Di saat bulan Juli tepatnya saat tahun ajaran baru, Mas Rohman kedatangan tamu yang lama tak bertemu yakni saudara sepupuhnya. Mbak Widiya namanya, mereka berpisah saat Mbak Widiya baru berumur 8 tahun, 4 tahun lebih tua dari Mas Rohman. Mas Hari dan Mbak Widiya saudara sepupuh Mas Rohman yang dari Sumatra datang ke jawa bermaksud menyekolahkan anak mereka di salah satu Pondok Pesantren yang ada di Jawa Timur. Rumah keluarga Mbak Widiya dulu tidak jauh dari rumah keluarga Mas Rohman saat mereka masih kecil. Sepulang mengantar dan mendaftarkan anak mereka di Pesantren, Mas Hari dan Mbak Widiya singgah di rumah Mas Rohman guna silaturahmi dan bertukar kabar.
"Assalamu'alaikum," ucap salam dari Mas Hari.
"Wa'alaikumsalam, Lohh..!! njanur gunung kadingaren, aku mangbengi ngimpi opo ketekanan dulur seng gak di songko-songko, Mbak Widiya?! Pantasan prenjake ngoceh trus neng ngarep omah, Mari-mari masuk." saut Mas Rohman dengan hati senang bertemu saudaranya.
Terjadi percakapan hangat di antara mereka, karena lama tak bertemu mereka mengobrol ngalor-ngidul hingga menjelang sore. Setelah itu Mbak Widiya dan Mas Hari sering mampir bahkan kadang juga menginap di rumah Mas Rohman guna mengurusi atministrasi dan kebutuhan anaknya. Mas Hari sendiri adalah suami dari Mbak Widiya.
"Rencana mau berangkat lagi ke sumatra kapan Mbak?" Tanya Mas Rohman.
"Dua minggu lagi kayaknya Dek, ini nanti Masih harus mengurusi atministrasi dan kebutuhan lainya, kamu tahu sendiri to, anak kami itu anak manja". Jawab Mbak Widiya.
"Iya Mbak, anak mama, hahahaha...!" tawa Mas Rohman menanggapi Mbak Widiya.
Keakraban di rasakan oleh keluarga mas Rohman dan Mbak Widiya telah terjalin kembali,di tengah tengah-tengah percakapan mereka ada perkataan yang serius yakni sebuah tawaran untuk mengajak keluarga Mas Rohman ikut ke sumatra.
"Di Sumatra itu gampang kalau mencari pekerjaan lo Dek, kamu mau tidak? ikut ke Sumatra bersama kami? Di sana nanti istri kamu bisa mengajar jadi Guru SD yang kebetulan kepala sekolahnya kakak kandungku, kamu sekeluarga tinggal dulu di rumah kami sebelum punya rumah sendiri nantinya." Saut Mas Hari menawari Mas Rohman.
"Kalau Cuma cari uang Rp 200.000 perhari gampanglah itu di sana. Istri kamu jadi Guru dan Kamu nanti bekerja di kebun sawit bersama Mas Hari, gimana?'' Imbuh Mbak Widiya meyakinkan tawarannya ke Mas Rohman.
"Nanti dulu Mas, Mbak. Kami pikirkan dulu rundingan dulu dengan keluarga. Anak kami juga masih kecil, nanti mau tidaknya akan saya kabari secepatnya". Jawab Mas Rohman dengan bimbang.
Mbak Widiya adalah anak dari Ibu Wulan dan Bapak Sarif, Pak Sarif sendiri adalah kakak kandung dari Ibunya Mas Rohman. Namun saat Mbak Widiya masih kecil, karena konflik keluarga Pak Sarif dan Bu Wulan akhirnya bercerai dan Mbak Widiya kecil ikut Bu Wulan, sedangkan Pak Sarif pergi ke luar kota dan tak pernah kembali ke Desa. Pada akhirnya Bu Wulan menikah lagi dengan Pak Mansur dan mempunyai 1 anak lagi. Deni namanya, adek dari Mbak Widiya sekaligus teman masa kecil hingga dewasa Mas Rohman.
Pada masa itu sangat sulit untuk mendongkrak ekonomi masyarakat, hingga turunlah program pemerintah untuk siapa saja yang mau bertransmigrasi dari Jawa ke Sumatra, akan di biayai perjalanannya sekaligus di kasih sembako selama satu tahun hidup di sana, dan di kasih lahan 2 hektar perkartu keluarga. Sampailah berita itu ke masyarakat di Desa Mas Rohman, hingga banyak sekali yang mendaftar untuk mengikuti program tersebut, termasuk keluarga Pak Mansur. Singkat cerita berangkatlah Keluarga Pak Mansur ke Sumatra, akan tetapi Deni yang masih sangat belia di tinggal di Jawa. Ia di titipkan ke saudara Bu Wulan dan hanya Mbak Widiya yang di ajak ke Sumatra. Dari situlah terjadi jalinan pertemanan antara Deni dengan Mas Rohman.