Amarah Farani kepada kakaknya mereda setelah dua hari berlangsung. Itupun dengan sogokan sebuah sepatu baru dan juga tambahan uang jajan. Fareza rela berkorban demi adiknya dan demi keberlangsungan hidupnya di rumah. Andai Ayah dan Bunda mengetahui bahwa kakak beradik itu sedang terlibat perang dingin, ditambah penyebabnya adalah Fareza, jelas dia akan mendapat masalah yang serius dari kedua orangtuanya.
"Udah, nggak usah ngambek lagi." Ucapan Fareza terdengar tidak iklas saat menyerahkan uang jajannya kepada Farani.
"Siapa yang cari masalah duluan?"
"Udah, udah maafan juga." Rere yang menjadi penengah segera melerai kakak beradik itu. Kalau tidak segera dipisah, bisa menciptakan peperangan baru.
"Re, ayo kita foya-foya. Gue punya banyak duit nih." sambil mengibaskan uang yang baru saja diterimanya, Farani menarik tangan Rere.
Fareza hanya bisa pasrah menerima perlakuan adiknya yang semena-mena itu. Ditambah lagi menyaksikan kekasihnya berkhianat, memilih pergi menemani Farani ketimbang dirinya.
"Ya udah, lo pacaran aja sama adek, jangan sama gue." teriak Fareza dari kamarnya kepada Rere.
Tentu saja Farani tidak benar-benar pergi untuk foya-foya. Mereka hanya ke minimarket terdekat untuk membuat Fareza jengkel. Tidak sampai 5 menit, Farani dan Rere sampai di minimarket. Saat tengah sibuk emmilih cemilan yang akan mereka beli, Farani mencolek Rere.
"Ada apa dek?"
"Re, gue mau minta pendapat nih. Abis ini kita ngobrol bentar ya." Anggukan Rere menjadi tanda persetujuan untuk permintaan Farani.
Di depan minimarket terdapat beberapa buah bangku yang memang disediakan untuk pelanggan. Belanjaan seabrek memenuhi meja bundar diantara kursi yang di duduki Farani dan Rere.
"Gimana?" Rere memulai pembicaraan.
"Gue kan mau minta maaf nih ceritanya, enaknya gue bawa apa sebagai bingkisan?" Farani bertanya dengan hati-hati, karena Farani belum menceritakan apa yang terjadi saat acara nonton beberapa waktu yang lalu.
"Lo dateng minta maaf aja udah bagus kok."
"Kan gue ceritanya mau dateng ke rumah dia. Masa nggak bawa apa-apa?"
"Lo mau nyindir gue karena nggak pernah bawa apa-apa pas ke rumah?" sedikit banya Rere merasa tersinggung.
"Bukan, bukan gitu maksud gue." Farani menggaruk kepalanya yang tidak gatal, merasa frustasi dengan pembicaraan yang tak mulus ini.
Rere tersenyum mendapati tingkah adik pacarnya yang unik itu. "Iya iya, gue paham."
Beberapa menit berlalu saat Rere berpikir. Dalam benaknya terdapat beberapa ide, seperti membawa kue, bunga atau cemilan. Tapi Rere tidak merasa yakin kalau itu ide yang tepat.
"Emang lo mau ngasih ke siapa?"
Pertanyaan yang tepat sasaran. Percuma dia memberikan banyak usulan tapi tidka tahu orang macam apa yang akan menerima bingkisan itu.
"Eeh, temen sih, bukan siapa siapa juga." jawaban Farani membuat Rere curiga. "Intinya sih dia perempuan."
"Kalo gitu mah, bawa aja cake yang manis. Biasanya kan perempuan suka yang manis-manis."
"Termasuk abang gue?" Godaan Farani membuat Rere manyun.
"Abang lo nggak manis tau."
*
Sepulang sekolah, Farani berencana mengunjungi rumah Sita. Sesuai diskusi dengan Rere, Farani akan membawa cake manis sebagai buah tangan. Juga sebagai permintaan maaf kepada Kia. Entah kenapa, Farani merasa bersalah kepada Kia.
Masalah lain yang dihadapi oleh Farani adalah dia TIDAK tahu dimana rumah Sita. Bukan hal yang aman untuk bertanya kepada abangnya maupun Rere tentang alamat Sita. Mereka akan sangat berisik saat mendapati dirinya menanyakan hal tersebut.
"Mau kemana coba?" Raffi mengagetkan Farani yang sedang berpikir keras.
"Ah lo bisanya ngagetin gue mulu deh."
"Maaf deh maaf. Abis daritadi dipanggil nggak ngerespon."
"Gue mau pergi." Farani to the point.
"Mau gue anter?" Raffi menawarkan bantuan dengan gentle-nya.
Farani berpikir sejenak. Ada bagusnya Raffi mengantar, tapi dia tidak ingin ada seorangpun yang mengetahui apa yang sedang dilakukannya itu. "No, gue menolak. Ini urusan perempuan."
Mendengan kata 'ini urusan perempuan' membuat Raffi tidak bisa menawar. Dengan jelas dia mengetahui bahwa itu tandanya Farani tidak mau diganggu. Tanpa basa basi Raffi mengundurkan diri. Segera dia kembali ke mobilnya dan bergegas pergi.
Setelah mobil Raffi menghilang dari pandangan, Farani segera pergi menuju toko untuk membeli cake seperti gambaran Rere. Sesuatu yang manis dan enak. Done.
Hal selanjutnya yang harus dilakukan Farani adalam menuju rumah Sita. Bagaimana dia bisa sampai ke rumah Sita, sedangkan alamatnya saja dia tidak tahu.
"Trus gue kudu gimana coba?" pertanyaan itu dia ucapkan untuk dirinya sendiri.
Cara termudah adalah menelepon Sita dan meminta untuk menjemputnya. Tapi setelah dipikir, hal itu terdengar lucu. Minta tolong tuan rumah untuk menjemput tamu yang akan berkunjung ke rumahnya.
'Emang ada cara lain?' batin Farani sambil melihat HPnya sesekali.
Karena sudah terlalu putus asa, akhirnya Farani menghubungi Sita. Setelah memberitahu dimana lokasinya, Farani menutup telepon dan menunggu jemputan.Butuh waktu 15 menit bagi Sita untuk menemukan keberadaan Farani.
Begitu masuk ke dalam mobil Sita, Farani langsung memberinya wejangan. "Jangan bilang sama Abang ataupun Rere kalo gue ke rumah lo. Oke?"
Dan seperti yang sudah bisa ditebak, Sita hanya mennganggukkan kepalanya sebagai tanda persetujuan. Perjalanan kali ini terasa singkat bagi Farani.
"Masuk." Sita mempersilahkan tamunya untuk masuk.
Rumah berlantai dua itu sepi, tidak tampak ada penghuni kecuali mereka berdua.
"Kia dimana?"
"Kia ke Jakarta sama Mama."
Farani lalu memberikan bingkisannya kepada Sita. "Sebenernya ini cake buat Kia."
Melihat cake yang sedari tadi dipegangi oleh Farani, Sita lalu menerimanya. "Duduk, gue ambilin minum."
Ini kedua kalinya Farani berkunjung ke rumah Sita. Berbeda dengan kunjungan pertamanya, kali ini rumah Sita benar-benar terasa sepi. itu karena hanya ada mereka berdua di rumah bercat warna putih ini.
'Wait, cuma berdua?' seketika kenyataan itu menyadarkan Farani. 'Oh God, gimana ini?'
Sita datang sambil membawa nampan berisi minuman dan cake yang tadi dibawa Farani.
"Itu kan buat Kia." protes Farani.
"Kia bakal balik seminggu lagi, cakenya udah basi pas Kia balik."
Dari sekian banyak kursi sofa yang ada di rumah tengah, Sita memilih untuk duduk disamping Farani.
"Minum." Seperti disihir, Farani menuruti setiap perkataan Sita.
Di sepersekian menit keheningan yang terasa biasa, Farani masih mengedarkan pandangannya di rumah ini. Saat pandangannya mengarah ke Sita, dia melihat lelaki itu tengah memejamkan matanya sambil menyandarkan kepalanya di sofa. Sepertinya Sita sangat kelelahan.
Rasa penasaran menguasai Farani, membuatnya mendekat ke arah Sita. Melihat pahatan Tuhan yang sempurna membuat Farani terpukau. Entah apa yang dipikirkannya, tanpa sadar tanganya membelai rambut Sita yang menutupi matanya.
Refleks yang tidak pernah disangka oleh siapapun, Sita mengenggam tangan Farani. Sikap waspada muncul setelahnya. Farani yang merasa kaget langsung bergerak mundur menjauh.
"Maaf." Tangan Farani masih digenggam oleh Sita.
Setelah berhasil menguasai dirinya, Sita melepaskan tangan Farani dan memperbaiki posisi duduknya. Dari sudut ini, Farani bisa melihat dengan jelas wajah Sita yang kelelahan.
"Kalo capek, istirahat aja. Gue balik." segera Farani memungut tasnya dan bangkit dari duduknya.
"Duduk." seketika itu juga Farani langsung terduduk. "Maaf, gue nggak sengaja ketiduran. Kenapa lo dateng kesini?"
Karena situasi yang di luar kendali, Farani sampai melupakan niat awalnya berkunjung ke rumah ini. "Gue mau minta maaf sama Kia."
"Soal apa?"
"Soal kemarin waktu kita nonton. Gue udah berprasangka buruk."
"Lo nggak ada niatan minta maaf ke gue juga?"
"iya, itu juga." kepala Farani tertunduk, mengakui semua kesalahannya, tapi... "Hah?"
Jebakan yang sangat rapi.
Sesinggung senyum menghiasi wajah Sita. Sejak pertemuannya dengan Farani, Sita merasa ada beberapa hal yang membuatnya merasa berbeda.