"Coba tebak apa yang kami lakukan selama kalian bersenang-senang di dalam sekolah." ucap Yurisa pada Nadine yang lalu menuntunnya menuju ke bagasi mobil.
Saat Yurisa membuka bagasi mobil, terlihat beragam jenis makanan ringan siap makan dan bahkan ada beberapa makanan instan. Bahkan ada sebuah kompor kecil dan juga beberapa kaleng gas untuk bahan bakar kompor.
"Wow, kalian melakukannya dengan sangat baik."
Melihat respon yang ditunjukkan oleh Nadine membuat Yurisa puas. Mereka semua kini telah kembali ke dalam mobil dan melaju di jalan raya meninggalkan area sekolah.
"Jadi, kau adalah adiknya Kevan?" tanya Yurisa sembari berbalik dari kursi depan. Yurisa mengulurkan tangan kanannya, "Namaku Yurisa. Kau bisa memanggilku Risa, atau kakak cantik, atau kakak cantik yang baik hati, atau kakak cantik yang baik hati dan sangat manis."
Rea meraih tangan Yurisa dan menganggukkan kepalanya dengan sopan, "Rea."
"Senang berkenalan denganmu, Rea!" ucap Yurisa sembari memamerkan senyuman yang lebar.
Di kursi belakang, Rea duduk di sebelah Kevan dan Kayla.
Kayla menatap tajam ke arah Kevan, "Cepat buka bajumu!"
Mendengar teriakan Kayla yang begitu tiba-tiba membuat Yurisa, Nadine dan bahkan Rea terkejut. Nadine bahkan hampir menabrak pembatas jalan berkat teriakan Kayla itu.
Yurisa menutup mulutnya menggunakan tangan kanannya, "Hey, Kayla, bukankah kalian tak bisa melakukan hal itu di sini? Aku tahu dunia ini sudah sama saja seperti kiamat. Namun kau harus memikirkan perasaan kami juga. Lagi pula, ada anak di bawah umur bersama kita. Tidak bisakah kau menunggu hingga kita sampai di tempat yang lebih baik?"
Kevan dan Kayla saling beradu pandang. Kevan menatap mata Kayla dengan tatapan dingin, sementara Kayla membalasnya dengan tatapan menantang, seakan tak merasa terintimidasi sama sekali dengan tatapan Kevan yang menakutkan itu.
"Kau mau membukanya sendiri atau aku yang akan membukanya?!"
Yurisa semakin tak bisa mengontrol ekspresinya. "Aku tak tahu hubungan kalian sudah sampai sejauh ini. Oh, kurasa jantungku tak akan siap dengan hal ini."
Kevan hanya terus diam menatap tajam ke arah Kayla.
Namun saat Kayla mencoba meraih kaus yang dikenakan oleh Kevan, Kevan menahan tangannya. "Akan kulakukan sendiri."
Nadine dan Yurisa menelan liur mereka sendiri. Nadine benar-benar berusaha mati-matian untuk tetap fokus pada jalan yang ia lalui. Biar bagaimanapun dialah orang yang berada di kursi kemudi. Nyawa semua orang bergantung padanya. Kecelakaan kecil saja akan membuat hidup mereka semua dalam bahaya.
Kevan menarik kausnya dari bawah hingga melewati kepalanya.
Yurisa yang tadinya terus melihat ke belakang kini mengarahkan pandangannya ke depan. Ia terkejut dengan tubuh bagian atas Kevan yang tak tertutupi kain sedikitpun. Meski ini bukan pertama kalinya ia melihatnya juga.
Setelah Kevan menanggalkan kausnya, Kayla langsung mengambil sebuah salep untuk mengobati luka yang diderita oleh Kevan. Salep yang ia ambil dari minimarket tadi.
Mungkin bukan obat terbaik, namun setidaknya bisa mengurangi rasa sakit yang diderita oleh Kevan.
Dengan lembut Kayla menoleskannya di tubuh Kevan. Begitu banyak luka yang diderita oleh Kevan. Dari luka sobek hingga luka memar. Melihatnya saja membuat Kayla merasa sedih, karena tahu bahwa semua luka itu Kevan dapatkan saat menyelamatkannya.
Tentu saja Kayla merasa bersalah dan perlu bertanggung jawab. Setidaknya ia ingin membantu walau hanya sedikit.
"Kau tak perlu melakukan hal yang sia-sia seperti ini. Aku-- ... Argh! Bisakah kau pelan sedikit?"
Kayla sengaja menekan luka memar di pundak kiri Kevan. "Diamlah, aku sedang berkonsentrasi."
Sepertinya Kayla memang terlalu berkonsentrasi. Gadis itu bahkan tak sadar saat Kevan menatapnya dari dekat. Kedua mata Kayla terfokus pada luka di tubuh Kevan, sedangkan kedua mata Kevan terfokus pada wajah Kayla yang sedang serius mengobatinya.
Bathump~ ...
Jantung Kevan berdegub lebih keras dari biasanya. Terlebih saat Kayla meniup bekas luka di tubuhnya.
Yap.
Seorang Kevan benar-benar terdiam karena Kayla.
Dan ekspresi yang ditunjukkan oleh Kevan saat ini tak sengaja terlihat oleh Nadine dari kaca spion.
"Okay, sudah selesai." ucap Kayla sembari menutup kembali salep pengobat luka itu. Namun saat itu juga Kayla baru menyadari bahwa Kevan sedang menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan.
Mereka berdua saling beradu pandang tanpa mengatakan apapun selama beberapa saat.
"Ekhem~ ... " Nadine sengaja membuat suara, dan hal itu membuat Kayla dan Kevan berhenti menatap satu sama lain. "Apakah kau sudah bisa menghubungi ayahmu?"
Kayla mengarahkan pandangannya ke luar jendela. Rona merah tercetak jelas di pipinya. "Be-belum."
"Bagaimana denganmu, senior?" tanya Nadine yang ditujukan kepada Kevan.
"Kami sudah lama tak berhubungan dengan orangtua kami. Selama ini Kami hanya hidup berdua. Jadi, tak perlu khawatirkan kami." sela Rea yang sepertinya menggantikan Kevan untuk menjawab. Entah mengapa Nadine bisa mengerti, bahwa Kevan dan Rea tak memiliki hubungan yang baik dengan orangtua mereka.
"Sepertinya kita harus mencari tempat pengisian bahan bakar jika ingin terus bisa menggunakan mobil ini." Nadine menyadarinya saat melihat jarum yang menunjukkan isi tangki bahan bakar.
Setelah beberapa saat berkendara, Nadine memberhentikan mobil di sebuah tempat pengisian bahan bakar dan mematikan mesin mobil. Kevan turun lebih dulu tanpa mengatakan apapun, dengan katana hitam yang ia pegang di tangan kanan.
Di sana terlihat beberapa zombie mondar-mandir. Meski tak banyak, namun tetap saja terlalu berbahaya bagi mereka untuk bertindak ceroboh.
"Apakah dia akan baik-baik saja dengan semua luka itu?" tanya Yurisa dengan raut wajah cukup khawatir. Kayla dan Rea menunjukkan ekspresi yang sama, namun tidak dengan Nadine.
Dengan tenang Nadine menyandarkan punggungnya pada kursi yang ia duduki. "Dia akan baik-baik saja. Melihat bagaimana dia menebas zombie-zombie tadi di sekolah, aku bahkan merasa dia bukan manusia biasa."
Nadine pun mengembuskan napas panjang dan menutup matanya, dengan kedua tangannya menyilang di depan dada. "Rea, aku mulai penasaran dengan hidup seperti apa yang kalian lalui selama ini."
Rea yang mendengar itu mengerutkan keningnya, "Maksudnya?"
"Aku kenal banyak orang yang bisa dikatakan handal dalam bertarung. Tapi, aku belum pernah melihat seseorang dengan tatapan mata seperti yang kakakmu itu miliki saat bertarung."
"Aku tak mengerti pertanyaanmu."
"Baiklah, lupakan. Aku tak akan menanyakannya lebih jauh. Biar bagaimanapun, aku tak bisa seenaknya bertanya tentang kehidupan pribadi orang lain. Terlebih, kita baru pertama kali bertemu." ucap Nadine yang membuat suasana menjadi hening selama beberapa saat.
Semuanya benar-benar hening. Mereka bisa melihat Kevan mengayunkan katananya beberapa kali untuk menebas zombie-zombie yang ada di sana sendirian.
Hingga akhirnya keheningan itu hilang saat Rea mulai berbicara.
"Aku dan kakakku lahir di keluarga yang bisa dibilang lebih dari serba berkecukupan. Ayahku adalah seorang pemilik perusahaan minyak dan tambang batu bara di Abu Dhabi, sedangkan ibuku adalah seorang aktris. Aku selalu berpikir bahwa kami adalah keluarga yang bahagia."
Mungkin tak ada yang mengatakan apapun, namun Kayla, Yurisa dan Nadine sungguh-sungguh mendengarkan apa yang Rea berusaha ceritakan kepada mereka.
"Tapi saat aku mulai beranjak dewasa, aku menyadari sedikit demi sedikit bahwa semua yang terlihat oleh mata, tak semuanya adalah kebenaran. Ibuku mulai berhubungan dengan laki-laki lain yang saat ini telah menjadi suaminya, dan ayahku mulai membenci kakakku karena kakakku menolak untuk kuliah di jurusan bisnis agar bisa menjadi penerus perusahaan."
Rea berhenti sejenak. Kayla yang duduk di sampingnya bisa melihat bahwa tubuh Rea mulai gemetaran.
"Dan semuanya menjadi kacau saat ayahku mulai kecanduan obat-obatan terlarang. Dia selalu memukul kakakku kapanpun dia berada di bawah pengaruh obat-obatan itu, dan kakakku hanya diam tak membalasnya. Alasan kakakku tak melawan adalah karena biar bagaimanapun, dia masih ayah kami."
Rea kembali berhenti untuk mengambil napas. Gemetar di tubuhnya semakin hebat. Karena itu, Kayla meraih tangan Rea dan menggenggamnya, berusaha menenangkannya.
"Alasan kenapa selama ini aku hanya tinggal berdua dengan kakakku adalah, karena insiden malam itu. Ayahku benar-benar berada di bawah pengaruh obat-obatan terlarang, dan kakakku belum pulang ke rumah. Aku terbangun saat merasa ada sesuatu yang sedang meraba tubuhku. Dan saat aku membuka mata ... saat aku membuka kedua mataku ... "
Air mata lolos dari pelupuk mata Rea. Kayla menatap Rea dengan tatapan iba, "Kau tak perlu melanjutkannya jika memang hal itu terlalu berat bagimu."
Rea menggelengkan kepalanya dan kelihatannya ia akan melanjutkan ceritanya. "Saat aku tersadar, tubuh bagian bawahku sudah tak tertutup apapun lagi. Dan ayahku benar-benar ingin melakukan hal itu kepadaku. Aku mulai berteriak dan memohon agar ayahku tak melakukannya. Dan saat itu juga, kakakku yang baru pulang mendengar teriakanku. Itu adalah pertama kalinya aku melihat kakakku memukul ayah dengan sangat brutal. Dia menyuruhku untuk berpakaian saat ayah sudah tak bisa bergerak. Dan saat itu juga kami berdua pergi meninggalkan rumah dan hidup berdua."
"Dia berusaha menjadi sosok orangtua bagiku. Dia mengurusku dengan sangat baik dan mencoba menanggung semua beban hidup kami sendirian. Meski selama ini kehidupan kami sederhana, namun dia terus berusaha memberikan yang terbaik untukku tanpa memikirkan dirinya sendiri. Aku merasa tak berguna sebagai adik baginya ... "
Rea pun tak bisa lagi menahan tangisannya. Ia menangis tersedu-sedu. Kayla yang duduk di sebelahnya menarik tubuh Rea dan mendekapnya dengan erat.
Bahkan Yurisa mulai menangis.
Kini mereka semua tahu kehidupan seperti apa yang Kevan lalui selama ini hingga ia bisa menjadi seperti yang sekarang.
Nadine kembali merasa jijik dengan dirinya sendiri, mengingat dia pernah menjadi seseorang yang percaya pada rumor jelek tentang seorang Kevan.
Nadine kembali membuka matanya. Dan di ujung pengelihatannya, yang bisa ia lihat hanyalah punggung seseorang yang baru saja menebas habis semua zombie yang ada di sana.
Punggung seorang lelaki yang membuat jantungnya berdegup kencang.
Dan sejak saat itu juga, Nadine mulai melihat Kevan dengan cara yang berbeda.