Baixar aplicativo
5.01% Cinta Yang Belum Kelar / Chapter 15: Meet again.

Capítulo 15: Meet again.

Seperti dugaanku. Itu benar Ardhan yang turun dari mobil menuju toko yang aku tempati sekarang. Segera berbalik badan karena aku mendengar suaranya mendekat menyapa para pekerja dibelakangku. Tidak, tidak boleh. Aku harus segera pergi.

Buuughhhh..!!!!

Kujatuhkan kardus yang kubawa hendak ke dalam dan aku berlari ke arah toilet.

"Maaf, Bu Inah, saya mau ke toilet dulu," pamitku pada Bos saat aku berpapasan dengannya. Kulihat Bu Inah bingung dengan sikapku. Tapi aku tak peduli. Aku panik karena tak ingin Ardhan menemukanku disini.

"Kenapa Ardhan bisa ada disini? Bukankah ini masih Toko baru. Bahkan peresmian dan pembukaan Tokonya belum digelar. Apa yang dia lakukan disini?" gumamku sendiri dibalik pintu toilet.

Aku merabaku dadaku, degup jantung ini masih tetap sama dengan yang dulu. Saat bertemu Ardhan, hatiku selalu berdetak lebih kencang. Seolah menandakan bahwa separuh hatiku ada di Ardhan.

Tak terasa aku meneteskan air mata. Sesak rasanya menahan sakit ini. Andai dulu Ardhan tidak menolakku. Ah, tidak! Aku tak sepenuhnya menyalahkan Ardhan. Ini semua salah Ayahku sendiri yang hendak menjodohkan aku dengan rekan kerjanya. Kalau tidak ada hal itu, mungkin aku dan Ardhan masih bersama.

Dok dok dok...

"Anaya... Kamu masih di dalam?" panggil Bu Inah. Aku segera menyeka air mataku dan membuka pintu.

"Eh. Iya, Bu. Maaf. Sepertinya saya sedang tidak enak badan. Apa saya boleh ijin ya, Bu?" pintaku pada Bu Bos, saat sudah membuka pintu.

"Kenapa? Apa kamu sakit? Gak papa kalau kamu ijin dulu sekarang. Apa perlu diantar? Kebetulan anak ibu datang loh barusan," ucap Bu Inah yang tiba-tiba saja membuat jantungku seperti berhenti berdetak.

"Apa yang dimaksud itu Ardhan? yang benar saja?" batinku dalam hati dengan masih mematung didepan Bu Bos.

"Nay, kamu gak papa?" panggil Bu Bos lagi

"Ah eh.. iya, Bu... Emm gak usah diantar, Bu. Nanti saya bisa pulang sendiri. Sepertinya saya butuh toilet lagi Bu maaf," pamitku pada Bu Bos dan segera masuk ke bilik toilet lagi.

Aku akan melihat situasi dulu dan memastikan agar aku tak bertemu dengan Ardhan.

Aku keluar dari toilet dengan menoleh kanan dan kiri memastikan bahwa Ardhan tak lagi di Toko ini. Dan aku rasa memang sudah tak ada. Tapi pikiranku sudah kacau dan aku benar-benar pusing. Sekarang aku ingin segera pulang saja.

"Bu Bos. Saya pamit pulang dulu ya. Besok saya kesini lagi," pamitku pada Bu Bos.

"Ahh. Kamu beneran pulan? Sayang sekali. Ya sudah gak papa. Semoga kamu baik-baik saja. Jangan telat makan ya? Ibu sangat butuh kamu besok. Lusa kita mengadakan pembukaan Toko Baru ini. Kamu yang sehat ya?" ucap Bu Inah padaku yang kuangguki dan benar-benar pamit padanya.

Aku mendesah lega saat keluar dari Toko. Padahal masih setengah hari bekerja. Bahkan ini belum jam istirahat aku malah ijin pulang. Aku merasa tak enak hati pada Bu Bos. Tapi sudahlah. Besok aku harus lebih giat bekerja. Semangat!! Kataku sendiri sambil mengepalkan tangan.

Saat aku berjalan hendak ke halte bis, aku kaget karena tiba-tiba ada mobil hitam yang hampir menyerempetku.

" Aaaa... " teriakku. Sambil menangkupkan tangan diatas kepala.

" Maaf mbak. Apa mbak tidak papa?" Suara itu mengembalikan kesadaranku, bahwa ternyata aku baik-baik saja.

Dan suara itu...

Aku menoleh ke sumber suara. Kami berdua terpaku sama lain. Setelah tujuh tahun, sekarang aku bertemu lagi dengannya. Susah payah aku menghindarinya. Kenapa malah ada didepan mataku?

Cukup lama kami saling pandang. Seperti tak percaya akan waktu yang mempertemukan kita. Kulihat Ardhan juga seperti kaget melihatku.

"Apa mbak tidak apa-apa?" tanyanya lagi. Membuatku kesal. Mbak? Kenapa Ardhan menyapaku seperti itu? Seolah tak mengenalku. Bisa-bisanya sekarang dia lupa dengan wajahku? Semudah itukah melupakanku seolah tak pernah ada sesuatu diantara kita??

" Ya!" jawabku ketus. Tapi aku masih tetap memandangnya sinis.

"Mbak, pakai seragam Toko baru itu kan?" tanyanya lagi membuatku mendengus kesal.

"Kenapa?" kataku dingin.

"Maaf tadi saya sedang ambil hp yang jatuh di mobil saya. Jadi tidak melihat kalau didepan ada orang," jawabnya lagi. Terdengar seperti sangat merasa bersalah. Tapi apa benar dia tidak ingat?

"Mbak mau saya antar? Anggap saja sebagai permintaan maaf saya karena hampir menabrak mbak," tuturnya lagi.

"Anda benar-benar tidak ingat saya?" tanyaku sinis padanya.

"Mm, maaf. Memangnya kita saling kenal ya??" jawabnya dengan menanyakan hal yang membuatku muak. Yah mungkin aku tak pantas untuk diingat.

"Ah, tidak. Mungkin aku salah orang. Permisi!" Dan aku pergi dengan membawa sejuta kesal dalam hati.

Rasanya ingin marah dengan orang itu. Bisa-bisanya tidak kenal dengan orang yang pernah menjadi tambatan hatinya. Bahkan sampai sekarang pun aku tidak pernah bisa melupakannya.

Tak terasa aku kembali menangis. Sudah cukup Anaya. Dia tidak pantas untuk ditangisi lagi. Sudah terlalu lama kamu menangis untuknya. Aku memijat pelipisku karena sakit kepalaku mulai bertambah.

Aku kesal. Aku marah Dan aku ingin meluapkan amarah ini. Aku berlari karena kurasa hujan menyambut kemalanganku hari ini. Aku berhenti dan terduduk di tengah jalan sambil menangis meraung seperti anak kecil.

Untung saja jalanan yang kulewati sepi. Hujan deras mengguyurku. Aku tak menghiraukan keadaanku sekarang yang sudah basah kuyup. Aku hanya ingin meluapkan apa yang ada di hatiku.

"Hey, kenapa hujan-hujanan. Kamu jadi basah semua," Tiba- tiba kudengar suara itu lagi. Aku mendongak karena tak ada tetesan hujan lagi mengguyur ku. Ardhan kembali lagi ke hadapanku dengan membawa payung. Aku segera berdiri dan mengamuk padanya.

"Kenapa kau menganggapku orang asing hah???? Semudah itukah kamu melupakan aku hah??!!! Dasar cowok gak berperasaan aku muakk dasar menyebalkan. Aaaaa ..." amukku padanya dengan terus menangis dan memukul dada Ardhan.

Aku tak melihat Ardhan akan membela dirinya. Dan sakit kepalaku sedang tak bisa diajak kompromi. Aku lelah. Dan setelah nya. Tubuhku lunglai dan aku tak ingat apapun lagi.

*****

Aku mencium parfum maskulin. Pertama yang kulihat adalah langit-langit berwarna putih. Aku edarkan pandangan ke sekelilingku. Ini bukan tempat yang ku kenal. Bukan tempat kerjaku atau bahkan ini bukan kamarku. Kupijat pelipisku karena masih sedikit pusing.

Aku mencoba bangun dari pembaringanku. Aku ingin keluar dari sini. Dan segera pulang.

"Hey, kamu sedang apa? Kamu mau kemana? Kamu masih sakit," ucap Ardhan yang membuatku menoleh seketika ke arahnya. Aku tepis pegangannya di lenganku.

"Aku mau pulang!! Minggir!" jawabku sinis dan mulai berjalan pelan.

"Maaf kalau aku gak ingat sama kamu. Beberapa tahun lalu aku kecelakaan dan aku hilang ingatan," jelas Ardhan padaku, yang membuatku menghentikan langkah. Aku menatapnya tak percaya. Tapi Ardhan bukan orang yang akan berbohong. Aku mendesah.

"Bukan hal penting. Aku pergi," kataku acuh. karena aku terlalu lelah.

Aku keluar dari rumah, yang aku kira itu adalah rumah Ardhan. Tapi Ardhan segera mengejarku.

"Please, sekali ini saja biar aku yang mengantar kamu ya??!!!Kamu masih sakit. Aku sangat minta maaf untuk kejadian hari ini. Sungguh aku tidak sengaja," katanya bersikeras.

"Ya sudah," jawabku.

"Apa?" tanyanya bodoh.

"Katanya mau antar saya pulang?" ucapku agak meninggikan suara. Kenapa Ardhan jadi bodoh? pikirku.

"Oh iya, baik. Sebentar saya ambil kunci mobil dulu."

*****

Dalam perjalanan pulang aku hanya diam seribu bahasa. Aku memejamkan mata guna menghilangkan rasa sakit dikepalaku.

" Emm. Maaf. Boleh aku tanya namamu?" tanya Ardhan tiba-tiba. Aku menoleh ke arahnya.

"Naya," jawabku singkat dan mengalihkan pandanganku lagi lalu kembali memejamkan mata.

"Namaku Ardhan. Maaf soal tadi. Dan kira-kira kemana aku harus antar kamu?" katanya lagi. Aku berdecak. Karena lupa tidak memberi tahu alamat kos ku. Dan lagi aku muak dengan percakapan ini. Seolah kita seperti orang yang baru pertama kali bertemu.

"Setelah perempatan itu belok kiri. Turunkan aku disana saja," kataku dan hendak bersiap turun.

Ardhan benar-benar mengikuti instruksi ku. Dia menepikan mobilnya ditempat yang aku maksud. Aku hendak turun tapi tidak bisa karena pintu mobil masih terkunci. Aku menolehnya tidak mengerti. Lalu dia balik menatapku.

"Sepertinya disini bukan rumahmu. Di sini masih area pertokoan," katanya sambil melihat sekelilingnya. Aku berdecak sekali lagi.

"Cckk, mungkin anda belum tahu semua tentang kehidupan sekeliling anda. Segera buka pintunya. Dan saya akan turun," kataku masih dengan nada dingin. Kulihat Ardhan memandangku tak suka. Sepertinya dia mulai tak suka dengan sikap dinginku.

Aku segera turun dari mobil dan berjalan ke arah gang diantara pertokoan. Lalu aku merasakan tangan besar yang kokok meraih tanganku.

"Sebenarnya apa masalahmu? Aku sudah minta maaf kan? Kenapa kamu terlihat seperti seorang kekasih yang sedang merajuk?" katanya menohok perasaanku. Aku mendelik tak percaya.

"Bukan urusan anda! Terima kasih sudah menolong saya. Permisi !!!" jawabku dengan segera melepaskan tangannya dariku.

Kudengar dia menghela napas panjang. Aku tak peduli lagi. Yang aku inginkan sekarang hanyalah tempat tidurku yang hangat.


next chapter
Load failed, please RETRY

Presentes

Presente -- Presente recebido

    Status de energia semanal

    Rank -- Ranking de Poder
    Stone -- Pedra de Poder

    Capítulos de desbloqueio em lote

    Índice

    Opções de exibição

    Fundo

    Fonte

    Tamanho

    Comentários do capítulo

    Escreva uma avaliação Status de leitura: C15
    Falha ao postar. Tente novamente
    • Qualidade de Escrita
    • Estabilidade das atualizações
    • Desenvolvimento de Histórias
    • Design de Personagens
    • Antecedentes do mundo

    O escore total 0.0

    Resenha postada com sucesso! Leia mais resenhas
    Vote com Power Stone
    Rank NO.-- Ranking de Potência
    Stone -- Pedra de Poder
    Denunciar conteúdo impróprio
    Dica de erro

    Denunciar abuso

    Comentários do parágrafo

    Login