Harta terbesar yang dimiliki Anna saat ini adalah ibu dan dua adiknya. Sebagai putri sulung, dia merasa bertanggung jawab atas segalanya sepeninggal sang ayah. Menafkahi dan menjamin pendidikan dua adiknya. Memang tidak ada aturan tertulis yang mengharuskannya untuk itu, tetapi perasaan dan tanggung jawab itu mengalir apa adanya. Tidak ada yang memaksakan.
Anna duduk meringkuk di sudut kamar, kepalanya bertumpu pada kedua lututnya. Terasa berat dan pening akibat tangis yang tidak berhenti sejak pukul 7 tadi.
Desah panjang sesekali mengudara. Khawatir, cemas dan takut, bercampur menjadi kesatuan. Anna tak ingin ibu dan adik-adiknya pergi, tetapi tidak ingin menahan mereka karena keegoisannya.
Di ruang yang berbeda, Malik menata dokumen terakhir yang dia tandatangani, sampai akhirnya sebuah panggilan telepon mengisi ruangannya.
Malik langsung meraih gagang telepon.
"Maaf mengganggumu Malik," sebuah suara yang tak asing berada di seberang telepon.
"Don't worry, Brother," tandasnya. "Ada apa? Apa ada sesuatu yang penting sampai Kakak menghubungiku secara langsung?"
Pria di ujung telepon bernama Storm. Statusnya sebagai kakak pertama, dan orang terkuat nomor satu dalam organisasi pemerintah bayangan.
"Tidak ada. Kudengar kau tertembak, benarkah?" tanya Storm. Dia baru saja pulang dari menjalankan misi. Sekarang dia berada di luar bandara Soekarno-Hatta, dan akan menuju ke apartemennya.
Malik memutar kursinya, dia dan Storm bisa dibilang sangat dekat. Kedua orang tuanya dengan pria itu saling kenal, dan mengalami nasib yang sama.
Orang tua Storm meninggal karena kebakaran. Dan, tidak ada satu pun yang tersisa dari rumah itu. Storm pun pernah tinggal bersamanya beberapa tahun, sebelum pria itu dibawa oleh paman dan bibi dari pihak ayahnya.
"Iya. Tapi Kakak tidak perlu khawatir, hanya luka kecil," tandas Malik. Ada satu hal yang belum Malik katakan pada Storm, yaitu tentang pernikahannya yang di luar rencana dan dugaan.
"Then, gimana dengan pernikahanmu, sampai kapan kau merahasiakannya?" Alis Storm terangkat sebelah. Dia kemudian masuk ke dalam mobil jemputan yang sudah datang.
"Dengarkan aku, Kak, ini rencana Erick. Dan, wanita itu ...." Malik menjeda kalimatnya. Tak tahu apa yang akan dia katakn tentang Anna.
"Gerald bilang she's great. Seksi dan wanita yang tidak mungkin jatuh hati padamu," ucap Storm dengan nada meledek.
Semua orang di organisasi mengenal bagaimana Malik, mengenal dengan sangat baik, bagaimana sikap pria itu terhadap wanita. Dan mendengar Malik sudah menikah lebih dulu dari saudara-saudara tertuanya tentu memunculkan kegaduhan. Banyak yang penasaran terhadap istri Malik, dan banyak juga yang mencoba mencari pasangan untuk dinikahi. Tak mau kalah dari Malik yang lebih muda dan tak pandai merayu wanita.
"Dan aku ingin bertemu dengannya," tambah Storm.
"Aku akan menjadwalkan pertemuan dengan Kakak. Tapi tidak sekarang," Malik perlu membicarakan semua dengan Anna. Dan, tidak tahu bagaimana keadaan Anna sekarang, mengingat gadis itu masih sedih dengan kepergian ibu dan adik-adiknya.
"Baiklah. Kalau begitu, hubungi aku dalam seminggu ini. Aku tidak bisa lama-lama berada di Indonesia," tandas Storm sembari mematikan ponselnya.
Malik mengusap wajah dengan kasar. Menatap Erick yang berada di depannya.
"Kenapa Tuan membawa ibu dan adik-adik Nona menjauh jika Tuan sudah memperkirakan hal ini akan terjadi?" tanyanya.
Erick tak sabar untuk bertanya itu, dia butuh alasan kenapa tuannya mengirim ibu dan adik-adik istrinya ke negara yang sangat jauh. Padahal bukankah Malik sendiri yang menginginkan mereka tinggal bersama?
"Itu yang terbaik untuk mereka," terang Malik. Embus napasnya terdengar berat.
"Di sana, Ibu Sofia juga bisa berobat pada dokter terbaik. Adik-adiknya juga bisa menjalani hidup baru tanpa harus mengingat hal buruk yang pernah terjadi," sambung Malik.
Dengan demikian, tidak ada luka di hati mereka lagi. Malik hanya mengharapkan hal yang baik untuk keluarga barunya itu.
"Lalu bagaimana dengan Nona Anna? Apa Tuan melupakan tentang Nona?"
Malik berdiri dari tempatnya, "Dia memilikiku, dan aku akan berusaha untuk membuatnya bahagia."
*
"Anna, apa kau belum tidur?" Malik mengetuk pintu kamar istrinya.
"Apa perlu saya carikan kunci duplikat kamar Nona?" tawar pengawalnya.
Kamar Anna dikunci. Tidak seperti biasanya.
Malik menggeleng, dia kembali mengetuk pintu.
"Anna? Aku yakin kau tidak akan tidur, jadi bukalah pintunya," pinta Malik.
Beberapa menit berlalu, Malik masih menunggu dengan sabar. Ya meski sebenarnya dia bukan pria penyabar, tetapi untuk kali ini, dia ingin mencoba hal baru itu.
"Anna, apa kau benar-benar tidak ingin membukakan pintu untukku?" tambah Malik.
Sementara itu, wanita yang namanya dipanggil berulang kali. Masih mendekam di sudut kamar bersama dengan kesendirian.
Kesendirian yang sangat dibencinya.
"Aku tidak akan pergi Anna," Malik kekeh dengan intonasi suara yang keras kepala.
Apa yang ingin dilakukan Malik?
Anna mendongakkan wajahnya, jarak antar dirinya dengan pintu tak terlalu jauh, tetapk Anna sangat malas untuk membukanya. Dia hanya ingin sendiri, tetapi dia tidak suka sendiri.
Ceklek.
Pada akhirnya, Anna membukakan pintu untuk suaminya itu. Anna menunduk, tak ingin wajah sembabnya dilihat oleh Malik.
"Ada apa?" tanyanya.
Malik mendorong tubuh Anna ke dalam, kemudian menutup pintunya. Pengawal yang tadi menemani Malik hanya berdiri memaki, dia ditinggalkan sendirian begitu saja.
"Kenapa kau masuk Malik? Aku belum memberimu ijin!" Anna sedikit kesal, tetapi kenapa dia harus resah? Malik suaminya, bukan maling atau pun penjahat.
Malik tidak menjawab pertanyaan itu, dia terus melangkah lalu duduk di atas ranjang.
"Mulai hari ini, aku akan tidur di sini," lontarnya tanpa basa-basi. Dan tanpa ijin.
"Hah?! Apa?"
Pernyataan itu membuat Anna akhirnya menatap Malik.
Apa dia salah dengar?
Anna rasa yang dikatakan Malik bukan candaan atau pun ucapan biasa.
"Are you serious?" Manik hitam itu membesar. Melangkah mendekat dengan sejuta tolakan juga sangkalan yang tak terelakkan.
"No! Tidak boleh, Malik! Ini kamarku, dan aku berhak memiliki privasi!" lantang Anna.
"Yeah, i know that very well. Tapi apa kamu lupa?" Malik menatap datar.
"Kita pasangan suami istri, dan sepertinya aku sudah memberimu waktu untuk menyesuaikan diri di rumah ini, di kamar ini, dan bahkan dengan kesendirianmu," jelas Malik panjang lebar.
"Dan kau sudah terbiasa dengan hal itu semua. Sekarang, kau harus terbiasa dengan kehadiranku, Anna," Malik merebahkan tubuhnya.
"Since you're my wife and am your husband. Sekarang, kita harus mulai membiasakan diri dengan hal semacam ini." Malik memejamkan mata, bersikap seolah-olah dia tidur di kamarnya sendiri. Meski rasanya masih sulit. Sesungguhnya, Malik lebih nyaman di kamarnya sendiri.
Anna tercekat, tak ada kata yang keluar dari bibirnya.
Malik benar, dia adalah istrinya dan pria itu adalah suaminya.
Mereka menikah bukan untuk satu atau dua bulan saja, tetapi untuk selamanya. Dan tidak mungkin, mereka tidur secara terpisah secara terus-menerus.
"And please, matiin lampunya. Aku tidak bisa tidur dengan lampu yang hidup Anna," pinta Malik.