"Kita mau ngapain di sini, Bang?"
Aku memperhatikan sekeliligku. Kami sekarang sedang berada di sebuah panti asuhan yang cukup besar terletak di pinggiran kota Jakarta. Cukup aneh rasanya menginjakkan kaki di tempat seperti ini.
"Kita mau bangun gudang persenjataan yang baru, jadi butuh banyak duit!" sahut Bang Sayuti tanpa menoleh ke arahku.
Wait, what?!
"Terus hubungannya sama panti asuhan apaan?"
Bang Sayuti menghela napas berat dan langsung menoleh ke arahku.
"Masa lo nggak tahu sih, Bams? Tempat kayak gini itu tempat terbaik untuk mencuci uang! Paham nggak lo?"
Ah, jadi seperti itu.
Tanpa mengatakan apa pun lagi, aku pun mengekori Bang Sayuti masuk ke dalam gedung tersebut. Seorang wanita tua menggunakan jilbab keluar untuk menyambut kami.
"Udah siap?" Tanya Bang Sayuti tanpa basa-basi.
Wanita tua itu mengangguk pelan, dan tersenyum lebar. Ia lalu mengantar kami ke sebuah ruangan yang cukup nyaman dan sedikit tertutup di tempat itu.
"Gimana kabar anak-anak?" Tanya Bang Sayuti sambil duduk di sebuah sofa berwarna merah marun yang ada di sana.
"Mereka sangat sehat. Tom sebentar lagi akan lulus SMA. Nyonya Carolyn sudah menyiapkan dana untuk kuliahnya juga." Sahut wanita tua itu lalu memberikan sebuah tas berukuran besar kepada Bang Sayuti.
"Dia adalah salah satu anak yang Tante Carolyn selamatkan," gumam Bang Sayuti sambil memeriksa tas tersebut.
Tas itu terisi penuh dengan uang.
"Nyonya memang sangat baik," ucap wanita tua itu dengan mata yang sayu.
Memangnya siapa Tom itu? Kenapa ibuku menyelamatkannya?
"Lo pasti bingung Bams, jadi ceritanya, dulu kita pernah diserang sama kelompok Mafia lain yang mengakibatkan beberapa warga sipil terluka dan meninggal. Tom adalah salah satunya. Kedua orang tuanya meninggal, dan ia tidak memiliki kerabat. Jadi, nyokap lo bawa Tom ke tempat ini, dan memberikan semua yang terbaik untuk dia. Gue rasa tu orang seumuran sama lo!" Bang Sayuti bercerita.
Aku hanya tersenyum tipis mendengarkan cerita Bang Sayuti. Well, aku tidak terlalu terkejut karena aku tahu pasti bahwa ibuku adalah orang yang baik. Dia hanya tidak beruntung memiliki ayah dan suami seorang mafia.
"Jadi... ini adalah Bambang? Anak tunggal Nyonya Carolyn? Oh Tuhan, dia sudah besar dan sangat tampan!" celetuk wanita tua itu dengan mata berkaca-kaca.
"Hai!" sapaku.
Wanita tua itu tidak mengatakan apa pun, ia hanya menyentuh pipiku dengan telapak tangannya dan tersenyum penuh arti.
"Maaf harus menyela, ada banyak hal yang harus gue lakuin, jadi gue pamit dulu. Bams, kalau lo mau di sini, tinggal aja, gue cabut duluan!" Bang Sayuti menyela.
Wanita tua itu menarik dirinya menjauh dariku.
"Cabut aja Bang, gue mau lihat-lihat dulu!"
Bang Sayuti mengangguk pelan, lalu beranjak pergi meninggalkan tempat ini.
"Panggil saja saya Bu Aisyah. Mari saya antar berkeliling!"
Bu Aisyah mengantarku memasuki ruangan demi ruangan yang ada di panti asuhan ini.
Tempat ini terlalu besar dan mewah untuk ukuran panti asuhan. Hanya saja, terlihat jelas dari bangunannya jika ini bangunan tua.
"Nyonya Carolyn yang menanggung semua pengeluaran panti ini. Biaya makan, pendidikan anak-anak, bahkan biaya lainnya." cerita Bu Aisyah.
Aku hanya tersenyum tipis menanggapi cerita Bu Aisyah. Jujur saja aku tidak pernah tahu tentang panti asuhan ini.
Aku berjalan pelan ke arah meja panjang di bawah jendela yang berisi foto-foto bayi dan ibuku beberapa tahun lalu. Aku mengingatnya, saat blonde hair ibu masih sepanjang bahu. Dia terlihat sangat cantik. Seperti model.
"Nak Bambang, sebenarnya, ada sesuatu yang ingin Ibu sampaikan. Akan tetapi, ibu tidak tahu apakah ibu harus menceritakannya atau tidak," Bu Aisyah terlihat ragu.
"Tentang apa?"
"Tentang kematian nyonya Carolyn."
Seketika itu juga aku berbalik menatap Bu Aisyah lurus-lurus.
"Apa ibu tahu sesuatu?" tanyaku cepat.
Bu Aisyah terdiam, ia menatapku iba, lalu mengangguk pelan.
"Katakan apa pun yang ibu ketahui! Apa pun!" Aku mendesaknya.
Bu Aisyah beranjak duduk di kursi, dan menatapku dalam.
"Saat itu kami sedang bertukar kabar melalui telepon. Tiba-tiba saja terdengar suara gaduh, dan teriakkan nyonya Carolyn. Ibu mendengar sedikit percakapan mereka. Ibu takut salah dengar karena suaranya begitu pelan."
"Nggak apa-apa Bu, katakan saja semuanya."
Bu Aisyah menghela napas panjang, lalu kembali bercerita.
"Mereka mencari sebuah pemantik api berwarna emas dengan logo naga!" seru Bu Aisyah pelan.
"Mereka memaksa nyonya Carolyn untuk menunjukkan tempat pemantik api tersebut, tetapi Bu Carolyn bersikeras mengatakan dia tidak mengetahui apa pun tentang pemantik api yang mereka maksud."
Tunggu! Pemantik api naga? Kenapa mereka menginginkan sebuah pemantik api?
"Tidak lama setelah itu, sambungan teleponnya berakhir, dan nomor nyonya Carolyn tidak pernah aktif setelah itu. Baru beberapa saat kemudian Sayuti memberi kabar bahwa nyonya Carolyn sudah meninggal dunia."
Shit!
Karena sebuah pemantik api, nyawa ibuku hilang, brengsek!
"Terima kasih atas infonya Bu, jika boleh, aku ingin Ibu merahasiakan ini dari siapa pun, termasuk Sayuti dan ayah," pintaku.
Bu Aisyah pun mengangguk pelan.
"Selama ini ibu diam karena ibu takut salah bicara. Seperti yang nak Bambang ketahui, duni mereka adalah dunia yang sangat mengerikan. Ibu tidak tahu siapa yang ada di pihak nyonya Carolyn. Ibu jadi mencurigai semua orang, dan menyimpan informasi ini. Syukurlah nak Bambang datang kemari hari ini," Bu Aisyah menatapku sendu.
"Terima kasih, Bu."
Bu Aisyah menggelengkan kepalanya pelan ke arahku.
"Tidak. Jangan berterima kasih. Ibu merasa sangat buruk karena tidak bisa melakukan apa pun untuk menyelamatkan nyonya Carolyn,"
"Jangankan Ibu, aku yang berada tepat di hadapannya saja nggak bisa melakukan apa pun untuk menyelamatkannya." ceritaku dengan suara berat.
Mengatakan sesuatu yang seperti ini bukanlah perkara yang mudah bagiku. Tenggorokanku seperti tercekat.
"Bu carolyn selalu mengatakan bahwa ia ingin membawa nak Bambang pergi sejauh mungkin dari Indonesia karena ia tahu, mau tidak mau nak Bambang akan ditarik masuk ke dunia mafia yang begitu kejam karena menjadi satu-satunya pewaris keluarga. Nyonya Carolyn ingin nak Bambang menjalani hidup yang normal, sebagai seorang anak SMA biasa tanpa tahu menahu tentang kehidupan duni mafia."
Dasar ibu. Ya, tidak heran jika ia ingin membawaku pergi. Ia pasti sudah cukup muak dengan dunia kotor ini.
Dan sekarang, tugasku adalah mencari pemantik api tersebut. Kenapa mereka meminta hal seperti itu dari Ibu? Kenapa mereka tidak langsung menyerang ayah atau Sayuti saja jika benda itu berhubungan dengan kelompok Elang yang lain?
***
"Untuk yang satu itu gue nggak tahu, Bams!" sahut Bagus begitu aku meminta pendapatnya.
"Lo kan serba tahu, Gus! Masa gini aja lo nggak tahu?"
"Masalahnya, abang gue itu cuman bawahan! Dan gue rasa, benda yang lo sebutin itu hanya diketahui oleh orang-orang tertentu. Ya mana mungkin abang gue bisa tahu hal kayak gitu!" seru Bagus kesal.
Benar juga. Sial! Aku hanya terlalu frustrasi dan bingung harus mencari tahu hal ini kepada siapa.
"Mungkin hanya ibu kamu yang tahu tempat benda itu di simpan. Karena toh mereka hanya mencari ibu kamu, bukan orang lain!" celetuk Sofia sambil meletakkan kopi di atas meja.
"Menurut lo, cuma ibu yang tahu mengenai pemantik api itu?" tanyaku cepat.
Sofia pun mengangguk pelan.
"Kalau gitu, hue akan