Pagi yang cerah dengan suasana pedesaan yang sejuk, serta suara burung-burung yang berkicau di pagi hari selalu mengiringi aku untuk membantu Ibu berjualan sayur di Pasar.
Namaku Aneska, tetapi Ibu punya nama panggilan sendiri untukku. Seperti pagi ini, Ibu memanggilku. "Eka."
Aku pernah bertanya pada Ibu, kenapa memanggilku dengan Eka? Padahal aku mempunyai nama yang begitu cantik.
Ibu bilang karena aku adalah anak satu satunya, belahan jiwanya dan hartanya. Hanya aku, satu satunya yang paling berharga di dunia ini setelah Ayahku pergi meninggalkan kami.
"Eka," panggil Ibu dari dapur.
"Iya, Bu!" jawabku berteriak karena aku sedang di luar menjemur pakaian yang baru saja selesai ku cuci.
"Aku di luar, sedang menjemur pakaian!" Teriakku.
Tidak ada lagi suara panggilan, mungkin Ibu sedang sibuk menyiapkan sayuran yang akan dibawanya ke Pasar.
"Eka," suara Ibu yang lembut memanggilku dari belakang.
"Iya Bu," jawabku melihat ke belakang. "Ibu mau berangkat?" tanyaku, karena kulihat Ibu sudah menggendong sayuran yang siap untuk dijual.
"Iya, ini sudah siang. Biasanya jam segini, orang-orang sudah pergi ke Pasar. Ibu harus segera berangkat, biar sayuran kita cepat habis."
"Itu berat Bu, biar aku yang membawanya naik sepeda. Tunggulah sebentar, aku selesaikan dulu menjemur pakaian. Tanggung, tinggal sedikit lagi," kataku.
"Kamu lanjutkan saja, biar Ibu yang pergi sendiri ke Pasar. Bukankah, kamu juga harus ke Sekolah?" tanya Ibu.
"Iya, aku harus ke Sekolah tetapi nanti agak siangan karena hari ini Sekolahku masuk siang."
"Sudah, tidak apa-apa. Biar kamu beres-beres saja di Rumah. Jangan lupa, masak nasi sebelum berangkat ke Sekolah biar kamu bisa makan dulu," kata Ibu.
"Tapi itu berat Bu, sayurannya," jawabku tetap ingin ikut ke Pasar.
"Biar nanti Ibu naik mobil Pak Mandor saja. Biasanya, jam segini mobilnya lewat."
"Baiklah kalau begitu," jawabku. "Tapi hati-hati ya Bu."
"Iya, jaga rumah baik-baik. Jangan biarkan kucing naik ke meja, nanti ikan asin punya Ibu habis di makan kucing."
Aku tertawa. "Tenang saja, Bu. Ikan asinnya akan aku jaga dengan nyawaku."
Setelah mendapat ijinku, Ibu pergi dengan memikul sayuran dipunggungnya.
Aku terus menatap punggung Ibu, sampai menghilang dibelokkan jalan.
Rumah kami cukup sederhana. Berada di pinggir jalan dengan halaman yang tidak begitu luas, cukup untuk tempat berjemur baju dan sedikit tanaman untuk kebutuhan di dapur.
Setelah selesai menjemur pakaian, aku melanjutkan pekerjaanku. Memberi makan beberapa ekor Ayam dan beberapa ekor Kambing.
Dilanjutkan dengan menyapu halaman biar sedikit terlihat bersih, enak dipandang mata. Setelah pekerjaan di luar rumah selesai, aku melanjutkan pekerjaanku dengan memasak.
Aku pilih kayu bakar yang ada di sudut dapur. Terlihat dapurku yang semuanya terlihat hitam, karena aku dan Ibu memasak menggunakan kayu bakar.
Aku cari kayu yang sudah kering agar apinya cepat menyala, kumasukkan potongan kayu yang sudah dibelah ke dalam tungku yang terbuat dari tanah merah.
Karena sudah terbiasa memasak menggunakan kayu bakar, maka mudah bagiku untuk menyalakannya. Kubiarkan api menyala dengan sempurna, sementara itu aku segera mencuci beras, untuk dimasak.
Setelah selesai memasak nasi dan sayur, aku melanjutkan dengan mencuci piring dan membersihkan rumah. Pekerjaan rutin yang selalu aku lakukan bila tidak ikut Ibu ke Pasar.
"Aku lelah, sebaiknya aku istirahat dulu meluruskan kakiku." Aku mengambil remote televisi untuk menonton sebentar acara musik yang hampir habis waktunya.
Tidak lama kemudian, terdengar seseorang mengucapkan salam dari luar pintu depan.
"Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam, siapa?" tanyaku berteriak karena aku sedang duduk di lantai.
"Pak Sugeng," teriak dari luar.
"Tunggu sebentar!" Aku segera bangun dari tempat duduk dan segera membuka pintu.
"Neng Anes, maaf menganggu." Begitu biasa para tetangga memanggil namaku.
"Pak Sugeng, ada apa?" tanyaku.
"Ini mau memberi tahu, besok ada acara selamatan di Rumah Bu Popon," kata Pak Sugeng.
"Selamatan apa Pak?" tanyaku. "Jam berapa?"
"Anaknya yang kecil, mau dikhitan besok pagi. Jadi, besok mau mengadakan selamatan jam 4 sore. Hanya acara kecil kecilan saja. Ibunya Neng Anes, diundang untuk selamatan pengajian besok sore."
"O begitu, nanti aku sampaikan kepada Ibu kalau sudah pulang dari Pasar."
"Iya, neng. Terima kasih. Kalau begitu, bapak pamit dulu. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam," jawabku. "Terima kasih Pak."
Pak Sugeng segera pergi dari rumahku, mungkin mau ke Rumah tetangga yang lain untuk memberitahu acara yang sama.
Aku kembali mengunci rumah dan melanjutkan menonton televisi. Setelah acara musik selesai, aku masuk ke dalam kamar.
"Sepertinya aku ada pekerjaan rumah hari ini. Coba aku lihat dulu." Tas yang menggantung di belakang pintu aku ambil.
Aku membawa tasku ke ruang tengah agar lebih terang dan bisa tahu kalau ada tamu yang datang.
Satu per satu, aku keluarkan buku pelajaran. Ku buka, lembar demi lembar buku mata pelajaran untuk hari ini.
"Tidak ada, ternyata sudah aku kerjakan kemarin. Syukurlah, berarti aku masih ada waktu untuk makan."
Kembali buku-buku pelajarannya dimasukkan ke dalam tas dan ditaruhnya di kursi. "Sebaiknya aku makan saja setelah itu baru aku mandi."
Setelah selesai makan dan dilanjutkan dengan mandi. Aneska kemudian mempersiapkan diri untuk berangkat ke Sekolah.
Rambut panjangnya yang hitam legam, dengan kulit tubuhnya yang putih, serta pipinya yang sedikit chubby dan kedua matanya yang bulat di tambah dengan hidungnya yang mancung, membuat Aneska lebih menonjol di banding dengan teman-teman Sekolahnya.
"Aneska!" Seseorang dari belakang memanggil namanya dengan kencang.
Aneska langsung melihat ke belakang, terlihat temannya sedang naik sepeda menuju ke arahnya. "Laras. Tumben kamu sendirian, biasanya berangkat dengan pacar kamu."
"Pacarku lagi ada perlu jadi sudah berangkat dari tadi. Kamu tidak naik sepeda?" tanya Laras.
"Tidak. Aku lihat bannya bocor jadi terpaksa aku jalan kaki."
"Ikut denganku tapi kamu yang bawa sepedanya, aku capek dari tadi bawa sepeda," ajak Laras.
"Iya, aku yang bawa. Kamu duduk saja di belakang." Aneska segera menaruh tasnya di keranjang sepeda yang berada di depan.
Setelah Laras pindah duduk ke belakang, Aneska mengambil alih sepeda. "Kamu sudah siap?" tanya Aneska.
"Sudah," jawab Laras duduk menyamping dengan memeluk pinggang Aneska.
Aneska lalu menjalankan sepedanya, menyusuri jalan kecil pedesaan. Melewati sawah yang terbentang di kanan dan kiri jalan, sesekali terdengar tawa riang Aneska dan Laras yang saling bercanda.
Hampir dua puluh menit mereka naik sepeda, hingga akhirnya sampai juga di depan pintu gerbang Sekolah yang terbuka lebar.
"Akhirnya kita sampai juga," kata Aneska dengan napas yang naik turun.
"Langsung saja masuk ke tempat parkir sepeda," kata Laras.
"Iya." Aneska langsung masuk dan menuju ke tempat parkir sepeda yang telah penuh.
Haiii,,, ini novelku yang kedua :-)
Ikuti terus kisahnya yaaa dan mohon dukungannya. Tinggalkan komentar atau vote di setiap chapter :-)
~~~ Happy reading ~~~