Baixar aplicativo
66.66% Bad Dream | Vrene Stories [Bahasa] / Chapter 2: BAB II : Beberapa bulan sebelum kejadian

Capítulo 2: BAB II : Beberapa bulan sebelum kejadian

JAKARTA, 10 Agustus 2016.

Suara bising terdengar nyaring dari arah koridor Fakultas Management. Banyak mahasiswa yang berkerumunan dengan pandangan fokus pada madding. Dimana madding tersebut terdapat sebuah pengumuman tentang mahasiswa yang lulus di semester ini.

Namanya Ana Puspita Renjana. Seorang gadis berkacamata berlari terburu-buru dari lantai dua, setelah tahu bahwa pengumumannya telah dipajang. Rambut kuncir kuda bergerak kanan – kiri, sesekali ia membenarkan letak kacamatanya yang hampir jatuh, belum lagi buku tebal di lengan kanan—membuatnya kewalahan. Hingga, Ana sampai di lantai satu kemudian menerobos beberapa mahasiswa.

"Permisi… permisi…" Orang-orang dihadapannya langsung bergeser saat mendengar suara kecil gadis tersebut. Entah berapa orang yang harus Ana lewatkan, jujur saja dadanya begitu sesak. Apalagi baru berlari, ugh, untung saja sistem pernapasan dalam tubuhnya masih sehat. Sampai akhirnya, Ana bisa bernapas lega karena berhasil melewati kerumunan manusia.

Papan madding sudah berada dihadapannya, sebelum mencari nama—Ana melakukan teknik napas dalam. Mencoba menenangkan diri. Okey, setelah rileks. Kakinya maju lebih dekat dengan madding.

Seperti biasa, Ana selalu mencari nama dari urutan terbawah dulu, sebab jika dari atas dia takut kecewa. Ana tidak mau berharap seperti semester kemarin, berharap ada di lima besar—eh, tifsk tahunya ada di sepuluh besar. Dari 200 orang hanya ada 195 orang yang tertulis disana, itu artinya ada 5 orang yang tidak lulus semester ini. Wah.

Ana menajamkan penglihatannya dari balik kacamata, jarinya dengan lihai menunjuk kertas secara perlahan. Ana tidak boleh sampai melewatkan satu baris pun. Ia harus teliti.

Satu menit berlalu, dua menit… tiga menit…

Gerakan jarinya sudah berada diurutan 30-an, tapi nama Ana Puspita Renjana tak kunjung ketemu. Ia mulai cemas, jantungnya berdegub kencang tak menentu. "Apa aku nggak lulus, ya?" gumam Ana. Tidak terasa, jarinya sudah berada diurutan dua puluh ke bawah. "Kok nggak ada, sih?" Ana menggigit bibirnya, dirinya semakin takut. Begitu sampai diurutan sepuluh, Ana memejamkan mata sejenak. Dalam hati, dia berdoa. Semoga namanya ada disana, tak peduli peringkatnya akan turun—yang penting namanya tertulis.

Okey, Netra Ana kembali terbuka. Susah payah, dia menelan saliva saking gugupnya. Urutan ke-sepuluh bukan Ana Puspita Renjana, sembilan juga bukan, delapan bukan, tujuh bukan, enam bukan. Oh sial, sepuluh besar tidak ada. Sekarang saatnya lima besar.

Mati kamu, Ana. Kalau nama kamu benar-benar nggak ada, siap-siap beasiswa kamu dicabut.

Kedua matanya membola diiringi mulut yang reflek terbuka lebar. Jantungnya seakan berhenti berdetak, apa ia tidak salah baca? Ana mencoba memukul pelan pipinya, takut hanya mimpi. Nyatanya tidak, rasa panas menjalar pada pipinya. Ana kembali membaca urutan pertama dan ya! Ana menemukan namanya di sana. Pada urutan pertama.

Rasa takut yang menghantui sirna terganti kebahagiaan tak terkira. Gadis itu memekik tertahan, penglihatannya mulai mengabur. Ana terharu, usaha yang selama ini dilakukan tidak sia-sia.

Pun Ana pergi dari kerumunan, dari jarak beberapa meter—Ana terhenti menahan airmata yang sebentar lagi akan deras. Buru-buru Ana mengabari sang Ibu lewat pesan, sebab jika telepon Ana yakin Ibunya sedang sibuk bekerja. Sedangkan, untuk Ayahnya sendiri—Ana akan memberitahu secara langsung setelah pulang.

"Ana!"

Kepala Ana mendongak, melihat dua orang gadis di ujung koridor—salah satunya melambaikan tangan dan satunya lagi tersenyum manis pada Irene. Mereka berjalan cepat menghampiri sahabatnya.

Tanpa diduga, seorang gadis mungil memeluk Ana secara tiba-tiba. Sampai tubuhnya mundur beberapa langkah. "AAA, kakak Cheryl hebat! Cium manis dulu sini—CUP!" Kedua mata Ana membola begitu merasakan basah pada pipi sebelah kanan.

"Ew." Komentar Keisha Megantara sembari menggelengkan kepala melihat tingkah Cheryl Fanaya.

Cheryl tak peduli. Ia masih tersenyum lebar menatap Ana. Hasil karyanya bagus juga, lipstick berwarna merah tercetak jelas pada pipi Ana. "Maaf ya, kak Ana. Cheryl terlalu bahagia lihat nama kak Ana di peringkat pertama."

Ana tersenyum bahagia. "Makasih, Cheryl."

Keisha ikut mengucapkan perasaannya pada Ana. "Selamat, ya panutan gue! Usaha lo always nolak kita nggak sia-sia," Keisha tersenyum, memeluk sang sahabat beberapa menit. "Jadi, bisa lo kasih tau tips how to be a smart people?"

"Apaan sih, kak Keisha! Percuma kak Keisha nanya begitu sama kak Ana. Otak kalian 'kan berbeda, mau kak Keisha belajar sampai mati pun namanya nggak bakal ada di peringkat pertama."

"Yeu, kurang ajar! Sini lo maju." Keisha sudah siap untuk meninju Cheryl, namun terhalang oleh Ana. hal tersebut membuat Cheryl semakin senang meledek Keisha. Gadis itu sampai memeletkan lidah. "Awas lo, bocil!" gumam Keisha cukup tajam.

Ana hanya terkekeh melihat tingkah kedua sahabatnya.

Tanpa mempedulikan ucapan Keisha. Cheryl bertanya pada Ana. "Jadi, gimana kak Ana? Kak Ana ikut 'kan liburan sama kita semester ini?"

Seketika senyuman Ana memudar. Tatapan gadis itu beralih melirik arah lain, "Mmm, aku—"

"Ayolah, kak. Kak Ana udah janji!" Cheryl sangat berharap, gadis yang sudah dianggap sebagai kakaknya sendiri akan ikut pergi berlibur. Soalnya, semester kemarin Ana tidak pernah mau pergi kemana pun. Dia terlalu sibuk belajar mengejar IPK tertinggi. Dia juga bilang—harus mempertahankan beasiswa sampai lulus. Cheryl dan Keisha tak berani memaksa, toh, itu hak Ana. Tapi, suatu hari Ana pernah berjanji di hadapan mereka berdua. Bahwa sewaktu-waktu Ana dapat peringkat pertama di jurusannya, dia akan menerima ajakan Cheryl dan Keisha kemanapun. Jadi, tidak salah bukan jika kali ini Cheryl memaksa.

"Memangnya kalian mau liburan kemana?"

"Karena kak Ana suka sunset dan pantai, Cheryl dan kak Keisha bakal pergi ke Florida! Gimana? Pasti seru lihat sunset di sana, apalagi banyak banget bule ganteng yang shirtless. OMG!" Cheryl membayangkan betapa bahagianya ia bisa mencuci mata. Sebab lelaki di sini sudah cukup membuat matanya sakit karena penampilan mereka yang aneh.

Keisha memandang sahabatnya geli. Jika bukan sahabat, Keisha sudah membuang Cheryl ke laut.

"Florida? Apa nggak kejauhan?"

"Nggak, kok. Kak Ana lupa kita liburan berapa lama? Cheryl bosan harus liburan di Indonesia terus selama sebulan."

Ana menghela napas panjang.

"Ana," Akhirnya Keisha bersuara. "Sebenarnya gue nggak mau maksa lo, tapi… bukannya ini kesempatan bagus buat kita have fun? Maksud gue, lo udah kerja keras selama enam bulan demi IPK dan gue tau gimana lelahnya perjuangan lo. Pasti capek, selain otak lo, tubuh lo juga butuh istirahat. Nggak ada salahnya 'kan kita liburan jauh? Actually, nggak satu bulan full sih kita di sana. Just one week."

"Benar banget kata kak Keisha. Kali ini Cheryl setuju sama ucapannya. Otak kak Ana perlu istirahat, kata Ibu Cheryl otak manusia itu jangan terlalu sering dibawa berpikir nanti bisa gila!" kata Ana dengan wajah serius.

"Gue rasa Ibu lo yang gila, deh." Seketika mata Cheryl melotot tak terima. "Seandainya manusia nggak mikir pakai otak, terus pakai apa? Dengkul lo?"

"Y—ya, maksud Ibu Cheryl… jangan mikir yang berat-berat! Kak Keisha ini bodoh atau apasih? Udah tahu itu peribahasa!"

Keisha mencebik kesal.

"Jadi gimana, kak Ana? Ikut ya?"

"Mmm, aku pikirkan dulu ya." Final Ana diakhiri senyum tipis.

"Ayah, Ana pulang!" Ana membuka pintu rumahnya. Suasana cukup hening, seperti tidak ada siapapun di rumah. Meskipun begitu Ana tidak merasa heran, ia sudah terbiasa. Tujuan utamanya saat ini adalah pergi menuju kamar orang tuanya.

Tok… tok… tok…

"Ayah, ini Ana."

CLEK!

Pintu terbuka lebar. Menampilkan sosok lelaki tengah berbaring lemah di tempat tidur. Sebisa mungkin Ana berjalan pelan tanpa menimbulkan suara, lalu duduk disisinya.

Pandangan Ana menelusuri wajah damai sang ayah. Beliau terlihat sangat pulas, sejenak Ana melirik ke arah belakang, dimana posisi kursi roda sudah berganti. Biar Ana tebak pasti beliau lelah sehabis mengitari taman rumahnya dengan tetangga sebelah.

"Sehat terus ya, Ayah. Ana kangen pergi bersama," bisik Ana. Rasanya sakit sekali melihat sang Ayah harus seperti ini. Semenjak kecelakaan beberapa tahun silam, Reza Darmawangsa harus merelakan kedua kakinya di amputasi. Menyedihkan sekali bukan? Jadi, semua yang menanggung biaya hidupnya sekarang adalah sang Ibu. Puspita Darmawangsa harus banting tulang demi keluarganya tetap sehat. Belum lagi, biaya obat Reza selama satu bulan tidaklah sedikit. Beruntung Ana mendapatkan beasiswa di kuliah ternama.

Ana menggenggam lembut lengan Reza, mendekatkannya ke pipi kemudian memejamkan mata merasakan hangatnya genggaman tersebut.

"Ana?"

Sontak, kedua mata Ana terbuka melihat sang Ayah terbangun.

"Ayah? Kok bangun? Ana ganggu Ayah ya? Aduh, maafin Ana yah. Ana nggak bermaksud ganggu Ayah. Yaudah, sekarang Ayah tidur lagi, ya. Ana ma—"

"Hei, nggak apa-apa sayang." Bibir pucat Reza tersenyum tipis. Gengamannya kian mengerat, seakan tak ingin anaknya pergi. "Disini aja."

Mau tak mau, Ana kembali memposisikan dirinya di samping Reza.

"Gimana kuliahnya? Lancar?"

Yaampun. Ana sampai lupa memberitahu kabar bahagia pada Ayahnya. "Lancar, yah. Ayah tahu? Ana lolos di semester ini dan Ana… Ana dapat peringkat pertama, yah. Nilai IPK paling tertinggi diantara semua mahasiswa management."

"Oh iya?" Reza sedikit terkejut mendengarnya.

Ana mengangguk cepat.

"Wah, anak Ayah hebat banget! Sini Ayah peluk," Ana terkekeh malu, meskipun begitu Ana mendekatkan dirinya pada Reza. "Terimakasih ya, sudah mau menjadi anak Ayah. Ayah bangga punya Ana. Sehat terus ya nak, Ayah sayang banget sama Ana, nak."

"Ana juga, Ana lebih sayang sama Ayah." Gadis tersebut memeluk Reza dari samping. Dibandingkan dengan Puspita, Ana lebih nyaman dengan sang Ayah. Ana sendiri juga tidak tahu alasannya apa, hanya saja berbagi cerita bersama Reza selalu membuat Ana merasa lega. Mungkin karena Reza sangat mengerti perasaan Ana, Puspita juga sih, tapi Ana harus dimarahi dulu baru di nasihati.

"Berarti Ana udah libur semester dong bulan ini?" Ana mengangguk dalam pelukan. "Mau liburan kemana?"

Mendengar kata liburan Ana jadi ingat perkataan Keisha dan Cheryl. Haruskah Ia ikut dan meninggalkan kedua orangtuanya? Dan soal biaya… Ana tidak rela jika tabungannya harus dihancurkan. Alhasil Ana hanya berkata, "Nggak tahu,"

"Hei, memangnya teman Ana nggak ada yang mengajak?" perlahan, Ana melepaskan pelukannya.

"Ada, sih. Tapi jauh… Ana nggak mau pergi jauh tanpa Ayah dan Ibu."

"Yaampun, anak ini," Reza menggeleng. "Nak, Ayah dan Ibu sama sekali nggak keberatan ditinggal liburan. Kami juga pernah muda kali."

"Tapi—"

"Kalau soal biaya, pakai uang Ayah. Uang pensiun Ayah masih ada di Ibu."

Buru-buru Ana menggeleng, "Nggak, nggak. Ana yang mau liburan, kenapa harus pakai uang Ayah? Udah ya, Ayah. Ana lagi nggak mau pergi kemana-mana. Liburan di sini sama Ayah aja udah seru kok. Kenapa harus pergi jauh-jauh, hm."

TALK TO TALK GROUP

Cheryl Fanaya

Gimana kak Ana? Jadi ikut 'kan?

18.35

Read 2

Cheryl Fanaya

Woi! Kenapa kalian cuma baca pesan Cheryl? Emangnya ini koran apa? Apa gunanya keyboard ponsel kalian kalau nggak digunakan dengan baik.

18.36

Read 2

Keisha Megantara

Berisik! Gue lagi main game.

18.40

Keisha Megantara

Ana juga nggak muncul, dia masih mikir kali. Biarin aja dulu.

18.40

Read 2

Cheryl Fanaya

Yaampun! Kak Keisha masih sempat-sempatnya main game? Sok gamers sejati lo kak.

18.42

Read 2

Cheryl Fanaya

Kak Ana. Ayo dong bales, jangan gantungin kita kayak jemuranL. Semua wanita itu butuh kepastian, kak.

18.45

Read 2

Maaf ya, kayaknya aku nggak bisa ikut kesana. Tapi, kalau kalian udah pulang. Kasih tahu aku ya, nanti kita keliling Jakarta bareng atau nggak ke Bandung deh nyari spot foto. Hehe.

18.50

Ana segera mengunci layar ponselnya. Lalu, berbaring lemas di atas kasur. "Aku juga mau, tapi uangnya nggak akan cukup buat kesana." Ana berbeda dengan dua sahabatnya. Gadis berparas cantik itu bukanlah berasal dari keluarga berada, hidupnya serba pas-pasan. Mungkin dulu, Ana bisa berpergian kemanapun dan meminta uang pada Reza saat beliau masih bekerja menjadi pegawai sipil. Tapi, sekarang? Semuanya sudah berubah. Ana harus mengirit semua pengeluarannya demi kepentingan yang lain. Jadi, daripada Ana harus menghamburkan uang. Gadis itu lebih memilih di Rumah atau membantu Ibunya bekerja sebagai pegawai toko bunga.

"Ana! Nak, Sayang! Ana!" Ana tersentak kaget begitu mendengar suara teriakan Ibunya. Dengan cepat, Ana keluar kamar menuju ruang tengah.

"Ada apa, sih bu datang-datang teriak begitu?!"

"Nak, coba lihat!" Puspita berjalan medekati Ana. "Lihat! Ibu dapat satu tiket liburan dari pusat belanja Leviana. Kamu masih ingat 'kan dulu Ibu sering banget beli tas merk Leviana. Dan sekarang—Ibu dapat hadiahnya, nak. Yaampun, Ibu senang banget!" Puspita bercerita sampai menggebu-gebu, Wanita berumur empat puluh delapan tahun tersebut sangat gembira tak terkira.

"Coba Ana lihat," Ana masih kurang percaya, dia meminta Ibunya untuk menunjukan ponsel yang berisi pesan dari merk ternama Leviana. "Ini pasti bohong! Nggak mungkin mereka ngasih tiket liburan cuma-cuma. Hati-hati bu, penipuan."

"Hei!" sang Ibu memukul bahu Ana.

"Aw! Kok Ibu pukul Ana, sih?!" Ana meringis tatkala merasakan nyeri pada punggungnya.

"Kamu ini keseringan belajar jadi bodoh ya?! Leviana itu brand besar, dia nggak mungkin menipu! Udah jelas-jelas dia mengirim pesannya pakai nomor asli. Lihat, dia juga kasih nomor undian dan barcode buat Ibu!" Puspita kembali menunjukan pesannnya. "Ibu yakin ini real."

Ana menghembuskan napas pelan. "Okey, mari kita buktikan. Ana bakal datang ke tempatnya sekarang, Ibu temani Ayah!"

"Apa?! Ke—kenapa Ibu harus temani Ayah? Ayah kamu udah besar nggak perlu ditemani. Ibu ikut!"

"Bu!!!!" Ana menggeretak kesal. "Jika ada apa-apa sama Ayah, Ibu mau tanggung jawab?! Udah ya, Ibu nggak perlu khawatir. Ana pasti langsung balik."

Langkah Ana terhenti didepan toko. Kepalanya melongok ke dalam kaca pintu besar, haruskah Ia masuk? bagaimana jika itu hanya penipuan? Pasti Ana akan malu karena sudah mengharapkan tiket liburan tersebut. Tapi, jika Ana tidak bertanya, Ibunya pasti marah-marah. Lagipula, bukankah ini kesempatan bagus untuknya? Siapa tahu, Ana bisa jadi ikut dengan Cheryl dan Keisha.

Sebelum masuk ke dalam toko, Ana menarik napas dalam-dalam kemudian menghembuskannya perlahan. Akhirnya, Ana memberanikan diri untuk masuk ke toko besar dengan piyama dan sandal tidur gambar doraemon.

Begitu pintu terbuka, Ana langsung disambut oleh salah satu pegawai yang bekerja disana.

"Selamat malam, nona. Selamat datang di Leviana, apa ada yang bisa saya bantu?" Pegawai cantik itu tetap tersenyum hangat, walaupun tatapannya mengisyaratkan bingung melihat penampilan Ana.

"Permisi, mba. Saya mau nanya, nih." Ana mendekatkan diri, lalu mengeluarkan ponsel dari saku piyama. "Nomor Ibu saya terpilih sebagai pemenang tiket liburan dari Leviana, itu benar nggak ya, mba?"

"Boleh saya lihat?" Pegawai itu menerima ponsel dari genggaman Ana. Kedua alis sang pegawai menukik tajam tatkala matanya menatap isi pesan. Tak lama, dia memberikan kembali ponselnya. "Maaf, nona. Kayaknya itu dari orang nggak dikenal, bulan ini Leviana belum ngasih hadiah apapun untuk customernya. Mungkin aja, ada orang iseng yang membawa nama Leviana supaya anda percaya."

Tuh 'kan, apa yang Ana katakan? Ini pasti tipuan belaka.

"Ah begitu, ya. Ibu saya pikir ini sungguhan." Ana tersenyum tak enak. "Okey deh, maaf ya mba kalau saya ganggu waktunya. Makasih, mba."

"Ya, selamat malam!"

Tak lama, Ana keluar dari toko dengan wajah tak bersemangat.

"Yaampun. Kenapa aku jadi menyedihkan begini, sih?"

Seharusnya Ana terlalu perlu berharap lebih. Memang sudah takdirnya, Ana tidak bisa liburan bersama sahabatnya. Dengan perasaan tak ikhlas, Ana pergi meninggalkan toko tersebut.

Namun, baru beberapa langkah. Seseorang berteriak.

"Nona, nona! Nona pakai piyama dan sandal doraemon!"

Ana melirik ke bawah, bukankah itu style yang sedang Ia pakai sekarang? Apa dia dipanggil? Buru-buru, Irene menoleh ke belakang. Ternyata pegawai Leviana yang tadi sempat melayani Ana.

"Aku?" Ana menunjuk dirinya guna memastikan bahwa seseorang yang dipanggil adalah dirinya.

"Ya, anda nona! Kemarilah,"

Ana segera berlari ke toko tadi. "Kenapa mba? Apa ada barang saya yang tertinggal?"

"Bukan, nona. Sebelumnya saya ingin meminta maaf atas kecerobohan saya, tadi saya baru saja mengonfirmasi mengenai tiket liburan dari Leviana kepada kepala manager. Ternyata itu benar." Pegawai itu tersenyum. "Selamat nona! Anda adalah pemenang tiket liburannya,"

"Serius?" Ana menutup mulutnya saking terkejut. "Mba nggak bohong 'kan?"

"Ini benar, nona. Sekali lagi saya minta maaf karena sempat menyangka itu penipuan."

Gadis itu tak bisa menahan senyuman bahagianya.

"Silahkan nona isi formulir yang ada di website resmi Leviana, nona bisa pilih ingin liburan kemana."

"Sa—saya bisa pilih l—liburannya kemana?"

Sang pegawai mengangguk. "Betul, nona!"

"Wah, keren!" Ana mematung ditempatnya. Dia tidak menyangka. Bolehkan Ana mengucapkan rasa terimakasih pada pemilik toko Leviana? Gadis itu memekik senang. Akhirnya, Ana bisa ikut berlibur ke Florida bersama Cheryl dan Keisha.


PENSAMENTOS DOS CRIADORES
_ladybaee _ladybaee

Bae Irene sebagai Ana Pupsita Renjana

Kang Seulgi sebagai Keisha Megantara

Kim Yerim sebagai Cheryl Fanaya

next chapter
Load failed, please RETRY

Status de energia semanal

Rank -- Ranking de Poder
Stone -- Pedra de Poder

Capítulos de desbloqueio em lote

Índice

Opções de exibição

Fundo

Fonte

Tamanho

Comentários do capítulo

Escreva uma avaliação Status de leitura: C2
Falha ao postar. Tente novamente
  • Qualidade de Escrita
  • Estabilidade das atualizações
  • Desenvolvimento de Histórias
  • Design de Personagens
  • Antecedentes do mundo

O escore total 0.0

Resenha postada com sucesso! Leia mais resenhas
Vote com Power Stone
Rank NO.-- Ranking de Potência
Stone -- Pedra de Poder
Denunciar conteúdo impróprio
Dica de erro

Denunciar abuso

Comentários do parágrafo

Login