RANDITA
Sudah hampir pukul sembilan malam ketika Revano meneleponku dan bilang ingin menjemput. Aku anggap angin lalu saja sih. Mana mungkin dia malam-malam rela menjemput ke kantor yang jaraknya lumayan jauh dari apartemen. Siang tadi juga dia bertanya pulang jam berapa. Anak itu entah beneran serius atau cuma lagi kurang kerjaan. Nggak tahulah, aku sudah capek dan laper, ingin segera pulang ke unit.
"Jadi, kita nggak makan-makan dulu nih?" tanya Santi. Dia, aku dan Garan berada dalam satu lift. Kami bertiga sama-sama lembur demi deadline.
"Nggak ah, gue mau langsung pulang aja. Badan gue pegel-pegel mau tidur." Padahal aku lapar. Tapi itu nggak masalah di rumah ada makanan. Sebelum tidur, aku bisa makan dulu. Mataku sulit terpejam dalam keadaan lapar.
"Mau gue pijitin nggak, Ran? Pijitan gue enak loh. Tanya aja sama Santi kalau nggak percaya." Garan dengan mulut mesumnya.
Santi mendelik dan langsung memukul lengan Garan dengan keras hingga lelaki mesum itu terpekik. Syukurin.
"Sakit, San. Kalau nggak mau ngaku ya udah, nggak perlu mukul juga kali."
"Harusnya mulut lo yang gue tampol sekalian. Biar sampahnya nggak berceceran kemana-mana." Santi memang selalu sadis pada Garan. Dendam kesumat. Meskipun kami berteman.
"Lo kira mulut gue tong sampah!" Garan protes.
"Sebelas dua belas."
"Sial."
"Kalian ribut mulu sih! Berisik tau," omelku sembari memijat pundakku sendiri.
"Tuh pegel kan, sini gue pencet - pencet. Eh maksudnya pijit-pijit." Garan langsung mengulurkan tangannya hendak meraih pundakku. Namun, gerakannya kalah cepat dengan tampolan tangan Santi pada lengannya. Lagi-lagi Garan terpekik.
"Astaga, San! Kenapa lo rese sih, Randita aja mau kok gue pijit."
"Sembarangan! Ogah gue dipijitin lo, tangan lo suka piknik kemana-mana."
"Yaelah, piknik-piknik dikit nggak papalah. Orang kalau kurang piknik itu jadi stres."
Aku memutar bola mata. "Serah lu aja lah."
"Jadi,lo mau gue pijitin?"
"Tampolan gue lebih keras loh, Gar daripada tampolan Santi."
Lelaki itu tertawa dan bertepatan dengan pintu lift yang terbuka. Kami keluar bersama.
"Kalian berdua ini memang cewek ganas. Tapi gue suka sih yang ganas-ganas. Apalagi kalau ganasnya di ranjang."
"Makin malam otak lo makin koslet, Gar." Aku menggeleng.
"Kayak lo nggak tau aja, nggak siang, nggak malam kan emang tuh otak udah gesrek," sambung Santi.
Ketika kami berjalan mataku melihat dia. Revano sedang duduk di salah satu kursi tunggu. Jadi, dia serius jemput? Dia melambaikan tangan padaku.
"Wah, pantas saja Randita nggak mau gue pijitin. Ternyata udah ada yang mijitin. Booking dimana Ran? Kayaknya masih fresh."
Sialan mulut Garan. Haduh, kenapa juga pas bareng Santi dan Garan sih? Tahu begini aku pulang lebih dulu.
"Diem lo, Gar. Awas aja kalau mulut lo nggak bisa dikondisikan."
"Siapa dia, Ran? Ganteng euy dan kelihatan mudanya," tanya Santi.
"Cuma teman. Udah kalian pulang dulu sana jangan berisik."
Aku langsung menghampiri Revano yang berdiri begitu melihatku. Santi dan Garan pasti memperhatikan kami. Ah biarin aja lah.
"Kita duluan ya, Ran." Santi melambai.
"Hati-hati ya, udah malam. Pulang-pulang langsung bobo aja. Biar besok pagi nggak telat." Itu ucapan Garan yang pasti bermakna ambigu karena dia mengatakannya sambil cengengesan nggak jelas.
***
Aku jadi seperti apa ya? Pulang pergi diantar begini oleh Revano. Untuk ukuran orang yang baru kenal ini buatku terlalu berlebihan. Aku nggak biasanya gampang menerima orang baru di lingkup pribadiku. Tapi kenapa dengan Revano aku merasa lain. Aku nggak menemukan diriku yang pasang jarak sedemikian rupa. Kalau pun iya, pasti itu nggak berlangsung lama. Karena Revano pasti akan tiba-tiba nongol di hadapanku tanpa diundang.
Bahkan, sekarang aku mau diajak makan malam di unitnya. Menyaksikan dia menyiapkan makan malam untukku. Entah kenapa hatiku tergelitik. Dia masih pelajar. Namun, aku melihat aroma lain. Ya Tuhan, jangan bilang aku tertarik sama bocah ini. Otak warasku lagi dimana sih? Demi Tuhan, Revano masih muda banget dan jalannya masih sangat panjang. Mungkin usiaku dengannya terpaut lima atau enam tahun atau mungkin lebih. Astaga! Randita, kamu gila.
Dan aku bertambah gila ketika Revano tiba-tiba memintaku menjadi pacarnya. Sebisa mungkin aku menunjukkan sikap datar-datar saja. Tidak ingin terpengaruh, tidak boleh. Aku harus bisa mengendalikan diri.
"Aku pulang ya, ini sudah malam."
Ya! Lebih baik aku melarikan diri dari suasana yang sudah terlanjur canggung ini. Kulihat Revano menghela napas.
"Ya sudah, aku akan mengantarmu."
Untungnya dia tidak mencegahku. Abg seusianya jika memiliki suatu keinginan biasanya akan terus merengek sampai keinginan itu tercapai. Tapi Revano enggak. Sepertinya dia mengerti keenggananku.
"Terima kasih sudah menjemputku dan makan malamnya," kataku sebelum memasuki unit. Aku harus mendongak ketika bicara dengan Revano. Aku perkiraan tinggi lelaki itu sekitar 180 sentian. Sudah seperti pemain basket saja.
Revano mengangguk. "Langsung tidur ya, ini sudah malam."
"Iya."
Harusnya aku langsung masuk begitu Revano berkata tadi. Tapi anehnya, kakiku belum beranjak juga, seolah terpaku di tempat. Apa ini hanya perasaanku? Kenapa Revano semakin menunduk? Aku beneran seperti orang bodoh, Revano seolah mengunci mataku. Aku harus segera masuk, ini sudah sangat malam. Namun belum sempat aku bergerak, sebuah sentuhan lembut di bibir membuatku terenyak. Mataku membeliak dan tololnya, aku sama sekali tidak berkutik. Tubuhku rasanya kaku. Aku merasakannya. Revano, dia mencium bibirku. Singkat tapi rasanya seperti baru kesambar petir.
"Selamat malam."
Bahkan saat Revano mengucapkan salam, kewarasanku rasanya belum sepenuhnya kembali. Hingga dia melangkah mundur aku masih diam terpaku. Harusnya aku berteriak marah. Tapi anehnya tidak aku lakukan. Sebenarnya ada apa denganku?
Aku baru bergerak saat Revano sudah benar-benar pergi. Masih belum percaya, anak itu berani menciumku. Aku membuka pintu dan masuk ke dalam unit. Di dalam pun aku sudah seperti orang linglung. Apa ini karena efek mengantuk, makanya aku hanya diam saja saat dengan lancangnya Revano mencuri ciumanku? Atau karena memang aku juga ingin? Dua hal yang mendadak bikin kepalaku pusing.
Astaga! Randita, bisa-bisanya kamu berciuman dengan seorang pelajar SMA? Tidak, aku nggak berciuman. Anak itu yang mencuri ciumanku. Ah! Sial, lalu apa bedanya? Bibirnya nempel di bibirku dan aku nggak menghindar. Ini bukan yang pertama kali untukku, harusnya hal seperti itu bisa aku antisipasi. Nyatanya? Aku membiarkan. Aku rasa otakku memang sudah tertular koslet seperti Garan.
Aku membenamkan wajahku ke bantal. Malu. Malu pada diri sendiri yang membiarkan itu terjadi. Sumpah, ini menyebalkan. Aku mengerang kesal. Kenapa jadi begini? Bagaimana pandangan Revano padaku setelah ini? Aku beneran nggak punya muka untuk bertemu dengannya lagi.
Maka esoknya, pukul setengah enam pagi, aku sudah melesat meninggalkan unit menuju kantor. Aku tidak ingin ambil resiko bertemu dengan Revano. Seenggaknya tidak dalam waktu dekat ini.
___________________
Lanjutan cerita ini bisa dibaca di Inovel atau Drimi dengan judul Brownies, I Miss
— Fim — Escreva uma avaliação