "Papap sayang kalian."
***