"Tuan Malik itu sudah pemalu sejak kecil, Non," Lily mulai bercerita. Masuk ke dalam kamar lama tuan dan nyonya Adam selalu membua Lily teringat dengan masa kecilnya.
Saat ia kecil, sejauh yang ia ingat, Malik tidak terlalu suka dengan kehadiran orang baru, pria itu bahkan hanya memiliki dirinya dan Kai sebagai teman di sekolah dan teman bermain. Mereka menghabiskan waktu hampir 24 jam bersama.
"Kalau begitu, apa Malik pernah jatuh hati pada seseorang saat dia kecil?" Anna penasaran.
"Tidak ada, Non."
"Jadi dia benar-benar perja...." Kalimat Anna terjeda.
Bukankah dia dan Malik pernah berciuman?
Ya meski ciuman tidak terhitung berhubungan badan, tetapi bibir Malik dihitung sudah pernah merasakan. Walau Anna tak yakin, apa saat itu Malik sadar atau tidak.
"Apa, Non?" Lily mendekat, ia tidak terlalu mendengar apa yang diucapkan oleh nonanya.
"Tidak, tidak ada, kok, Lily." Anna meraih tumpukan buku-buku bekas, memilahnya dengan sangat teliti. Ia tidak ingin barang mertuanya yang berharga ikut terbuang.
"Apa kamu tahu makanan kesukaan Malik?" Anna bertanya lagi. Orang yang tahu tentang Malik hanya Lily, jadi hanya perempuan itu yang bisa menjawab oertanyaannya itu.
"Tuan suka yang sederhana, Non. Jadi menurutku, tidak ada makanan yang paling disukai, tuan pasti menyukai makanan apa pun. Terlebih jika nona lah yang memasaknya," goda Lily.
Luna sudah mulai penasaran dengan hal pribadi Malik, itu artinya nonanya itu sudah mulai ada perasaan terhadap tuannya.
"Tapi pasti ada yang paling dia sukai, Lily. Coba kamu ingat-ingat lagi," Meski rona di wajahnya mungkin berubah karena pipinya mulai terasa panas setelah mendengar godaan Lily, tetapi Anna sangat yakin pasti ada makanan yang menjadi favorit suaminya. Dan Anna ingin membuat itu.
"Hmmm, apa ya?" Lily mengusap dagu "Ah! Ada satu, Non!" Tiba-tiba ia teringat satu hal.
Anna menatap dengan binar cerah, secerah mentari pagi hari.
"Salad," ucapnya singkat.
"Salad?" Anna memastikan, kalau yang didengarnya benar. Ia takut kalau telinganya salah dengar.
"Iyah, Non!" Lily mengangguk mantap.
"Jadi cuma salad? Tidak ada yang lain?" Anna masih tak percaya.
Bagaimana bisa makanan favorit suaminya hanya salad?
Makanan yang isinya hanya sayur mayur, yang diberi minyak zaitun atau kadang ditambah mayonase?
"Iya, Non!" kata Lily masih dengan semangat yang sama.
"Oh, baiklah!" Anna memalingkan tubuhnya.
Satu musuhnya sejak dia kecil sampai detik ini, yaitu, sayuran. Anna memang suka saat melihat adiknya dengan wajah terpaksa memakan sayuran, tetapi ia tak suka saat ia sendiri yang berada di posisi itu.
"Apa Nona mau membuatkannya?" Lily menatap penuh harap.
*
Dahi Malik berkerut dalam. Untuk pertama kali dalam hidupnya, ia memikirkan satu hal yang tidak pernah sekalipun terlintas dalam benaknya. Untuk pertama kalinya, ia memikirkan sesuatu yang tidak ada kaitannya dengan pekerjaan.
Yap, ia memikirkan Anna!
Apa yang akan dilakukan oleh seseorang saat memulai suatu hubungan?
Kedua tangan Malik saling bertautan, otaknya memikirkan hal ini dengan sangat serius. Lebih serius daripada mengerjakan tugas matematika atau fisika.
"Paman Erick," panggilnya dengan suara yang dalam.
Erick yang tengah disibukkan dengan dokumen itu menatap Malik.
"Apa yang kamu lakukan untuk menunjukkan kasih sayang pada almarhum bibi dulu?" tanyanya.
Erick tercengang.
Pemuda yang tidak pernah sekalipun menanyakan hal lain selain pekerjaan, kini bertanya persoalan cinta?
Erick tentu sangat excited. Ia sudah menunggu puluhan tahun untuk pertanyaan ini, tapi tak disangka, di usianya yang sudah lanjut usia, putra yang dia besarkan, baru saja menanyainya hal itu.
Ini seperti Erick kembali muda lagi, ia terlempar pada usianya yang masih tiga puluhan.
"Kenapa kau menatapku seperti itu? Apa ada yang salah dengan pertanyaanku?" ketus Malik.
Erick tersenyum tipis. "Tidak, Tuan."
Ia pun bergeser sedikit dari tempat duduknya. Erick menatap pemuda di depannya, pemuda yang tidak pernah peduli pada sekitar itu, kini sudah tumbuh menjadi dewasa. Benar-benar dewas— selain tubuhnya, Malik juga sudah menikah.
"Memanggilnya dengan panggilan Sayang, Tuan," jawab Erick.
"Sa-sayang?" Malik sedikit gagap.
Seumur-umur dia belum pernah memanggil seseorang sayang, bahkan terhadap ibu atau pun hewan peliharaannya yang sudah lama meninggal itu.
Bagaimana bisa ia memanggil Sayang kalau dia saja ingin muntah saat melafalkannya?
"Tidak ada cara lain?" tanya Malik dengan mimik wajah lebih serius. Tampangnya seperti seseorang yang tengah berdebat mengenai politik. Mengenai para penimbun barang yang tengah langka di pasaran, kemudian rakyat berkoar-koar menyalahkan pemerintah.
"Sayang sekali, tidak ada, Tuan. Memanggilnya My Love, Sayang, Cintaku itu berada di urutan pertama dalam menjalin hubungan dengan seseorang. Karena saat Tuan memanggilnya dengan nama saja, lalu apa bedanya orang itu dengan pembantu di rumah ini? Apa bedanya dengan satpam yang menjaga rumah ini?" Erick memimpin perdebatan.
"Hmmm!" Malik mulai memakai logikanya, dan ia mengangguk tanda mengiyakan pendapat Erick.
Panggilan spesial untuk orang yang spesial pula. Bukankah itu masuk akal?
"Apa Tuan ingin bertanya lagi?" Erick tampak bersemangat.
Malik mengangkat tangannya, "Untuk saat ini, pertanyaan ini saja yang ingin kutanyakan."
'Aku akan mencobanya nanti,' batin Malik.
Jika itu yang terbaik untuk hubungannya dengan Anna, maka semalu apa pun hal itu, ia pasti akan melakukannya!
Selesai menyibukkan diri dengan urusan rumah, Anna merebahkan tubuhnya di kursi santai di balkon belakang.
Kursi panjang yang menghadap langsung ke arah kolam renang, taman dan hutan kecil. Pekarangan belakang lebih luas, dan Anna tak sempat menjelajah di daerah itu.
"Ini es kelapa mudanya, Non." Lily menaruh gelas gemuk itu ke atas nakas bulat.
"Terima kasih, Lily."
Saat Lily memutar tubuhnya, ia melihat Malik. Ia hendak membuka bibirnya, tetapi tuannya itu menempelkan telunjuk pada bibir. Mengisyaratkan Lily untuk diam.
Lily pun menunduk, ia menyunggingkan senyum melihat tuannya yang pemalu mendekati nonanya. Padahal selama ini, Malik jarang sekali menghampiri Anna. Selalu nonanya terus yang memulai.
Apakah ini tandanya progres hubungan di antara keduanya semakin bagus?
Apakah mereka nanti punya anak?
Ah! Membayangkannya saja membuat kepala Lily seakan terbang ke atas.
"Aa.... " Malik terdiam.
'Jangan memanggilnya dengan nama, Malik!' ucapnya dalam hati.
"Khem-khem!" Akhirnya setelah bimbang dan masih kaku dengan memanggil sayang, Malik hanya berdeham.
"Malik!" Anna menoleh, "apa kerjaanmu sudah selesai?" tanyanya.
"Iya, Aa... khem!" Malik pura-pura terbatuk. Ia cukup grogi. Padahal menghadapi musuh tidak pernah se grogi ini.
Kenapa menghadapi istrinya bisa seperti ini?
"Minumlah, Malik! Sepertinya tenggorokanmu bermasalah." Anna menyodorkan minumannya pada suaminya itu.
"Tidak-tidak, aku baik-baik saja," Malik menolaknya.
"Minumlah!" Anna tak ingin menyerah.
"Aku beneran baik-baik saja, Aa.... "
Lagi, Malik tidak melanjutkan kalimatnya.
Anna berkecak pinggang. Apa susahnya disuruh minum? Ia tak meminta Malik meneguk baru arang yang menyala.
"Aku belum menyentuh minuman ini, jadi gelasnya dijamin masih steril Malik," kata Anna kekeh.
"Bukan itu masalahnya, aku memang tidak ingin minum!"
Yap perdebatan yang tidak akan dimenangkan oleh Malik, wanita itu selalu benar dan apa yang diinginkan harus dituruti.
"Kalau begitu minum! Cepat minum!" lantang Anna.