Selamat Membaca
Gian menghela napas berat. Ia mengusap wajahnya karena gugup. Siapapun, tolong tertawai Gian sekarang. Tahu apa yang sedang terjadi? Laki-laki itu sedang berhadapan dengan Abila di taman belakang sekolah. Dia sedang menyatakan perasaannya!
"Gue tahu ini terlalu tiba-tiba dan sangat aneh buat lo, tapi gue gak tahan lagi, Bil. Gue mau akui, kalau gue ada rasa sama lo," ujar Gian sembari menggenggam tangan Abila.
Abila mengernyitkan dahinya heran. Ia menghempaskan tangan Gian. "Gila, ya, lo?"
"Maaf, Bila. Gue tahu ini semua pasti aneh banget karena kita sempat musuhan sebelumnya, tapi gue gak bisa bohongin perasaan gue sendiri. Gue suka sama keberanian lo ngelawan anak-anak AODRA kemarin. Sejak hari itu gue terus mikirin lo. Sampai pada akhirnya gue sadar, gue suka sama lo."
Abila tertawa terbahak-bahak. "Lucu lo, Gian. Setelah semua yang lo lakuin ke gue dan Reynand, lo berani nyatain perasaan kayak gini?"
"Gue tau gue salah karena sempit bully kalian kemaren, gue minta maaf banget."
"Ya, terus? Lo mau apa sekarang?"
"Gue mau lo jadi pacar gue, Abila. Gue sayang sama lo."
Sorak-sorai siswa-siswi SMA Tunas Bangsa dapat terdengar di sekitar situ. Bayangkan saja, Ketua AODRA yang dikenal sangat, kejam, dan tidak tersentuh sama sekali. Kini dia sedang menembak seorang cewek, dengan gaya bicara yang sangat berbeda dari biasanya.
"Maaf, Gi. Gue gak bisa nerima lo."
"Kenapa, Bil? Gue kurang apa?"
"Gue suka sama orang lain, dan gue harap lo ngerti."
"Reynand, 'kan? Kenapa harus anak koruptor itu saingan gue? Gue gak habis pikir sama lo, Bil. Kok, lo bisa, sih, suka sama anak itu? Dia gak suka sama lo! Dia itu sukanya sama Alaska! Itu udah keliatan dari perlakuan dia!"
Telinga Abila sudah sangat panas mendengar kalimat seperti itu berulang kali. Gina, Gina, dan Gina! Se-legendaris itukah Reynand dan Gina? Bahkan dengan hubungan mereka yang masih diketahui sebagai sahabat saja, sudah sangat membekas di benak warga SMA Tunas Bangsa. Bagaimana jika mereka tahu bahwa sebenarnya Reynand dan Gina sudah berpacaran?
"Lo gak ada hak untuk ngatur-ngatur gue, Gian! Liat, tuh, banyak yang ngantri buat jadi pacar lo. Jadi mendingan lo pilih satu satu dari mereka. Lupain gue, Gi!" Abila pergi meninggalkan Gian yang sedang terpaku di tempatnya. Bisa dipastikan laki-laki itu sedang menahan malu.
Di sinilah Abila sekarang. Rooftop, tempat paling nyaman baginya. Ia duduk sendiri seraya menatap ke bawah. Jahat itu bukan sifat Abila. Namun, cinta yang membuat dia jadi seperti ini. Ada sebuah pepatah yang tidak asing lagi ditelinga masyarakat. Bahwa cinta itu buta, bukan? Ah, Abila rasa dirinya sedang mengalami pepatah tersebut. Dia melakukan banyak hal untuk orang yang dia cintai. Sayangnya, cara Abila salah, dan rasa cintanya juga salah. Seharusnya rasa itu tidak berlabuh kepada Reynand yang sudah berpunya.
Haruskah Abila berhenti sampai di sini? Berhenti mencintai Reynand, dan membuka hati untuk Gian? Begitukah alur cerita yang terbaik untuk kedepannya?.Abila menghembuskan nafasnya berkali-kali. Ia bimbang. Apa yang harus ia lakukan sekarang?
"Lo cewek terbodoh yang pernah gue kenal, Abila!" ketus Yuki sembari berjalan ke arah Abila. Lantas, gadis itu duduk di sebelah temannya yang baru ia kenal beberapa minggu terakhir.
"Kenapa, sih, datang-datang langsung marah? Lo kenapa?"
"Bisa-bisanya lo nolak Gian! Sumpah, lo beda banget dari yang lain. Cewek-cewek di sekolah ini, tuh, berusaha keras buat dapetin Ketua AODRA itu. Mereka ngelakuin segala cara untuk bisa jadi pacarnya Gian. Sementara lo? Malah nolak dia, Bil."
Abila terkekeh pelan. "Percuma ganteng, tapi kerjanya malakin orang. Dia bukan tipe gue banget, Ki. Gue suka yang kayak Reynand. Pinter, baik, sabar, ganteng lagi."
Yuki memutar bola matanya malas. "Doi suka sama orang lain kalau lo lupa."
Abila menyunggingkan senyumnya. Sepersekian detik kemudian, dia menangis. Abila menyandarkan kepalanya di bahu Yuki. "Gue buntu banget, Ki. Gue harus apa sekarang?"
Yuki mengelus pelan lengan temannya itu. Jujur, dia merasa kasihan pada Abila. Gadis ini kelihatannya sangat menaruh rasa kepada Reynand.
Yuki berkata, "Belajar move on, Bila. Itu satu-satunya cara supaya lo gak terus-terusan sakit hati."
"Gue cinta banget sama Reynand. Masa gue harus lupain dia gitu aja?"
"Itu obsesi! Bukan cinta! Kalau lo cinta, lo bakal ngerelain dia sama orang yang dia cintai. Lo bakal ikut bahagia kalau dia bahagia. Itu baru namanya cinta, Abila! Lo cuma terobsesi sama sikapnya dia yang bisa dibilang ... very good at treating woman. Iya, 'kan?"
"Mungkin iya, mungkin tidak. Gue kayak gak bisa mikir sekarang, Ki."
***
Karena kondisinya belum memungkinkan untuk pulang, maka Gina belum diperbolehkan untuk keluar dari rumah sakit. Terhitung ini sudah hari ketiga ia di rumah sakit. Selama tiga hari itu pula, Reynand selalu menjaga gadis itu. Bahkan, Reynand beralasan kepada orang tuanya bahwa dia ikut serta dalam school trip ke Yogyakarta. Reynand membawa tas ransel, dan uang saku. Itu semua dia bawa ke rumah sakit. Yang tahu kejadian sebenarnya adalah Bi Sarti dan Mang Ijat. Lagi-lagi mereka yang tahu tentang kehidupan Reynand.
Reynand tersenyum lebar. Saat ini dia sedang menyuapi Gina dengan bubur. "Satu suap lagi, ya?"
Gina menggeleng. Ia menggerakkan tangannya untuk berbahasa isyarat. "Kenyang."
"One more, okay? Nanti kamu tambah sakit kalau gak makan yang banyak."
Gina tidak bisa menolak. Kata-kata yang keluar dari mulut Reynand seolah menyihir dirinya.
"Pinter banget, sih. Sekarang minum dulu, ya." Reynand hendak mengambil minuman di nakas, tetapi nyeri di perutnya tiba-tiba menyerang. Laki-laki itu merintih kesakitan. Perutnya nyeri, dadanya sesak, dan tubuhnya juga terasa mual. Kanker hati itu sedang kambuh.
"Kamu kesakitan. Aku panggilin dokter, ya? Tinggal pencet bel ini, kok."
Reynand menggeleng pelan. "Gak usah, Ka. Aku gak papa."
Reynand ingin mengumpat di saat seperti ini. Bisa-bisanya ia lupa membawa obat pereda nyeri. Sekarang apa yang harus ia lakukan? Menanggung sakit hingga rasa nyeri ini hilang dengan sendirinya?
Reynand bangkit lalu beralih duduk di sofa. Ia bersandar di sofa tersebut sembari meremas bajunya. "Sakit banget, Tuhan...."
Gina meneteskan air matanya. Lagi-lagi ia merasa telah menjadi seorang kekasih yang tidak berguna untuk Reynand. Di saat seperti ini ia tidak tahu harus berbuat apa. Cowok dengan tinggi badan 177 cm itu meringkuk di sofa. Sungguh, rasanya memang sesakit itu. Tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata.
"Ahh... sakit banget, Ka," lirih Reynand dengan air mata yang sudah jatuh membasahi pipinya.
"ARGHH! SAKIT, TUHAN!" teriak Reynand kesakitan.
Gina tidak kuat melihat laki-lakinya terus kesakitan seperti itu. Ia memegang tiang infus dengan tangan sebelah kiri, lalu berjalan ke arah Reynand. Saat berdiri seperti ini, rasa pusing di kepala Gina kembali muncul. Namun ia harus melakukan sesuatu untuk Reynand. Gina tidak mau menjadi pacar yang tidak berguna.
Reynand langsung duduk saat melihat Gina menghampirinya. Setelah itu, ia menyandarkan kepalanya di bahu si cantik Gina. "Sakit, Ka. Aku capek." Gina menangis terisak-isak. Ia mengeluarkan ponselnya lalu mengetikkan balasan untuk Reynand. "Aku harus ngelakuin apa, Nand? Aku gak kuat liat kamu kayak gini."
"Kasih aku satu pelukan, Ka."
Gina langsung mendekap tubuh Reynand. Memberikan kehangatan untuk laki-laki itu. Beberapa detik berpelukan, mereka kembali ke posisi semula. Reynand meletakkan kepalanya di bahu sang kekasih.
"Cantik."
"Iya."
"Aku capek. Aku pulang boleh gak?"
"Boleh banget, Nand. Dari semalam aku juga udah bilang, kan, kalau kamu pulang aja. Kamu itu gak boleh kecapekan."
Reynand menangis tersedu-sedu. Bukan pulang ke rumah yang ia maksud. "Bukan pulang ke rumah Mama dan Papa, Ka. Maksud aku pulang ke rumah Tuhan. Aku capek, aku pengen nyerah rasanya."
Gina terhenyak. Dia tidak salah dengar, bukan? Jadi ... masanya telah tiba, ya? Masa di mana seorang Kenzaki Reynand Regantara menyerah pada kehidupan?
"Berat banget rasanya, Nand. Kalau ditanya aku rela apa enggak, jelas aku nggak rela untuk melepaskanmu pergi. Disatu sisi, kamu juga udah terlalu banyak menanggung kesakitan di dunia ini, Nand. Kalau kamu mau pulang, aku coba buat relain kamu. Walau pun aku gak tahu, kapan aku bisa rela atas kepergian itu."
Tangis keduanya sama-sama pecah. Mereka tidak bisa membayangkan, akan seperti apa hidup mereka jika salah satunya pergi ke pangkuan Tuhan.
"Aku lagi coba buat jadi kuat, Gina. Ini semua aku lakukan untuk kamu. Cuma kamu alasan aku tetap bertahan sampai saat ini. Karena aku punya janji, janji yang harus aku tepati. Aku harus selalu jadi pelindung kamu, 'kan?"
Reynand terkekeh pelan. "Ha-ha-ha. Kalau gak ada kamu, aku udah lama pergi, Gina. Mama sama Papa gak pernah jadi alasan buat aku bertahan. Aku rasa mereka juga gak bakal sedih kalau aku pergi. Nyatanya di hidup aku sekarang ada kamu, Gina. Jadi aku harus kuat! Pelindung itu, kan, harus kuat buat jagain orang yang mau dia lindungi. Aku gak boleh lemah!"
Gina tidak pernah membayangkan bahwa dia akan berada di situasi ini. Situasi yang sangat menyakitkan.
"Iya, kamu harus kuat! Selagi bisa, tolong jangan pergi, ya? Cewek lemah ini masih sangat membutuhkan kamu, Reynand."
"Akan aku coba, Ka."
Reynand menggenggam tangan Gina. Gadis yang menjadi alasan untuk dia terus hidup. Gadis yang membuat ia mengerti tentang makna kehidupan. Jika boleh jujur, Reynand sudah sangat lelah saat ini. Ia ingin sekali pulang ke pangkuan Tuhan. Hidup di dunia yang abadi, tanpa harus memikirkan segala beban dunia yang fana. Namun ia masih mempunyai misi. Misi untuk menjaga seorang gadis yang juga sama terluka.
Bersambung