Baixar aplicativo
91.07% Berandal SMA inlove / Chapter 51: Pikiran Buruk

Capítulo 51: Pikiran Buruk

Selamat Membaca

"Baru juga dipikirin, orangnya sudah muncul aja," ucapku pada Dhika. Ia tersenyum padaku di ambang pintu rumah saat kembalinya dari sekolah. Ia masih lengkap menggunakan seragam pramuka, tapi seperti biasa, ia tak terlihat seperti anak SMA pada umumnya. Pakaian berantakan dengan aroma rokok di sekujur tubuhnya.

"Kenapa? Kangen ama gue," ucapnya.

Aku memeletkan lidah pada Dhika saat melintas di depannya untuk memasuki rumah. Aku masuk untuk membersihkan diri dan ganti baju. Rumah terasa sepi. Ayah sepertinya sedang berkebun, Arya juga tengah main ke tempat tetangga nampaknya. Sementara Ibu, kemana?

"Lo, pas kesini Ibu di rumah, Dhik?" tanyaku setengah berteriak dari dalam kamar.

"Ada, tapi sekarang lagi ke warung dulu katanya. Gue suruh nunggu lo aja," ungkapnya.

Selesai berganti pakaian, aku membuat segelas kopi hitam yang biasa Dhika minum. Setelah selesai, aku membawanya ke ruang tamu. Terlihat Dhika  berbaring di dipan dan menutup matanya dengan satu lengannya. 

Kopi aku letakan di meja, kemudian kembali masuk ke dalam untuk membawakan bantal untuknya. Entah kenapa Dhika tampak sangat lelah saat itu. Saat akan memberikan bantal padanya, aku menyadari ada yang aneh darinya.

"Dhik, lehernya kenapa?" Aku mencoba menyentuh luka lecet dan sedikit memar di lehernya. Namun, tangannya yang satu menahan tanganku dan menariknya hingga aku terjatuh di atas badannya yang terbaring. Lekas karena panik aku langsung menggunakan badannya untuk tumpuan untukku berdiri lagi. 

"Ma-maaf," ucapku merasa malu sendiri. Namun, Dhika tampak biasa saja. Ia bangun dan duduk menatapku yang salah tingkah. Seringaian jahil ia tunjukan, membuat jantungku berdebar seketika.

"Lo, kenapa?" tanya Dhika begitu saja setelah apa yang barusan ia lakukan. Aku tak menjawabnya dan hanya melempar bantal yang akan aku berikan padanya tadi.

"Oh, thank you. Ngerti banget gue ngantuk," ucapnya. Ia kembali berbaring dengan bantal yang aku berikan tadi.

"Leher  kenapa? Lo belum jawab pertanyaan gue," tanyaku lagi.

"Gak apa-apa kok." Ia kembali menutup matanya dengan lengan kanannya.

"Gimana gak apa-apa. Memar begitu." Aku mulai khawatir padanya. Beberapa hari tak bertemu dengan Dhika, dan setelah bertemu keadaannya seperti itu.

Dhika tak menjawab pertanyaanku. Padahal aku tahu, ia tak tertidur dan hanya pura-pura diam. Aku menghampirinya dan duduk disampingnya. Menarik badannya agar duduk, agar aku bisa lebih dekat melihat luka memar itu. 

Betapa terkejutnya aku, saat aku menyadari, luka itu tak hanya di lehernya. Namun juga ada di lengan dan sudut bibirnya.

"Lo, abis berantem!" bentakku.

Lagi-lagi Dhika tak menjawabnya. Ia malah merebahkan kembali badannya. Namun, kali ini di pangkuanku. 

"Eh, ngapain!" aku merasa risih ia tidur di sana. Namun, Dhika menahan dan menggenggam tanganku agar tak menyingkirkannya dari pangkuanku.

"Sebentar saja. Tolong." Suara Dhika terdengar parau, seolah ia tengah menahan tangis.

Aku tak bertanya lagi dan membiarkan ia di pangkuanku hingga ia terlelap. Aku merasakan celanaku basah, awalnya aku mengira itu air liurnya, rupanya air mata yang masih basah di pipinya.

Aku tidak tahu, Dhika rupanya bisa menangis. Lagi-lagi aku tak tahu apa yang terjadi padanya. Padahal ia tahu semua tentangku dan selalu membantuku.

"Kenapa sih, lo tertutup banget sama gue, Dhik. Padahal gue juga bisa dengerin cerita lo. Selama ini lo udah banyak bantuin gue. Setidaknya lo ceritain masalah lo. Gue tahu, selama ini lo gak baik-baik saja. Udahan pura-pura kuatnya, lo manusia bukan batu atau besi." Saat selesai, aku menyadari Dhika kembali terisak. Rupanya ia mendengar perkataanku. 

Dhika menangis, entah berapa lama hingga kakiku terasa kesemutan. Namun, ia masih belum juga bercerita. Sudahlah, aku juga tak bisa memaksanya.

"Namanya, Via," ucapnya tiba-tiba. Suaranya masih serak karena cukup lama ia menangis. 

"Dia gadis  yang sangat cantik juga pintar. Kami satu SMP dulu. Kemudian, saat SMA dia bersekolah di SMK lo karena beasiswa. Gue ingat betul, tiap kali Via tersenyum ke gue. Secerah sinar matahari sehabis mendung. Begitu menenangkan" Dhika berhenti bercerita. Ia bangkit dari pangkuanku dan duduk.

"Gue sangat menyukainya. Lo pasti tahu itu. Saat gue selalu tanya ke lo, apa yang wanita sukai." Aku mengangguk mengingat saat Dhika begitu cerewet bertanya kebiasaan-kebiasaan dan kesenangan seorang gadis saat dulu awal kami saling mengenal. Hingga aku kesal sendiri padanya.

"Itu semua untuk Via. Akan tetapi, suatu hari gue harus menerima kenyataan pahit. Tepat MOS tahun lalu. Via yang seorang anggota OSIS itu ditemukan gantung diri di rumahnya. Gue yang melihat pertama kali jenazahnya, saat gue, ingin mengungkapkan perasaan gue sama dia." Lagi-lagi Dhika tersenyum, tapi ada bulir air mata di sudut matanya yang tertahan.

"Saat itu, gue baru tahu. Kalau saat MOS, mereka terlalu keras pada angkatan baru. Via tak setuju, ia berusaha ngelindungin junior-juniornya. Namun, ia yang kena imbasnya oleh senior lain yang merasa paling benar. Hingga akhirnya …." Dhika berhenti bercerita. Wajahnya kini terlihat marah.

"Ini semua gara-gara Putra! Dia yang udah sebabkan ini semua!" Teriaknya kemudian dengan penuh amarah.

"Emang salahnya Putra dimana?" tanyaku yang bingung karena ia belum mengucap nama Putra  sama sekali dari ia mulai bercerita.

"Putra tahu semua itu. Dia tetap diam, dan Putra …." Dhika terdiam lagi dan menatapku dengan air mata yang sudah basah kembali di wajah Dhika. "Dia adalah kekasih Via."

"Hah …." Aku terdiam sesaat. Mencerna apa yang Dhika barusan katakan. 

Rasanya tak mungkin jika Putra setega itu. Apa yang aku lihat selama ini, Putra selalu peduli dengan siapapun. Ia bukan orang sejahat itu. Apa Dhika sedang mengarang saja agar aku menjauh dari Putra. Akan tetapi, emosi di wajah Dhika sekarang menjelaskan hal yang lain. 

"Yang paling parah, Sekolah kalian menutup kasus itu. Keluarga Wijaya ada di balik semua itu. Mereka membersihkan semuanya," lanjutnya. "Dan lo tahu, apa yang gue temuin setelah kematian Via. Dia hamil."

Mataku membulat. Merasa Dhika tengah berdusta sekarang. Dadaku mendadak terasa sesak dan sakit.

"Itu kenapa, gue gak suka dari awal lo dekat-dekat sama cowok satu itu! Awalnya lo cuma suka sama dia diam-diam, gue tenang. Tapi setelah kalian dekat, gue gak bisa diam aja!" tegasnya. Semantara aku tak dapat menjawab pernyataannya. Lelaki yang aku kagumi selama ini tak mungkin seperti itu. Bahkan aku teringat kata-kata Kak Burhan, bahwa Putra adalah orang yang baik. Dhika pasti berbohong. Mungkin ada salah paham di sana. Aku harus mencari tahu kebenarannya.

Aku menatap Putra dari kejauhan, mencoba membuang pikiran buruk yang terus bersarang di otakku sejak perkataan Dhika kemarin. Mencoba mencari kejelasan dari kisah itu, tapi tak tahu harus memulainya dari mana. Aku tak mungkin langsung menanyakan hal itu pada Putra. Jika hal itu tak benar, maka pasti Putra akan sangat membenciku.Lagi pula, jika benar ada kejadian semengerikan itu di sekolah ini, maka pasti anak kelas 10 sudah tahu gosipnya, apalagi kejadiannya baru tahun kemarin. 

"Astaghfirullah!"  seruku yang terkejut dengan kehadiran Tia yang tiba-tiba berdiri di sampingku saat akan berbalik ke kelas.

"Aku bukan setan," terangnya dengan begitu santainya. Matanya menatap ke arah  Putra yang tengah bercengkrama dengan teman-teman sekelasnya.

"Lagipula ngapain tiba-tiba muncul di sini, ga ada suara apa-apa!" omelku karena kesal sendiri.

"Rupanya kamu itu cerewet ya aslinya. Beda banget kalo lagi di kelas atau kumpul dengan anak-anak," lontarnya. 

"Gak, juga," jawabku malu.

"Kenapa kamu gak tetap seperti itu, setidaknya mereka semua akan tahu kamu sebenarnya dan gak akan ngejauhin kamu gitu," ujar Tia.

"Sepertinya bakal sama aja. Dari dulu selalu seperti ini. Aku sudah biasa juga." Perasaanku kembali terasa sesak jika mengingat sejak dulu aku selalu diabaikan bagaimanapun aku mencoba untuk bisa diakui.

"Apa kamu gak pengen sahabatmu itu bisa bicara sama kamu lagi. Sepertinya disana pun ia tak merasa nyaman." Tia menunjuk pada Melisa yang tengah membawa makanan dari kantin dan mengekor di belakang beberapa teman sekelas ku.

"Sejak kapan Melisa seperti itu?" Aku yang baru menyadari hal itu merasa kesal dan ingin menarik Melisa dari sana.

"Aku bisa bantuin kamu kok kalau mau," tawarnya.

"Bantu? Bantuin apa?" tanyaku yang tak mengerti dengan maksud dari perkataan Tia.

"Kamu ingin populer dan diakui oleh mereka kan? Aku bisa bantu kamu. Akan tetapi ada syaratnya."

Aku tak menjawab langsung tawaran Tia. Banyak yang harus dipertimbangkan. Pertama aku tak tahu syarat yang Tia maksudkan. Kedua, aku baru mengenalnya beberapa hari, bisakah percaya padanya begitu saja? Atau ia hanya memanfaatkan ku saja. Namun apabila bisa jadi populer, mungkin Putra akan menerima perasaan ini  dan melupakan Anne.

"Bagaimana?" tanya Tia lagi menunggu keputusan dariku.

"Baiklah. Tapi, apa syaratnya?" tanyaku balik.

"Kamu, bantuin aku cari tahu siapa cewek bernama Via yang meninggal bunuh diri tahun lalu." 

Eh, apa ini kebetulan? Akan tetapi untuk apa Tia mencari tahu hal itu? 

"Baiklah. Deal." Aku langsung setuju dengan persyaratannya.

"Yakin?" tanya Tia sekali lagi. 

"Iya." 

Tia tampak tersenyum puas atas jawabanku. "Oke, sip. Kalau begitu aku butuh banyak komunikasi denganmu. Minta nomor hpmu atau pin BB juga boleh?"

"Ung, hape?"

"Ya, hape. Mana?" Tia menyodorkan tangannya menantikan aku memberi 12 digit nomor padanya.

"A-anu, aku gak punya," jawabku jujur.

Tia terdiam sambil menatapku dari atas, lalu ke bawah sambil memegang dagunya ala detektif di TV.

"Ini tahun 2010, kamu gak punya hape?" tanya Tia kemudian.Aku menggeleng. Bagaimana mungkin aku membeli barang bernama handphone itu. Uang untuk makan satu bulan saja sangat susah. Bagaimana bisa membeli barang mewah itu.

"Yah sudah. Kamu bisa pegang ini." Tia tiba-tiba menyerahkan sebuah handphone nokia tipe 3310 berwarna biru padaku.

"Eh, apaan!" Tolak Ku tak bisa menerima sesuatu yang mewah seperti itu.

"Tenang aja. Ini aku beli pakai uangku sendiri dan …."

"Justru karena itu uangmu sendiri aku gak bisa terima," potongku.

"Udah sih! Terima aja!" paksanya menyerahkan handphone itu padaku dan memasukkannya ke saku baju seragamku.

"Aku masih punya dua." Tia menunjukan dua handphone lagi di sakunya yang terlihat lebih canggih. Aku lupa jika cewek cerewet di hadapanku ini adalah orang kaya.

"Tapi …." 

"Diam!" Tia menempelkan telunjuknya di bibirku. Sementara aku masih merasa tak bisa menerima hal itu.

"Yang penting kamu harus populer dulu. Kamu masuk OSIS udah lebih dari cukup buat berubah. Lagian bonusnya, Putra mungkin bisa balas perasaan kamu." Tia berkata sambil berjalan ke kelas.

"Eh! Ma-maksud kamu gimana!" seruku merasa panik jika ada yang mendengarnya. Bagaimana bisa ia tahu kalau aku menyukai Putra.

Bergegas aku mengejar Tia ke kelas. Bersamaan dengan bel berakhirnya jam istirahat. Akankah impianku untuk populer benar-benar akan terwujud di tangan Tia? Apa aku bisa percaya padanya.

***

"Rosa," panggil Putra saat aku berjalan menuju gerbang sepulang sekolah.

"Kenapa, Mas?" tanyaku.

"Makasih, ya. Info kamu tentang hal-hal kesukaan Anne kemarin sangat berguna. Besok sabtu kami akan kencan. Ini semua berkat kamu," ungkapnya.

"I-iya, sama-sama." Sepertinya perjalanan cinta Putra berjalan dengan mulus. Sementara harapanku bisa bersamanya semakin hari terasa makin pupus. Apakah dengan menjadi populer benar-benar bisa membuat Putra suka aku.

"Kapan-kapan aku traktir kamu, dan jika kamu butuh apapun, kamu bilang aja sama aku," kata Putra. Aku hanya mengangguk saja. 

"Kalau begitu, aku anterin pulang mau? Aku bawa motor lagi loh hari ini," tawarnya. 

Aku menggeleng, menolak tawarannya dan menunjuk ke pintu gerbang. Terlihat Dhika berdiri di sana dengan jas almamater hijau  bertuliskan SMK 3.

"Oh, kamu di jemput Andhika. Yaudah. Kapan-kapan aja. Pulang aja, hati-hati di.jalan keburu sore."

Setelah berpamitan pada Putra aku segera berjalan menuju Dhika di pintu gerbang. Tatapannya masih dingin seperti kemarin. Malah lebih dingin dari biasanya semenjak ia bercerita tentang Via. Aku melihat luka di lehernya masih terlihat memar, tapi ia tutupi dengan syal dari kain berwarna kuning.

"Yuk, pulang," ajak ku. Namun, mata Dhika tak lepas menatap Putra yang tengah berjalan ke arah tempat parkir.Aku menginjak kakinya dengan keras. Mencoba menyadarkan Dhika agar tak terbawa emosi lagi.

"Aduh!" rintihnya. "Babi emang kalau nginjek Sakit!"

Aku menambah siksaannya dengan memukul punggungnya. 

"Wah! KDRT ini namanya," ledek Dhika.

"Udah, ayo pulang," ajak ku menarik lengannya. 

"Wah, ternyata cewek jelek satu ini bisa juga bawa cowok, tapi sayangnya tetep gak pantes, cowoknya masih terlalu tampan, ha ha ha ha!" ejek cewek bermata sipit yang selalu bersama Kartika yang tiba-tiba lewat depan kami bersama beberapa dayang-dayang setia Kartika lainnya. Di sana juga ada Kartika.

"Biar. Cocok, sama-sama miskin. Setidaknya gak bakal deketin Putra lagi," sambung Kartika setelahnya.

"Wah! Woy Mak Lampir! Makasih udah bilang gue ganteng! Tapi yang boleh mengejek babi di samping gue ini, cuma gue!" teriak Dhika dengan semangatnya hingga tatapan anak-anak yang baru pulang sekolah langsung menuju kami.  Kartika dan teman-temannya terlihat terkejut dengan jawaban Dhika, tapi supir mereka keburu melajukan mobilnya ke jalan raya.

"Babi!" sungut ku, tapi hanya di balas dengan tawa oleh Dhika.

Bersambung


next chapter
Load failed, please RETRY

Status de energia semanal

Rank -- Ranking de Poder
Stone -- Pedra de Poder

Capítulos de desbloqueio em lote

Índice

Opções de exibição

Fundo

Fonte

Tamanho

Comentários do capítulo

Escreva uma avaliação Status de leitura: C51
Falha ao postar. Tente novamente
  • Qualidade de Escrita
  • Estabilidade das atualizações
  • Desenvolvimento de Histórias
  • Design de Personagens
  • Antecedentes do mundo

O escore total 0.0

Resenha postada com sucesso! Leia mais resenhas
Vote com Power Stone
Rank NO.-- Ranking de Potência
Stone -- Pedra de Poder
Denunciar conteúdo impróprio
Dica de erro

Denunciar abuso

Comentários do parágrafo

Login